Mengurai Aliran Air: Belajar dari Banjir di Bantaran Bengawan Solo  

Mengurai Aliran Air: Belajar dari Banjir di Bantaran Bengawan Solo  

Siapa yang hendak disalahkan atas banjir di Jakarta?

Mengurai Aliran Air: Belajar dari Banjir di Bantaran Bengawan Solo   
Potret bencana banjir. Banjir merupakan salah satu dampak krisis iklim.

Kita sering melihat perdebatan—lebih tepatnya pertanyaan, siapa yang paling bersalah dan harus bertanggung jawab dan apa sebenarnya penyebab banjir? Saya tidak sedang menjadi ahli air yang akan mengurai masalah atau memberikan solusi pada banjir yang terjadi di Jakarta. Ketika saya mau berkata, Jakarta banjir karena air tidak bisa masuk ke tanah karena tanah tertutup beton, saya tidak punya cukup bukti empiris. Begitu halnya mengatakan banjir efek  kiriman dari Bogor atau karena banyak sampah menyumbat sungai dan gorong-gorong, tentu saja sama belaka; tidak punya bukti empiris. Tapi, saya ingin bercerita saja tentang kondisi desa saya yang dulu juga langganan banjir.

Saya tumbuh di salah satu desa di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur yang bernama Desa Tejoasri. Desaku persis di bantaran bengawan solo, sehingga kala pasang, sudah barang tentu desaku ketar-ketir akan terendam atau tidak. Apalagi kondisi geografis tidak mendukung hal.

Aliran Bengawan Solo dari barat tiba-tiba menikuk ke selatan sepanjang dusunku, Pilang, dan berbelok kembali ke barat. Dusunku letaknya persis di persimpangan Bengawan solo yang agak menikuk. Aliran yang kembali menuju ke barat itu berbelok kembali ke selatan dan langsung ke timur ketika sudah bertemu dusun Tejo. Aliran terus ke timur sampai melewati dusun Bungkawak dan terakhir dusun Rengin.

Bengawan Solo

Selepas dusun Rengin, aliran sungai berbalik menuju utara sampai sejajar dengan aliran awal yang mengarah ke timur di barat desa.

Kondisi yang seperti ini membuat dusun yang berisi hanya orang NU dan Muhammadiyah itu bersiap siaga kapan pun ketika air tiba-tiba pasang dan menjebol bendungan barat desa, tidak peduli air pasang itu terjadi ketika warga sedang khusyuk solat tahajud. Sehingga ketika curah hujan sedang tinggi-tingginya, banjir adalah semacam hasil yang nyaris pasti terjadi. Namun, banjir tahunan di desaku berhenti ketika memasuki millennium 2000.

Tanggalnya banjir tahunan di desaku tidak lain dan tidak bukan karena rekayasa alam yang dilakukan di periode tahun 1998-1999. Ketika kukonfirmasi dengan orang desa tentang siapa yang menginisiasi proyek ini, jawabannya beragam dari pemerintah pusat dan pemerintah provinsi, tetapi tidak pemerintah kabupaten.

Apa yang dilakukan warga? Yang dilakukan dalam proyek itu adalah sederhana, yang semula aliran bengawan solo menikuk ke arah selatan, sekarang diteriskan langsung ke timur sehingga langsung nyambung dengan aliran bengawan solo di timur desa. Ketika dilihat dari peta saat ini, bengawan solo langsung mengalir ke timur tanpa belok ke desa, dan di sisi utara desa di pasang bendungan untuk antisipasi kalau-kalau pasang bengawan solo cukup tinggi.

Selain rekayasa berupa melusukan aliran bengawan solo agar desa di tikungan aliran sungai tidak terterjang air mendadak kalau pasang, satu rekayasa lain dilakukan di aliran bengawan solo di barat kecamatan Laren. Kecamatan Laren berada kurang lebih 5 kilo sebelah barat Desa Tejoasri. Di sana dibuat terusan dari bengawan solo menuju laut utara jawa.

Alasannya tentu mengurangi debit air bengawan solo yang mengalir ke timur, sehingga aliran air akan berpisah, ada yang mengalir ke timur yang tentu akan lewat juga di Desa Tejoasri dan ada yang langsung di kirim ke laut. Dan Alhamdulillah berkat dua rekayasa ini, saat ini sudah tidak terjadi banjir lagi di sana.

Dari proyek yang dilakukan di akhir abad 20 itu apakah ada protes yang dilakukan warga? Jawabannya ada, karena sebagian penduduk tetangga desa adalah pembuat genting dan bata, sehingga pasokan tanah liat dari bengawan solo tidak akan ada lagi kalau sungai dipotong seperti itu. Jadi protes yang dilakukan murni bermotif ekonomi, tidak ada warga yang kemaki memprotes mengunakan dalil agama semisal melukai ciptaan Tuhan, aku sih merasa bahwa penduduk desa juga tau kalau menghindari sebuah keburukan itu lebih utama dan didahulukan dari pada mencari manfaat seperti yang diajarkan ushul fiqh.

Sehingga dari serangkaian cerita ini, kita sebagai manusia sebenarnya diberikan kehendak untuk mengelola bumi titipan Tuhan. Apalagi memang tugas kita di dunia ini sebagai khalifah. Kita diberi wewenang untuk mengatur agar bumi ini lebih baik. Apalagi dalam Al-quran juga ditegaskan bahwa Tuhan tidak akan mengubah suatu kaum kalau ia sendiri tidak berusaha mengubahnya.

Lalu pertanyaan tidak retoris selanjutnya untuk Jakarta adalah, apa sebenarnya pokok permasalahan banjir yang terjadi di Jakarta? Apakah memang yang paling berperan adalah air kiriman dari Bogor atau karena gorong-gorong tersumbat. Kalau air kiriman dari Bogor, saya kira membuat aliran air yang langsung mengirim air ke laut juga bisa menjadi solusi, tetapi kalau masalahnya karena banyak sungai dan gorong-gorong tersumbat sampah, tentu pola hidup manusia yang perlu diedit ulang.

Urusan beginian mah urusan kolektif, tidak hanya pemprov, tidak hanya SJW plastik, tidak hanya rakyat. Kita memiliki tujuannya sama, bebas bannjir, cara bisa dibicarakan!.

Wallahu A’lam