Mengulik Potensi Merebaknya Politisasi Agama di Pemilu 2019

Mengulik Potensi Merebaknya Politisasi Agama di Pemilu 2019

Dalam riset Wahid Foundation disebutkan potensi politisasi di kedua calon

Mengulik Potensi Merebaknya Politisasi Agama di Pemilu 2019
Ada potensi politisasi agama di tiap calon. rakyat harus jernih melihatnya, termasuk janji untuk umat Islam

Wahid Foundation meluncurkan laporan tahunan tentang “Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan serta Politisasi Agama 2017”. Pada laporan tahunan kesepuluh kali ini, lembaga yang didirikan oleh Gus Dur ini secara khusus menganalisa tentang menguatnya politisasi agama di perayaan Pilkada serentak 2017 silam.

Yenny Zannuba Wahid, putri sekaligus Direktur Wahid Foundation, menyatakan bahwa kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan meningkat menjelang pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden.

Dalam riset tersebut, sepanjang Pilkada 2017 di Pulau Jawa, Wahid Foundation mencatat 28 peristiwa politisasi agama dengan 36 tindakan. Perbedaan jumlah ini dikarenakan dalam satu peristiwa bisa terjadi beberapa tindakan sekaligus. Peristiwa paling banyak terjadi di DKI Jakarta (24 peristiwa) menjelang putaran satu dan dua. Berikutnya Jawa Barat (3 peristiwa) dan Banten (1 peristiwa).

Korban individu terbanyak adalah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang mengalami sepuluh tindakan, diikuti Ridwan Kamil (Jawa Barat) dan Rano Karno (Banten).

Temuan di lapangan menunjukkan tren pelanggaran yang cenderung meninggalkan kekerasan fisik, dan beralih pada kekerasan verbal. Bentuk tindakan tertinggi adalah ujaran kebencian, pelarangan aktivitas, serta intimidasi atau ancaman. Pelanggaran tersebut tak hanya menyasar individu, namun juga gender, agama, ras, dan keyakinan kelompok tertentu.

Yenny mencontohkan bila perempuan selalu rentan menjadi korban sebagaimana terjadi di beberapa kasus konflik. Seperti beredarnya pesan berantai yang menyatakan bila perempuan pendukung Ahok halal diperkosa. Juga kisah tentang jenazah seorang nenek bernama Hindun yang ditolak untuk dishalatkan hanya karena ia merupakan pendukung Ahok.

Akan tetapi, Wahid Foundation mencatat fenomena politisasi agama seperti yang muncul dalam pilkada DKI Jakarta tidak berulang di daerah lain. Ini menunjukan jika masalah utama bukan karena masyarakat alergi dengan perbedaan agama atau keyakinan. Masyarakat Indonesia umumnya menyadari jika perbedaan tersebut merupakan kenyataan bangsa Indonesia.

“Masalah terbesar dalam politisasi agama terjadi setidaknya karena dua hal. Pertama, penggunaan idiom atau simbol agama secara eksesif dan tidak tepat di ruang-ruang politik. Kedua, adanya usaha-usaha sebagian kelompok memanfaatkan perasaan tidak suka, rasa terancam dan kebencian terhadap kelompok yang berbeda untuk meraih dukungan politik,” ujar Yenny.

FPI Konsisten Lakukan Pelanggaran

Pada laporan 2017 ini terjadi pergesaran sebaran aktor pelanggaran. Dari 28 kasus Politisasi Agama paling banyak dilakukan oleh aktor non-negara dengan 27 peristiwa, sementara negara hanya melakukan satu peristiwa. Padahal di tahun sebelumnya tindakan pelanggaran terbanyak justru dilakukan oleh negara.

Peneliti Wahid Foundation Alamsyah M. Djafar mengungkapkan, aktor non-negara yang tercatat paling tinggi melakukan politisasi agama adalah Front Pembela Islam (FPI), dengan 6 tindakan. FPI sedikitnya melakukan pada 6 peristiwa meliputi 4 tindakan ujaran kebencian, 2 tindakan intimidasi dan ancaman, dan 2 diskriminasi berdasarkan agama/keyakinan.

Ia melanjutkan, temuan ini juga menunjukkan kesamaan dengan temuan laporan di 2016. Fakta ini mengindikasikan bahwa peran organisasi tersebut dalam tindakan-tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan serta intoleransi selalu dominan dari tahun ke tahun.

“FPI istiqamah dengan tindakan pelanggarannya,” ujarnya.

Bahkan jika dibandingkan dengan pelaku lain, FPI bersama dengan warga masyarakat kerapkali bersama-sama menjadi pelaku tertinggi pelanggaran. Jika warga masyarakat merupakan pelaku yang tidak terorganisir, sementara FPI dikategorikan sebagai warga masyarakat yang terorganisir.

Dominannya FPI dan warga masyarakat sebagai aktor pelanggaran ditengarai adanya pembiaran dan belum seriusnya aparat penegak hukum dari tahun ketahun terhadap FPI. Akibatnya Ormas ini tidak menunjukkan efek jera maupun pembelajaran untuk tidak mengulangi tindakan serupa. Bahkan sebaliknya fakta ini menunjukkan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan FPI belum sepenuhnya tersentuh hukum.

Untuk mencegah meningkatnya kasus-kasus politisasi agama menjelang Pemilihan Presiden 2019, Wahid Foundation memberi sejumlah rekomendasi. Kepada lembaga pemerintahan agar menyiapkan sistem deteksi dini untuk mengantisipasi meningkatnya ujaran kebencian menjelang pilpres dan pileg 2019.

“Kepada organisasi masyarakat sipil, kami juga terus mendorong organisasi-organisasi keagamaan memperkuat semangat toleransi,” tutupnya.