Beberapa hari terakhir, eskalator di hotel Hilton menjadi perbincangan warganet. Konten seorang artis yang bersuamikan Habib disebut menjadi pemicunya, karena dianggap bermuatan sindiran kepada beberapa artis yang dianggap tidak fokus beribadah karna sibuk bikin konten. Di sisi lain, warganet menyebut artis dan suami lewat konten tersebut telihat norak.
Media sosial telah memiliki peran penting dalam perjalanan haji. Menariknya, akhir-akhir ini fungsi media sosial tidak lagi sekedar merekam, namun di saat bersamaan juga menjadi ruang perbincangan. Platform media sosial menjadi ruang berbagi, bahkan bertarung dalam membangun cerita terkait tema tertentu, dalam hal ini haji.
Kisah konten artis di atas hanya satu dari sekian perbincangan bagaimana wajah perjalanan haji tahun ini. Minggu lalu, misalnya, kita juga mengonsumsi konten kondisi kemah, perjalanan Muzdalifah-Mina, proses melontar di Mina di berbagai platform media sosial. Konten yang beredar tidak saja dikeluarkan atau diproduksi jemaah haji, namun para petugas juga turut berpartisipasi.
***
Achmad Fedyani Saifuddin, antropolog, pernah mengulas terkait sejarah elit dan orang biasa. Menurutnya, sejarah tidak hanya dipahami melalui konstruksi etik makro yang kerapkali elitis, melainkan membacanya dalam konteks paling dekat dengan realitas kejadian-kejadian bermakna sendiri, yakni sejarah menurut orang biasa.
Dalam media sosial, orang-orang biasa memiliki ruang publik terbuka dan “bebas.” Kondisi inilah menjadikan setiap warganet memiliki “kuasa” untuk memproduksi informasi, yang akhirnya menjadi pengetahuan publik. Konsumsi informasi di ruang digital telah menjadi bagian dari membangun pengetahuan bagi warganet.
Istilah “Kyai Google” atau “Syekh Chat GPT” mungkin terkesan sinis. Namun, pengetahuan hari ini semakin mudah diproduksi, diperoleh, dan dikonsumsi di media sosial tidak begitu dipermasalahkan. Jika sebelumnya media sosial menjadi wadah untuk saling berkomunikasi, hari ini telah bertransformasi menjadi wadah warganet membagikan pengalaman, pengetahuan, hingga informasi yang mereka miliki.
Beragam informasi beredar di media sosial telah menjadi bagian dari membangun pengetahuan. “Pengetahuan tidak pernah menjadi fenomena netral atau objektif, melainkan soal posisionalitas, soal dari mana orang berbicara, kepada siapa dan untuk tujuan apa” kata Chris Barker. Untuk itu, peredaran informasi di media sosial juga menjadi medium ekspresi hingga menjadi informasi tandingan yang dihadirkan oleh kelompok elit, dalam hal ini pemerintah.
***
Gambaran perjalanan haji yang dialami oleh warganet, yang sedang menjalankan ibadah haji, sesungguhnya melengkapi kisah-kisah haji yang beredar tahun ini. Jika pemerintah, lewat para petugas haji, menangkap gambaran dan ekspresi dari sisi elit. Namun, di sisi lain, pengalaman dan beragam kejadian yang dialami para jemaah haji juga dihadirkan lewat media sosial.
Kedua cerita terkait haji di media sosial saling beradu dan bertarung mendapatkan atensi publik. Wajah kesuksesan pelayanan haji yang dihadirkan pemerintah yang diekspresikan atau digambarkan lewat beragam postingan para petugas haji, hari ini juga mendapatkan tandingan narasi lewat beragam postingan para jemaah yang menjalani ibadah haji.
Sejarah haji yang dibangun para jemaah haji seakan menjadi sejarah orang biasa. Sehingga, kisah-kisah haji hari ini tidak sekedar catatan, rekaman, atau unggahan iseng belaka, namun di saat bersamaan ia telah mewujud menjadi ruang diskusi bagaimana wajah haji Indonesia di tahun 2024.
Contohnya, minggu lalu kita mendapati beragam postingan terkait gambaran soal kemah para jemaah haji di Mina. Jemaah haji di tanah suci mengunggah beberapa konten terkait kondisi kemah yang mereka atau jemaah lain tempati di Mina. Beragam masalah tenda dan pelayanan yang didapati para jemaah pun menjadi konsumsi publik, baik sesama jemaah atau warga Indonesia di tanah air.
Menariknya, tahun ini, kita juga menjumpai warga Indonesia yang berangkat dari negara lain, seperti Korea, yang juga turut menjadi bahan perbincangan publik dalam menggambarkan bagaimana perjalanan dan pelayanan haji tahun ini. Jadi diskusi soal wajah perjalanan haji tidak hanya dikonstruksi dari kelompok elit belaka, masyarakat atau jemaah biasa pun turut mewarnainya.
Selain itu, keberhasilan konsumsi yang dibagikan ke jemaah haji sebagai bagian dari pelayanan. Oleh sebab itu, para jemaah memang dilarang membawa beragam bahan makanan, namun sebagian jemaah merekam bagaimana mereka menikmati mie instan yang dimasak lewat alat-alat masak elektrik. Kebahagiaan itu dibagikan di media sosial.
Haji adalah perjalanan yang selalu merekam banyak hal, kompleks, dan tak sedikit yang absurd. Hari ini beragam cerita mistis, bernada narsis, hingga pencitraan malah turut berkelindan di dalamnya. Kehadiran cerita atau sejarah orang biasa dalam perjalanan haji sebenarnya menambah khazanah pengetahuan bagi siapapun yang bertanggungjawab, untuk merancang perjalanan haji ke depan menjadi lebih baik.
Dulu, kisah-kisah perjalanan haji hanya menjadi konsumsi di ruang dan khalayah terbatas. Media sosial telah merubuhkan sekat-sekat tersebut. Hari ini publik bisa mengkonstruksi kisah-kisah haji mereka sendiri, tidak sekedar untuk diceritakan pada keluarga. Namun, kisah-kisah tersebut telah menjadi konsumsi dan pengetahuan publik, termasuk ruang belajar bagi banyak calon jemaah haji di masa akan datang.
Fatalahallahu alaina futuh al-arifin