Empat hari sebelum puncak pelaksanaan Haul Guru Sekumpul ke-14 pada Minggu (10/3), akun media sosial saya diramaikan dengan kabar tentang Ridwan, pria dewasa berumur sekitar 40 tahun berjalan kaki dari Palangkaraya menuju Martapura, atau lebih tepatnya Sekumpul. Ridwan berjalan kaki sejauh ratusan kilometer untuk memenuhi nazarnya bisa berhadir di acara puncak Haul salah satu tokoh besar yang sekarang akrab dikenal dengan KH. M. Zaini Ghani atau Guru Sekumpul.
Kisah perjalanan Ridwan hanya salah satu cerita tentang masyarakat kecil memaknai kehadirannya di Haul Guru Sekumpul. Kehadiran umat muslim, yang disebut mencapai angka jutaan, di Haul tersebut memang memiliki makna bagi setiap pengikut acara tersebut. Memang makna terdalam akan sebuah kehadiran hanya dirasakan oleh diri sendiri selama prosesi Haul berlangsung.
Tapi, kehadiran di ruang publik bisa dimaknai tidak cuma pribadi yang berhadir di sana, tapi ada juga aspek di luar pribadi yang mampu memberi atau memainkan makna dari sebuah kehadiran tersebut. Kemudian, perlu kiranya kita bertanya, bagaimana kalau tokoh politik atau kontestan Pemilu tahun ini hadir dalam acara Haul tersebut? Apakah makna yang diambil dari kehadirannya di sana?
Makna Politisi
Jumlah peserta haul yang mencapai angka jutaan adalah kemewahan jika dilihat dari sisi elektoral, inilah yang menyebabkan perbincangan politik tidak pernah surut mewarnai setiap pelaksanaan Haul setiap tahunnya. Namun, salah satu nilai yang dipertahankan dalam Haul Abah Guru Sekumpul hingga sekarang adalah larangan kampanye politik praktis di wilayah Sekumpul. Sikap resistensi penyelenggara selalu ditegaskan setiap tahun sejak persiapan awal pelaksanaan Haul. Nilai tersebut merupakan aturan yang diwariskan oleh Guru Sekumpul sendiri, semasa masih hidup. Larangan inilah yang menyebabkan wilayah Sekumpul steril dari apa saja yang berbau politik praktis dan bertahan hingga sekarang.
Tahun 2018 kemarin, kehadiran Joko Widodo, Presiden RI, direspon beragam walau suara penolakan jumlahnya lebih dominan. Tapi, Jokowi tetap berhadir dengan pengamanan standar paspampres dilaksanakan seminimal mungkin, walau belum bisa meredam suara penolakan dari masyarakat. Tahun ini, kabar kehadiran Prabowo Subianto, salah satu kontestan Pilpres, juga berhembus hingga sehari sebelum puncak haul, walau akhirnya digantikan kehadirannya oleh Sandiaga Uno, yang notebene calon Wakil Presiden dari Prabowo Subianto.
Masyarakat memang memiliki caranya sendiri dalam menjaga Sekumpul sebagai wilayah steril dari hawa politik praktis. Suara penolakan juga muncul di masyarakat atas isu kehadiran Prabowo, dengan alasan yang sama pada saat kehadiran Jokowi tahun lalu, yaitu keinginan menjaga Sekumpul tetap steril dari politik praktis agar kekhusyukan Haul terjaga. Tradisi sterilisasi dari politik praktis terus dijaga hingga sekarang dengan beragam cara yang dilakukan oleh penyelenggara dan pihak keluarga hingga sekarang.
Fakta menarik dari Haul Sekumpul adalah kehadiran dari para tokoh politik tidak pernah ada yang ditolak, selama tidak membawa embel-embel politik yang melekat pada diri mereka. Tidak sedikit tokoh politik berhadir dalam Haul Abah Guru Sekumpul setiap tahunnya. Kehadiran mereka memang diperlakukan sebagai tamu VIP, tapi tidak ada yang menonjol dalam kehadiran mereka dalam acara tersebut, mereka sama dengan orang lainnya sebagai jemaah Haul.
Makna kehadiran langsung di acara Haul Abah Guru Sekumpul memang bisa digunakan sebagai strategi politik untuk meningkatkan elektabilitas. Tapi saya melihat strategi kehadiran langsung kurang berhasil, karena dipengaruhi oleh dua hal dominan yaitu keterikatan jemaah haul dengan sosok Guru Sekumpul yang sangat berpengaruh dalam kehidupan beragama masyarakat, dan minimnya faktor pendukung dalam mendongkrak suara.
Membincangkan afinitas masyarakat Banjar pada sosok Guru Sekumpul memang hal yang kompleks, sebab banyak hal yang berkelindan di dalamnya. Kehadiran sosok Guru Sekumpul dalam keberagamaan masyarakat Banjar masih dirasakan dampaknya hingga sekarang, bahkan memori tentang pribadi beliau terus diwariskan dari generasi ke generasi. Kerinduan akan sosok Sekumpul adalah alasan dominan jemaah yang menghadiri haul Abah Guru Sekumpul, yang menyebabkan semakin meningkatnya setiap tahunnya.
Memori sikap resistensi dari Guru Sekumpul terhadap politik praktis di Sekumpul hingga sekarang terus dijaga dan diwariskan pada seluruh lapisan semua generasi. Sikap Guru Sekumpul tersebut yang memunculkan sikap kehati-hatian dari pihak keluarga, penyelenggara, hingga jemaah dalam menyikapi kehadiran tokoh politik baik lokal atau nasional. Sikap ini diharapkan bisa dipertahankan sampai kapanpun oleh semua pihak terutama pihak keluarga dan penyelenggara, karena mereka adalah pihak paling menentukan dalam persoalan ini politik praktis ini.
Tempat di mana makna dihadirkan dan dimainkan adalah masyarakat, termasuk persoalan makna kehadiran dari para tokoh politik. Kehadiran seorang tokoh di dalam Haul memang bukan hal yang luar biasa, sebab setiap tahun tidak sedikit tokoh yang menghadiri acara yang dihadiri jutaan orang tersebut yang jika diukur secara politis sangat menggiurkan.
Kehadiran tokoh politik dalam sebuah acara mampu meninggalkan makna, baik disengaja atau tidak, yang disisipkan dengan berbagai strategi kreatif. Saat pihak keluarga dan penyelenggara Haul Abah Guru Sekumpul melarang atribut politik dipakai saat memasuki tempat pelaksanaan, ini membuat tokoh politik dan timnya harus memutar otak bagaimana kehadirannya di acara tersebut tetap bisa dimaknai oleh masyarakat.
Media massa, baik cetak atau daring, hingga media sosial juga memiliki peran dalam memunculkan makna kehadiran di dalam acara Haul Abah Guru Sekumpul tersebut. Melalui para pendukung dan media yang menjalan tugasnya dalam menyebarkan berita tentang kehadiran seorang politisi, hingga makna sebuah kehadiran bisa tersampaikan kepada seluruh jemaah Haul termasuk mereka yang tidak bertemu secara langsung.
Namun, jemaah Haul bukanlah pemirsa yang pasif terhadap informasi yang menjejali pikiran mereka. Jemaah memiliki kemampuan menyeleksi dan memberikan makna baru dalam kehadiran tokoh tersebut, oleh sebab itu kehadiran tokoh bisa tidak bermakna sama sekali karena sikap kehati-hatian yang dikedepankan oleh jemaah karena ingin menjaga Haul tetap steril dari unsur politik.
Sikap kehati-hatian jemaah haul memang tidak bisa digeneralisasi, tapi sisi tersebut harus semakin diasah sebagai filter bagi politik kehadiran di Haul Abah Guru Sekumpul. Sebab, perkembangan strategi politik dalam menghadapi kondisi yang kurang kondusif sering menghasilkan teknik kreatif dari politisi, yang kadang belum terpikirkan oleh sebagian besar masyarakat. Oleh sebab itu, sikap tegas dan sikap kehati-hatian dari pihak keluarga dan penyelenggara juga harus semakin diasah dalam menghadapi berita yang sering dibungkus dengan sangat indah dan kreatif.
Kreativitas mengemas bingkai kehadiran harus dimiliki seorang tokoh politik yang ingin kehadirannya bisa dimaknai dan mempengaruhi pilihan politik para calon pemilih. Tapi, faktor pendukung yang minim dalam Haul Abah Guru Sekumpul, seperti tidak dibolehkan membawa logo partai atau waktu untuk memberikan sambutan, memang memaksa politikus bersama timnya harus memutar otak mengemas kehadiran yang bisa dijadikan pendongkrak elektabilitasnya. Kita bisa lihat kelihaian para politisi dalam menghadapi kondisi tersebut di Haul Abah Guru Sekumpul, misalnya memanfaatkan ruang abu-abu dalam prosesi haul dengan memanfaatkan posisi duduk atau memanfaatkan media sosial untuk memframing kehadirannya selama prosesi Haul bisa dijejalkan dalam mempengaruhi pilihan masyarakat nantinya.
Perdebatan kedatangan tokoh politik yang terjadi beberapa tahun ini, kedewasaan para jemaah Haul harus terus dikedepankan agar terhindar dari saling hujat dan tuding karena kehadiran sosok konstestan politik. Sebab, kehadiran di ruang fisik bisa bermakna berbeda dalam framing dunia maya.
Jadi maknailah kehadiran diri dalam Haul sebagaimana yang dicontohkan oleh banyak jemaah di sana, seperti pak Ridwan dari Palangkaraya yang memaknai kehadirannya sebagai wujud rasa cinta kepada sosok Guru Sekumpul. Jadi, hindarilah politik kehadiran yang bisa menggerus rasa kecintaan pada sosok ulama dan menggantikannya dengan hitung-hitungan elektoral belaka.