Mengulik Islam Pakaian dan Islam Tindakan; Kita Mau yang Mana?

Mengulik Islam Pakaian dan Islam Tindakan; Kita Mau yang Mana?

Mengulik Islam Pakaian dan Islam Tindakan; Kita Mau yang Mana?
Gisele Marie, seorang musikus asal Brasil, menjadi salah satu simbol hijab mental. Hijaber juga sering dapat rasisme Source: Al Arabiya News

Beberapa tahun terakhir, wajah Islam di ruang publik kita terasa semakin visual. Meningkatnya kesadaran beragama membuat simbol-simbol Islam hadir di mana-mana: baju koko, hijab syar’i, gamis, sarung, peci, bahkan stiker-stiker dakwah yang menempel di kendaraan umum hingga di media sosial. Fenomena ini menandakan bahwa masyarakat kita semakin ingin menunjukkan identitas keislaman.

Namun, di balik geliat simbolik itu, ada pertanyaan reflektif yang layak kita ajukan bersama: apakah tampilan luar kita sudah sejalan dengan tindakan nyata kita sehari-hari? Apakah semangat kita memakai simbol Islam sebanding dengan semangat kita meneladani akhlak Nabi Muhammad SAW dalam keseharian?

Saya ingin mengangkat satu cerita kecil dari pengalaman saya saat berkendara antara Bondowoso dan Jember, yang justru membuka ruang perenungan besar soal ini.

Dua Sosok, Dua Gaya Islam

Di jalan raya, saya menjumpai dua sosok yang sama-sama berkendara motor. Sosok pertama adalah seorang bapak berpenampilan “islami” secara konvensional: mengenakan baju koko putih, bersarung, berpeci putih. Dari tampilannya, kita tentu bisa langsung menebak bahwa ia seorang muslim yang, mungkin, taat.

Sayangnya, apa yang ia tampilkan lewat pakaian tidak tercermin dalam perilakunya di jalan. Ia berkendara tanpa helm, menyeberang tanpa menoleh kanan kiri, memarkir kendaraan sembarangan, dan cenderung menerobos tanpa peduli keselamatan orang lain.

Sosok kedua lebih “biasa”: pria berkaus dan bercelana pendek, tidak ada simbol luar yang menunjukkan ia muslim. Tapi justru dia yang berkendara dengan rapi, menoleh sebelum menyeberang, memakai helm, taat pada rambu, dan memarkir motor dengan tertib.

Lalu saya bertanya pada diri sendiri (dan kini saya ajukan pada Anda): dari dua orang itu, siapa yang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam?

Bagi saya, jawabannya jelas: yang kedua. Ia mungkin tak tampil “islami” secara simbolik, tapi tindakannya sangat sejalan dengan nilai-nilai Islam: hati-hati, tertib, dan tidak menyusahkan orang lain.

Islam Tak Sekadar Busana

Dalam Islam, akhlak adalah pondasi. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”. Ini menjadi pesan penting bahwa puncak dari keislaman seseorang bukan pada simbol, tapi pada karakter.

Pakaian tentu penting. Ia adalah bagian dari identitas dan ekspresi iman. Tapi jika hanya berhenti di pakaian, dan tidak meresap ke dalam laku hidup, maka keislaman kita baru berada di permukaan. Padahal, iman itu seharusnya menembus hati dan mencerminkan perbuatan.

Sayangnya, kita kadang terjebak pada “kemasan” Islam: sibuk menilai keimanan orang lain dari hijab, sarung, jenggot, atau celana cingkrang. Tapi lupa bahwa Allah menilai manusia dari hati dan amalnya, bukan dari label atau penampilan.

Muhammad Abduh, pemikir besar asal Mesir, pernah melontarkan kalimat yang hingga kini masih terasa relevan:

“Saya melihat Islam di Eropa, tapi tidak melihat Muslim. Saya melihat Muslim di negara-negara Islam, tapi tidak melihat Islam.”

Ironis, tapi menggelitik. Banyak masyarakat Barat yang mungkin tidak memeluk Islam, tapi dalam etika sosial, justru lebih islami: mereka tertib, jujur, antri, disiplin, menghargai waktu, menjaga kebersihan, dan menghormati hak orang lain.

Menjadikan Etika Sebagai Ibadah

Etika dalam kehidupan sehari-hari—termasuk saat berkendara di jalan—bukan sekadar sopan santun biasa. Dalam Islam, ia adalah bagian dari ibadah. Rasulullah pernah bersabda, “Seorang muslim adalah orang yang orang lain selamat dari lisan dan tangannya.” (HR Bukhari dan Muslim). Maka, berkendara dengan tertib, tidak membahayakan orang lain, tidak menyerobot hak pengguna jalan lain, semuanya adalah bentuk ibadah sosial.

Prinsip laa dharara wa laa dhiraar—tidak membahayakan dan tidak menimbulkan bahaya—merupakan salah satu kaidah besar dalam fiqh Islam. Maka memakai helm, taat lalu lintas, dan menghormati sesama pengguna jalan bukan hanya perintah negara, tapi bagian dari nilai keislaman itu sendiri.

Bayangkan jika seluruh pengendara di Indonesia menganggap mematuhi rambu lalu lintas sebagai bagian dari iman. Mungkin angka kecelakaan bisa ditekan, dan kualitas hidup di jalan bisa meningkat.

KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama di Indonesia, dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim menekankan pentingnya akhlak dalam mencerminkan keilmuan dan keislaman seseorang. Bahwa orang berilmu dan beragama seharusnya menjadi penyejuk dan penentram bagi orang lain, bukan sebaliknya.

Seorang muslim seharusnya menjadi pribadi yang menenangkan, bukan yang membuat resah. Seorang muslim seharusnya menjadi teladan dalam perilaku, bukan sekadar simbol dalam tampilan.

Penutup: Jalan Pulang yang Lebih Tenang

Perjalanan saya antara Bondowoso dan Jember mungkin hanya satu-dua jam, tapi ia membuka perjalanan batin yang jauh lebih dalam. Tentang bagaimana kita sebagai umat Islam harus terus mengevaluasi diri: apakah kita sedang menjadi muslim hanya di level simbol, atau sudah naik menuju muslim sejati yang menebarkan rahmat dalam setiap tindakan?

Semoga kita semua bisa menjadi muslim yang tak hanya tampak dari luar, tapi benar-benar menghadirkan Islam dalam akhlak dan sikap hidup sehari-hari.

Terakhir, “Islam tak butuh dipertontonkan. Islam hanya butuh dijalankan”.