Mengulik Instruksi PBNU Terkait PWI-LS dan Polarisasi Umat Islam Tradisional

Mengulik Instruksi PBNU Terkait PWI-LS dan Polarisasi Umat Islam Tradisional

Mengulik Instruksi PBNU Terkait PWI-LS dan Polarisasi Umat Islam Tradisional
Foto oleh: Suwitno (NU Online)

Rangkaian polemik nasab Baalawi yang pertama kali digulirkan oleh KH. Imaduddin Utsman sekitar 3 tahun lalu, telah memasuki babak baru. Hal itu ditandai dengan penerbitan Instruksi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tentang isu nasab, pada 2 Juni 2025 lalu. Melalui instruksi yang terdiri dari 5 poin, terbaca bahwa PBNU mulai melihat potensi gangguan—baik bagi NU sebagai organisasi, bagi kaum nahdliyin, maupun bagi umat Islam tradisional secara umum—di balik perseteruan antara kubu anti-habib dan pro-habib itu.

Secara struktural, potensi “bahaya” itu berupa pembangkangan terhadap hirarki administratif dan otoritatif keulamaan NU, sementara secara kultural berbentuk permusuhan antara warga Nahdliyin yang menolak dan yang menerima habaib. Keretakan konsolidasi struktural dapat diendus melalui sikap dan kebijakan beberapa Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) yang tidak selaras dengan PBNU dalam memperlakukan habaib.

Salah satunya adalah PCNU Solo Raya yang sempat menyatakan menolak segala sesuatu yang berhubungan dengan habaib, baik menyangkut literatur keilmuan (seperti kitab Sulam al-Taufiq, Bughyatul Murtarsyidin, dll, yang biasa diajarkan di pondok pesantren-pondok pesantren), tradisi ritual (seperti pembacaan Ratib al-Haddad, Simtud Durror, dll), maupun relasi sosial keagamaan (semisal acara majelis taklim, haul, maulid, solawatan, dll, yang melibatkan habaib).

Perpecahan di tingkat kultural, yang pada awalnya hanya terjadi di media sosial berupa saling cela antara kubu nahdliyin anti-habaib (diejek dengan sebutan “Mukimad”) dan nahdliyin pro-habaib (diolok dengan julukan “Mukibin”), beralih ke dunia nyata dan memuncak dengan pendirian ormas bernama Perjuangan Walisongo Indonesia – Laskar Sabilillah (PWI-LS).

Konon, lebih dari setengah anggota ormas yang mendapat dukungan dari beberapa jenderal itu (antara lain Ahmad Nur Wahid dan Dudung Abdurachman), merupakan anggota Ansor/Banser. Ketertarikan sejumlah anggota Ansor/Banser ke dalam ormas PWI-LS lantaran mereka berada dalam satu irisan; para pendiri PWI-LS berasal dari latar belakang NU dan menyatakan sebagai pembela “kiai-kiai Nusantara”.

Tampaknya, bagi PBNU (juga bagi para kiai yang tidak anti-habaib), penggunaan simbol-simbol NU dan perekrutan anggota Ansor/Banser oleh PWI-LS, dirasakan sebagai kerikil dalam sepatu yang kelak bisa menyulitkan langkah-langkah organisasi Islam terbesar di Indonesia itu, dalam mempertahankan posisinya sebagai salah satu benteng moderasi agama dan kebhinekaan bangsa.

Baca juga: Anhar Gonggong, Peter Carey, dan Jaringan Anti-Habib

Kasus pengadangan dan ancaman pembatalan beberapa acara habaib (seperti Habib Syech AA dan Habib Ali Zaenal Abidin Az-Zahir) dan yel-yel serta pernyataan anti-etnis Baalawi dan keturunan Yaman yang kerap disuarakan oleh pengurus PWI-LS, menjadi gambar yang cukup jelas bagi PBNU dalam menimbang dan mengambil sikap terhadap ormas pimpinan KH Muhammad Abbas Billy Yachsi itu. Kiai muda yang dikenal dengan panggilan Gus Abbas itu merupakan pengasuh Ponpes An-Nadwah, Buntet, Cirebon.

Kecaman dan penghinaan terhadap PBNU dan jajaran pengurusnya, baik terhadap Ketua Umum KH. Yahya Cholil Staquf maupun Rais Aam KH. Miftachul Akhyar yang dilakukan oleh sejumlah anggota dan pengurus PWI-LS, memperjelas warna ideologi dan praksis ormas itu di mata PBNU: PWI-LS dinilai sebagai ormas yang sengaja dibentuk untuk mengobarkan permusuhan. Overlapping keanggotaan antara PWI-Laskar Sabilillah dan Ansor/Banser, mendorong PBNU secara eksplisit menegaskan bahwa perkumpulan yang didirikan pada 2023 di Buntet, Cirebon itu, bertentangan dengan tradisi, semangat, dan khittah NU.

Fenomena Politik, Habib Rizieq Shihab dan Habib Bahar Smith

Sebagaimana disampaikan sendiri oleh KH. Imaduddin Ustman dalam ceramahnya pada awal-awal merebaknya isu nasab, kemarahannya pada perilaku kasar (dan sikap politik) para habib merupakan motif yang mendorongnya untuk menulis tesis pembatalan nasab Baalawi. Dalam konteks ini, frasa “para habib”  mesti dipahami merujuk kepada Habib Rizieq Shihab (HRS) dan Habib Bahar bin Smith (HBS), mengingat keduanya merupakan tokoh dari kalangan habib yang paling “iconic”—baik sebagai subyek maupun obyek—dalam lanskap perbincangan publik di ranah pertarungan politik di Indonesia.

Sekaitan dengan itu, dalam wawancaranya dengan Akhmad Sahal di Cokro TV pada akhir tahun lalu, Jenderal Dudung Abdurachman mengatakan bahwa pembatalan nasab Baalawi merupakan sebuah upaya pelurusan sejarah. Menurut jenderal yang mengaku sebagai keturunan Walisongo itu, berdasarkan “survei dan penelitian akademis” yang dilakukan oleh KH. Imaduddin Ustman, terbukti nasab habaib tidak tersambung kepada Rasulullah. Dengan tersiarnya penemuan itu, Jenderal  Dudung berharap umat Islam akan berhenti “mengultuskan” mereka.

Sebagai catatan, mantan Kepala Staf AD pada era Presiden Jokowi itu, memiliki riwayat permusuhan politik dengan HRS dan HBS. HRS adalah motor penggerak massa saat aksi-aksi unjuk rasa besar-besaran menuntut penangkapan Gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dalam kasus “Surat Al-Maidah”. HRS dan HBS juga dikenal dengan ceramah-ceramah kerasnya yang mengejek Presiden Jokowi dan menjulukinya “presiden zalim”.  Oleh kubu pro-pemerintah saat itu, keduanya dipandang sebagai provokator dan representasi kekuatan Islam kanan atau Islam radikal.

Selanjutnya, selain mengatakan bahwa nasab Baalawi tidak tersambung kepada Nabi Muhammad, KH. Imaduddin Ustman juga menyatakan bahwa Baalawi merupakan etnis yang didatangkan oleh Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial menghadapi perlawanan ulama pribumi (pernyataan ini sesuai dengan pendapat salah seorang pendukungnya, yaitu Islah Bahrawi. Direktur Jaringan Moderat Indonesia yang diingat sebagai aktifis media sosial yang sangat menentang FPI itu, mengatakan hal serupa dalam wawancaranya dengan Rhoma Irama).

KH Imaduddin Ustman giat berkeliling ke berbagai daerah untuk meyakinkan umat Islam bahwa nasab Baalawi tidak tersambung kepada Nabi Muhammad. Dalam hampir semua ceramahnya, pengasuh pondok pesantren Nahdlatul Ulum, Tangerang itu, menyerukan kebangkitan kaum “pribumi” untuk melawan apa yang kerap ia sebut sebagai “perbudakan oleh imigran Yaman”.

Masih berkaitan dengan persoalan itu, dalam salah satu penampilannya di Channel Mahfud MD Official belum lama ini, Prof. Mahfud MD mengutarakan bahwa— setelah membaca tulisan dosen filologi FIB Unair, Menachem Ali–dirinya meyakini nasab habaib tidak ada kaitannya dengan Nabi Muhammad.

Selanjutnya, selain memaparkan beberapa kasus yang memperlihatkan perilaku buruk oknum habaib di Jawa Tengah dan Madura, mantan Menkopolhukam itu mengungkapkan kejengkelannya  atas “kasta tinggi” yang dilekatkan pada habaib oleh sebagian umat Islam di Indonesia. “Sejak kapan kita menjadi budaknya orang-orang Yaman?” merupakan pertanyaan retorik yang ia lontarkan. Dalam wawancara itu, Mahfud MD juga menyebut-nyebut  nama HRS dan HBS (dengan sebutan “habib yang rambut perak”).

Di tingkat akar rumput, seiring dengan menjamurnya kanal-kanal Youtube yang khusus menyiarkan keburukan habaib, para pendukung KH. Imaduddin Ustman—nyaris semuanya juga kontra HRS dan HBS—menjelma menjadi kekuatan massa anti-habib, termasuk yang kemudian diorganisir menjadi PWI-LS.  Dengan demikian, bisa dibilang bahwa pembatalan nasab Baalawi, penolakan terhadap seluruh habaib, dan sentimen anti-etnis Baalawi dan keturunan Yaman, bermula dari kemarahan pada sepak terjang, pengaruh, sikap dan peran politik kedua informal leader itu.

Fakta-fakta di atas memberi gambaran terang bahwa isu nasab bukanlah perkara wacana ilmiah tentang silsilah, melainkan sebuah gerakan politik massa melawan HRS dan HBS, dan untuk mengikis pengaruh seluruh habaib demi mencegah kemungkinan munculnya tokoh-tokoh semacam itu pada masa yang akan datang.

Operasi politik dengan cita-cita “memerdekakan pribumi dari penjajahan kaum imigran Yaman” itu, menyasar komunitas Baalawi, berpusar di kalangan nahdliyin, dan berkelindan secara kuat dengan topik keagamaan Islam tradisional, antara lain ihwal karomah, barokah, wali, ziarah makam, haul, dan penghormatan terhadap para guru agama; kiai, habib, ulama serta sanad keilmuan mereka.

Maka, sampai pada batas tertentu, instruksi PBNU bisa dipandang sebagai respons terhadap potensi gangguan pada kemapanan bangunan teologi dan tradisi, juga pada keharmonisan dan kohesi sosial kalangan Islam tradisional, akibat gerakan politik massa “ganyang Baalawi dan keturunan Yaman” itu.

Melalui amar yang ditujukan kepada Pengurus Wilayah NU se-Indonesia, Pengurus Cabang NU se-Indonesia, Pengurus Cabang Istimewa NU, dan Pimpinan Pusat Banom NU itu, PBNU menyerukan kepada seluruh fungsionaris pengurus dan kader NU untuk menjadikan khittah NU sebagai landasan dalam berpikir, bersikap, dan bertindak.

Dalam salah satu poinnya, ditegaskan bahwa NU tidak dapat menoleransi sikap, perilaku, dan ucapan siapa pun dan dari pihak mana pun (baca: pihak anti-habaib maupun pihak Baalawi dan pro-habaib–pen) yang menyimpang dari nilai-nilai syariat, adab, serta persatuan dan kesatuan bangsa, lebih-lebih dengan menyalahgunakan kemuliaan Rasulullah SAW.  Selanjutnya, instruksi itu menandaskan bahwa kesalahan dan penyimpangan yang dilakukan oleh orang per orang, tidak boleh dijadikan dasar untuk mengobarkan pertentangan dan permusuhan antar kelompok.

Pengawal Islam Wasathiyah (Islam Moderat)

Instruksi PBNU kepada pengurus dan kader NU agar tidak ikut serta dalam silang pendapat terkait nasab dan tidak bergabung dalam perkumpulan atau organisasi seperti PWI-LS dan organisasi yang berseberangan dengan PWI-LS, mengindikasikan bahhwa PBNU menilai kedua kubu yang berseteru telah sama-sama terjebak dalam ekstremisme.

Hinaan, ancaman sweeping, seruan dan tantangan untuk berperang, silih berganti digaungkan oleh kedua belah pihak (bahkan sebagian di antaranya secara demonstratif diiringi dengan acungan senjata tajam). Dan sebagaimana lazimnya ekstermisme, kedua kelompok sama-sama berpotensi untuk ditunggangi oleh pihak-pihak ketiga, dengan motif dan agenda yang berbeda-beda.

Pada titik ini, menghadapi perbelahan yang berkembang di kalangan umat Islam tradisional itu, PBNU memperjelas posisinya selaku pengawal Islam wasathiyah sesuai dengan tabiat, semangat, dan amanat para pendiri NU. Dengan demikian, isu nasab merupakan batu ujian bagi NU dalam mempertahankan eksistensi dan posisinya sebagai jamiah penjaga keseimbangan kehidupan beragama dan berbangsa.

Kita belum tahu bagaimana akhir friksi itu, dan sejauh mana kesuksesan PBNU mengatasinya. Dukungan beberapa kiai terkenal (meski sudah tidak lagi duduk di kepengurusan NU) kepada KH. Imaduddin Ustman dan PWI-LS, tentu akan menjadi tantangan tersendiri bagi keberhasilan PBNU.

Kontroversi perluasan tambang nikel di Raja Ampat yang menyeret nama KH. Ahmad Fahrur Rozi yang dikait-kaitkan dengan posisinya sebagai pengurus PBNU (bahkan ada yang mengait-ngaitkankannya dengan polemik nasab mengingat KH. Fahrur Rozi, atau yang akrab disapa Gus Fahrur itu, pernah terlibat perdebatan dengan KH. Imadudin Ustman di salah satu kanal Youtube), sedikit banyak juga ikut menambah kompleksitas persoalan.

Namun, mengingat NU adalah organisasi besar bersejarah yang memiliki pengalaman panjang dalam menghadapi terpaan masalah, baik yang berasal dari pihak eksternal maupun yang bersumber dari sisi internal, kita layak optimis PBNU akan mampu mengelola konflik itu dengan baik.[]