Satu tahun periode ke-2 Presiden Jokowi, KSP merilis laporan yang memuat banyak hal, dari mulai penanganan Covid-19, peluang ditengah krisis ekonomi, hingga klaim kerukunan berbangsa. Laporan ini perlu ditelaah lebih teliti karena, bila melihatnya lewat kacamata critical discourse analysis, akan ada banyak kesenjangan antara apa yang direpresentasikan oleh laporan KSP, baik itu aspek kebahasaan maupun aspek visual, dan apa yang dilaporkan oleh berbagai laporan dari institusi lain.
Meski begitu, biarlah pandangan lewat kacamata itu menjadi analisa tersendiri, dan biarlah masing-masing topik yang ada dalam laporan terbaru KSP ini menjadi perdebatan di forum/kesempatan lain.
Akan tetapi, ada satu bagian dari laporan satu tahun pertama Jokowi-Ma’ruf ini yang bisa uji lebih jauh, yakni bagian yang berjudul Pada Rumah Besar Pancasila, isinya berbunyi:
Toleransi dan kerukunan sebagai modal sosial kebangsaan yang terus dijaga. “Hanya dengan bersatu, kita akan menjadi negara kuat dan disegani,” begitu ajakan Presiden Joko Widodo pada acara Visi Indonesia tahun lalu. Pesan ini menjadi bukti pentingnya toleransi semua warga negara. Menyelaraskan perbedaan dengan rumah besar Pancasila menjadi sesuatu yang indah. Tidak ada lagi orang Indonesia, yang tidak toleran terhadap perbedaan. Tidak ada lagi orang Indonesia yang tidak menghargai penganut agama lain, warga suku lain, dan etnis lain.
Secara moral, pilihan kata atau diksi yang tertuang dalam laporan satu tahun Jokowi-Ma’ruf itu memang tidak ada yang keliru. Tapi jika disandingkan dengan kenyataan, kita mungkin akan mengerutkan dahi. Kutipan di atas mirip lagu lama yang diputar ulang. Hanya karena telah melewati satu tahun Pilpres 2019 yang kental eksploitasi SARA, bukan berarti klaim dalam laporan itu benar-benar nyata. Sebagai negara yang multikultur, Indonesia punya modal sosial yang menggoda untuk dikotakkan dan konversi menjadi energi politik. Sejalan dengan hal itu, naik-turun gelombang SARA sering kali menjadi peristiwa musiman.
Saat tidak berada di periode politik elektoral, permukaan Indonesia memang terlihat tenang. Hari ini, boleh saja mengklaim kerukunan, persatuan dan sejenisnya. Namun ketika memasuki periode politik elektoral, banalitas primordial yang terpendam sering kali kembali muncul ke permukaan dengan gelombang yang naik-turun. Tentu ada banyak faktor yang menyebabkan pasang surutnya gelombang tersebut, dari mulai pancingan demagog, propaganda komputasi, hingga fabrikasi peristiwa intoleransi oleh oknum hasil pesanan.
Ambillah salah satu contoh kecil. Di tahun 2019, orang Papua terluka gara-gara ejekan ‘monyet.’ Ligia Judith Giay, di tulisannya yang berjudul Rasisme Adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua, dengan lugas menggambarkan bagaimana ‘orang Papua’ mengalami pemaknaan yang pejoratif dalam tatapan sosial di Indonesia yang telah mengakar jauh sejak periode kolonialisme. Ejekan ‘monyet’ kemudian berbuntut pada krisis yang lebih besar.
Temuannya Ismail Fahmi, yang diulas dalam diskusi Analisa Big Data dan Demokrasi Digital oleh LP3ES, mengungkapkan adanya ketidak-seimbangan sikap antara pemerintah dan advokat-advokat seperti Veronika Koman dkk. dalam menangani krisis di Papua. Veronika Koman dkk, cenderung mengadvokasi via jalur gagasan, umumnya dengan tulisan berbahasa inggris, sehingga punya potensi mendapat perhatian internasional. Sementara pemerintah cenderung menangani isu Papua dengan menggunakan buzzer yang nir-gagasan. Ismail Fahmi menggarisbawahi bahwa, pemerintah Indonesia belum memiliki strategi diplomasi digital, yakni menangapi gagasan dengan gagasan.
Dalam contoh kecil tersebut, ketika rasisme telah mengakar jauh, mungkinkah dapat ditangani dalam jangka waktu satu tahun? Bila mungkin, parameter apa―entah itu yang berupa rekognisi sosial, indeks angka, atau temuan kualitatif apapun―yang dapat ditunjukkan? Jadi, ketika berbicara persatuan, toleransi dan sejenisnya, maka perlu dipastikan dulu bahwa tidak ada kesenjangan antara retorika dan realita.
Dalam aspek lain, hubungan politik dan agama misalnya. Laporan LIPI yang berjudul Peta Sosial Politik Pemilu Serentak 2019, menunjukkan adanya potensi keterbelahan di Indonesia. Tentu ada banyak variabel yang diuraikan dalam laporan ini. Namun dalam hal kerukunan beragama, umat bergama di Indonesia cenderung lebih rukun dalam hubungan ‘antar-agama’ dibanding hubungan ‘intra-agama.’ Ahok-effect, kurang lebih penulis menyebutnya begitu.
Di balik lapisan tersebut, diskriminasi beragama di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia Islam. Baik itu yang berbentuk diskriminasi oleh negara, diskriminasi oleh legislasi (produk hukum), ataupun diskriminasi sosial. Dan lagi-lagi, faktornya tidak tunggal, dari mulai politisasi agama, persekusi oleh ormas radikal, dan lain-lain.
Jadi, toleransi dan kerukunan di Indonesia, tak terbantahkan lagi, memang kompleks. Sebabnya, tiap sudut wilayah punya konfigurasi sosialnya sendiri, dan punya titik sensitifnya masing-masing. Kadang, apa yang dianggap tidak berkaitan dengan diskriminasi, seperti pembangunan ataupun transmigrasi, justru punya kaitan secara tidak langsung terhadap diskriminasi yang dapat meletus di kemudian hari dengan ekspresi yang berjejalin dengan SARA.
Prioritas utama yang perlu dikedepankan adalah, bagaimana mengelola konfigurasi dan sentifitas di tiap daerah agar mengarah pada kerukunan yang benar-benar rukun dan punya daya tahan terhadap modus-modus pengkotakan politik. Dan memastikan bahwa tidak ada kesenjangan antara retorika dan realita Pancasila.
Sebabnya, toleransi, kerukunan, Pancasila, atau kata kunci apapun yang serumpun dengannya, bukanlah objek komoditas a la ‘humas’ yang pada kesempatan-kesempatan tertentu kerap mengirisnya menjadi potongan kecil yang terlihat baik, namun melupakan seabrek kenyataan lain yang pahit. Lebih baik berpegang pada realita pahit dan mengevaluasi diri, dibanding berpegang pada realita baik dan berbangga diri.