Mengucapkan “Taqabbalallahu Minna wa Minkum” dan Bagaimana Membalasnya?

Mengucapkan “Taqabbalallahu Minna wa Minkum” dan Bagaimana Membalasnya?

Mengucapkan “Taqabbalallahu Minna wa Minkum” dan Bagaimana Membalasnya?

“Sejumlah cerdik cendekia mengajukan pertanyaan kepadaku. Mereka menanyakan tentang pernyataan Syaikh Najmuddin Al-Qamuli As-Syafii dalam kitabnya Al-Jawahir, tepatnya pada bab al-‘idain. Dalam kitab tersebut diungkapkan: ‘Aku belum pernah melihat pendapat dalam Ashab Madzhab Syafii terkait ucapan selamat hari raya sebagaimana yang biasa dilakukan oleh khalayak’.

Sementara ada pendapat lain yang dikutip dari Syaikh Zakiyyudin Abd Adzim al-Mundziri, bahwa Syaikh al-Hafidz Abul Hasan Al-Maqdisi ditanya tentang ucapan selamat di setiap awal bulan dan juga pergantian tahun, apakah hal tersebut bid’ah atau bukan? Kemudian ia menjawab, “Dalam menjawab persoalan ini para ulama berbeda pendapat. Sementara menurut pendapat saya, hal ini termasuk mubah. Bukan sunah, apalagi bid’ah”.

Intinya, sang penanya yang memiliki pengetahuan cukup ini dibuat bingung atas sejumlah pernyataan terkait hukum mengucapkan selamat yang biasa dilakukan oleh masyarakat di hari lebaran.

Untuk menjawab pertanyaan ini, Syaikh Ibnu Hajar Al-Asqalani menulis satu juz khusus berjudul “Juz’un fi Tahniah fil A’yad wa Ghairiha”. Juz yang dimaksud di sini adalah sebagaimana makna yang berlaku di kalangan ulama masa lalu, yakni karya setebal dua puluh halaman.

Sekurangnya ada empat argumen yang diajukan oleh Syaikh Ibn Hajar dalam menjawab persoalan ini.

Pertama, sebagai pakar hadis, ia menggunakan riwayat-riwayat hadis. Tentu dengan sangat selektif dan kritis. Ia berkata:

Di akhir sebuah bab yang ia beri judul “Bab ma ruwiya fi qawlinnas ba’dhihim liba’dhin yawm al-‘ied: taqabbalallahu minna wa minkum”, Imam Al-Baihaqi menuturkan:

Dari jalur Khalid bin Ma’dan – seorang informan terpercaya alias tsiqah-, berkata: Aku berjumpa Watsilah (Ibn al-Asqa’ As-Shahabi) di hari raya, lalu aku ucapakan kepadanya, “taqabbalallahu minna wa minka”, lalu ia menjawabnya, “ya (na’am). taqabbalallahu minna wa minka, aku juga pernah bertemu Rasulullah SAW (di hari raya), lalu aku ucapkan kepada beliau, “taqabbalallahu minna wa minka” dan beliau menjawabnya, “ya (na’am). taqabbalallahu minna wa minka.”

Imam Ibnu Hajar berkata, “hadis ini memang statusnya lemah (dhaif). Ibn ‘Adi memasukkannya dalam kitab “al-Kamil fid-Dhuafa”.

Kedua, atsar Sahabat Nabi. Ia menegaskan:

Sebagaimana tertuang dalam kitab Tuhfat ‘Ied al-Adha karya Abul Qasim Zahir bin Thahir, diinformasikan melalui para informan-informan yang kredibel, dikisahkan bahwa para sahabat Rasulullah SAW ketika berjumpa di hari raya, maka mereka saling mendoakan dengan mengucapkan taqabbalallahu minna wa minkum.

Ketiga, pendapat Tabiin.

Imam Al-Baihaqi juga meriwayatkan dari jalur Adham -mawla Umar bin Abd Aziz-, ia berkata: Di dua hari raya (Fitri dan Adha) kami mengucapkan taqabbalallahu minna wa minka ya amiral mukmininin kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz. Lalu ia menjawabnya sebagaimana kalimat yang kami ucapkan itu kepadanya.

Imam At-Thabrani meriwayatkan dari jalur Hawsyab bin Aqil, ia berkata, “Aku berjumpa Hasan Al-Bashri di hari raya. Aku ucapkan kepadanya, “taqabbalallahu minna wa minka.” Ia membalas, “Ya (na’am), taqabbalallahu minna wa minka.”

Keempat, Pendapat para ulama Antar Madzhab

Syaikh Ibnu Hajar menjelaskan ringkas pendapat ulama empat Madzhab mengenai hal ini. Sebagai perwakilan dari kalangan madzhab Syafii, ia cukupkan dengan mengutip pendapatnya Imam Al-Baihaqi di atas. Sedangkan untuk Madzhab Maliki ia mengutip pendapatnya Imam Ibnu Qudamah yang menukil pendapatnya Ali bin Tsabit yang konon pernah menanyakan hal ini kepada Imam Malik (pendiri Madzhab Maliki), lalu Imam Malik menjawabnya, “Aku tidak pernah melihat hal ini di Madinah”. Sedangkan dalam Madzhab Hanafi, Syaikh Ibn Hajar mengutip pendapatnya As-Saruji yang mengatakan: tidak pernah terdengar pendapat ulama madzhab hanafi yang memakruhkan hal ini. Terakhir, dalam pandangan Madzhab Hanabilah, ia mengutip kitab al-furu’ yang meriwayatkan pendapat Imam Ahmad bahwa hal tersebut bukanlah sebuah persoalan.

Ibnu Hajar al-‘Asqalani (w.752 H) merupakan salah satu ulama ternama yang karya-karyanya menjadi rujukan bagi muslim dunia. Salah satu karyanya yang teragung sekaligus melegenda adalah kitab Fath al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari. Sebuah karya kesohor yang berisi komentar dan penjelasan (syarah) atas kitab hadis paling utama: Shahih Al-Bukhari.

Dari sini dapat dipahami bahwa pengucapan kalimat Taqabbalallahu yang merupakan sebentuk doa ini memiliki dasar rujukan. Begitu pula bagaimana cara menjawabnya.

Wallahu A’lam bis-Shawab