Menguak Perang Siber dalam Pilpres AS dan Cara Menghindarinya

Menguak Perang Siber dalam Pilpres AS dan Cara Menghindarinya

Bagaimana Pilpres AS bisa berpengaruh terhadap elektoral di Indonesia?

Menguak Perang Siber dalam Pilpres AS dan Cara Menghindarinya

Dari terbongkarnya cara kerja Cambridge Analytica dan penggunaan peretas dari Rusia, publik akhirnya paham bahwa penguasaan data pengguna online adalah hal yang terpenting dalam memenangkan perang politik di Amerika.
.
Di tangan Cambridge Analytica, data dari 270.000 pengisi survei di thisisyourdigitallife apps didulang sehingga bisa mendapatkan data dari 87 juta orang lain yang terhubung dengan responden survei. Data tersebut kemudian diklasifikasikan berdasarkan profil psikologis dan preferensi politik sehingga kemudian dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam menyusun strategi kampanye pemenangan di pemilu AS 2016. Mereka pendukung Trump, pro-Hillary, swing voters, warga miskin kulit putih, warga Afro-American, komunitas warga Hispanik, dan setiap kluster psikologis, dikirimi iklan-iklan politik yang berbeda, seringkali berisi fake news, agar pada akhirnya menggiring mereka untuk memilih Donald Trump.
.
Sejak perang siber politik ini mencuat, saya terus mengikuti perkembangan bagaimana kekuatan politik memersenjatai media sosial demi kemenangan politik. Itulah sebabnya, saat saya sampai di kota berangin Chicago dua pekan lalu, saya segera mencari buku baru yang sedang ramai diperbincangkan terkait perang siber dan keterlibatan peretas Rusia. Buku berjudul Cyberwar: How Russian Hackers and Trolls Helped Elect a President—What We Don’t, Can’t, and Do Know karya Kathleen Hall Jamieson membeberkan analisis forensik dari bukti-bukti yang ada di media sosial Amerika Serikat dan menyimpulkan bahwa Rusia sangat mungkin berkontribusi bagi kemenangan Donald Trump.
.
Kathleen Hall Jamieson adalah akademisi politik terkemuka dan profesor komunikasi di University of Pennsylvania. Selama 40 tahun terakhir, ia telah memelajari komunikasi politik: debat, iklan, dan pidato. Sebagai buntut dari pemilihan presiden 2016, dia mempelajari efek yang diperdebatkan antara Donald Trump dan Hillary Clinton terhadap pemilih. Itu membuat Jamieson menyusuri jalan yang membawanya ke sebuah kesimpulan yang berani: Rusia memang sengaja memenangkan Trump demi kepentingan negaranya.
.
Apa yang membuat Kathleen terkenal adalah pendekatannya yang berbasis data untuk menjawab pertanyaan yang oleh banyak orang dianggap mustahil: benarkah Pilpres AS di tahun 2016 disusupi oleh kepentingan Rusia lewat serangan siber dan mobilisasi troll dan bot lewat media sosial? Dalam buku baru ini, Kathleen bukan saja menjawab, tetapi ia mampu membeberkan cara kerja kampanye yang dijalankan oleh Rusia.
.
Menurut Kathleen, kampanye Rusia sangat menentukan karena tiga alasan utama. Pertama, rilis strategis dokumen yang dicuri melalui WikiLeaks, yang diperkuat oleh media AS, membantu Rusia memanipulasi siklus berita dengan cara yang mengurangi kepercayaan pada Hillary Clinton dan mengalihkan perhatian dari kesalahan Donald Trump.

Kedua, email palsu yang mengaku berasal dari Jaksa Agung Loretta Lynch, di mana ia berjanji untuk memalingkan diri dari kasus Hillary Clinton dalam penyelidikan ke server email pribadinya, memimpin Direktur FBI James Comey untuk menjadi nakal dan mengadakan konferensi pers dramatis yang menyebut tindakan Hillary Clinton “ceroboh”. Email yang memicu konferensi pers itu tampaknya adalah bukti disinformasi yang dilakukan Rusia.

Ketiga, ada banyak masalah disinformasi di jejaring sosial yang banyak dibicarakan di sini. Kathleen percaya bahwa dokumen pemodelan pemilih yang dicuri dari Democrat National Committee/DNC akan berguna bagi peretas Rusia karena mereka bekerja untuk menabur perpecahan di negara-negara medan perang utama. Campur tangan Rusia sangat menentukan dalam menyebarkan postingan media sosial yang memecah belah warga.
.
Kathleen mengambil contoh akun troll yang diciptakan oleh Internet Research Agency (IRA) Rusia dari peternakan troll di St. Petersburg. Analisa harian Wall Street Journal mengungkap bahwa akun Twitter buatan Rusia dengan follower sepuluh ribu dibuat pada akhir tahun 2015 saat kampanye presiden sedang gencar-gencarnya. Bahkan sejak tanggal 21 Juli 2015, dua hari setelah Donald Trump resmi menjadi kandidat presiden dari Partai Republik, jumlah akun troll ini makin bertambah banyak.
.
Bagaimana cara Rusia bekerja memengaruhi pemilih?

Ada 5 hal yang dilakukan oleh peretas dan mata-mata Rusia. Pertama, agenda setting dan framing. Tidak hanya mengintervensi laporan media dengan konten hasil peretasan dari Democrat National Committee/DNC dan diarahkan untuk memunculkan sikap antipati pada Hillary Clinton.

Kedua, melebih-lebihkan bobot dari pesan yang sesungguhnya. Dengan informasi yang beredar di Wikileaks, Rusia menambah-nambahkan alasan lain untuk memperburuk Hillary Clinton. Ketiga, mendorong penegakan hukum. Dengan tuduhan-tuduhan yang dilontarkan sebelumnya, akun-akun troll dan bot ini meminta aparat penegak hukum untuk segera menangkap Hillary Clinton dan menggulirkan kampanye “Hillary4Prison”.

Keempat, membuka pintu. Di tahap ini, akun troll dan bot Rusia makin intens bekerja mendekati hari pemilihan umum pada para pemilih yang teridentifikasi sebagai swing voters. Kelima, mengubah suara swing voters di hari pemilihan sehingga terarah pada Donald Trump.
.
Klasifikasi pemodelan pemilih didapat dari apa yang dikerjakan oleh Cambridge Analytica dari basis data Facebook. Dalam bisnis model “surveillance marketing” yang dijalankan Facebook — dan boleh dikatakan hampir semua platform digital — profil data pengguna yang tepat akan membantu sukses tidaknya strategi kampanye produk/pilihan politik. Dengan targeted ads, klien yaitu marketers dan parpol bisa menyampaikan pesan lebih sesuai dengan karakter psikologis dari setiap pengguna.
.
Apakah bisnis model ini adalah pelanggaran? Dalam kacamata keamanan privasi dan kebebasan berekspresi, praktik targeted ads tanpa sepengetahuan dan tidak dikehendaki pengguna jelas termasuk pelanggaran privasi dan kebebasan ekspresi. Apalagi karena tidak ada kontrol bagi pengguna untuk menolak iklan-iklan ini.

Dalam konteks politik, pengguna bahkan tidak tahu bahwa informasi-informasi dalam news feed akunnya sudah dijejali dengan pesan-pesan politik yang tidak dikehendakinya.
.
Berkaca dari bagaimana peretas Rusia memobilisasi pesan agar para pemilih hanya memilih Donald Trump di bilik suara, besar kemungkinan hal yang sama bisa dilakukan di negara lain, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia yang sedang memasuki tahun politik perlu mengantisipasinya dengan baik.
.
Pertama, perlu dibuat aturan lebih ketat dalam targeted ads yang bersifat political: diberi penanda, dibatasi umur targetnya, dibatasi siapa yang bisa memasang targeted ads, dibatasi biayanya, juga jangka waktunya. Jadi bukan hanya mengawasi kontennya. Bawaslu dan Komisi I DPR perlu membuat aturan dan sanksi sepadan agar tidak ada pelanggaran.
.
Kedua, mengajak bicara penyedia platform media sosial seperti Twitter, Instagram, dan Facebook untuk menaruh perhatian bersama pada isu ini. Twitter belum lama ini membuat kebijakan yang perlu didukung yaitu menghapus akun-akun bot dan menginginkan pembicaraan yang lebih sehat di dalam platformnya. Tentu fabrikasi pesan politik lewat akun troll tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang sehat.
.
Ketiga, mendorong pengawasan independen atas praktik pemersenjataan media sosial dalam perang siber politik. Kepentingan pengawasan ini melampaui keberpihakan politik dan bertanggungjawab pada terjaganya demokrasi.