Menguak Modus Gerakan Wahabi dalam Memaksakan Kehendaknya

Menguak Modus Gerakan Wahabi dalam Memaksakan Kehendaknya

Menguak Modus Gerakan Wahabi dalam Memaksakan Kehendaknya

Perkembangan Gerakan Wahabi ditopang oleh kekuatan politik di Arab Saudi dan perilaku penganutnya yang getol dalam mengeksklusi kelompok di luarnya. Buku Sejarah Lengkap Wahhabi menguak modus bagaimana gerakan ini memaksakan kehendaknya.

Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, umat Islam terpecah dalam berbagai golongan atau paham, antara lain Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni), Syi’ah, dan Khawarij. Perpecahan tersebut kemudian diikuti dengan perselisihan demi perselisihan sejak dulu hingga kini. Perselisihan yang paling mengemuka sejak dahulu adalah diantara pengikut paham Sunni dan Syiah, lalu yang paling memperhatinkan kini perselisihan semakin meluas dan meningkat, bahkan mulai berkembang diantara sesama penganut Islam yang mengaku berpaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni).

Perselisihan diantara sesama pengikut paham Sunni itu terjadi, antara lain sejak berkembang pesatnya ajaran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Di satu pihak, pengikut ajaran tersebut mengklaim dirinya sebagai pengikut ajaran pengikut ajaran Salaf atau Salafush Shalih yang paling benar, sementara di pihak yang lain menganggap mereka hanyalah jelmaan dari Khawarij dengan tampilan baru (Neo Khawarij). (Muhammad Adnan Abdullah: Salafi, 2016, hlm. 13)

Seperti apakah sesungguhnya gerakan dan ajaran yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi ini? Benarkah ajaran ini yang paling sesuai dengan ajaran Rasulullah dan Salafush Shalih? Atau apakah mereka hanyalah jelmaan Khawarij dengan tampilan baru seperti yang dituduhkan?

Nur Khalik Ridwan, seorang aktivis NU, berhasil memaparkan secara komprehensif tentang awal mula gerakan dan ajaran yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi ini dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Lengkap Wahhabi”. Bahwasanya, awal mula kemunculan gerakan yang menamakan dirinya Salafi atau Salafiyah terjadi pada awal abad ke-12 Hijriah (H) atau abad ke-18 Masehi (M).

Sebutan Wahabi kepada pengikut gerakan ini pada mulanya berasal dari Dinasti Turki Utsmani yang kemudian populer di Eropa. Gerakan ini dipelopori oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Beliau lahir di Uyainah, Najed, Dar’iyah (Sekarang: Arab Saudi) pada tahun 1115 H atau 1703 M.  Tujuan dari ajarannya itu adalah untuk melancarkan dakwah guna mengingatkan umat Islam yang ketika itu, (menurutnya) telah menyimpang dari makna tauhid agar kembali pada tauhid yang murni. Jadi tujuan utama dari gerakan Wahabi ini adalah membersihkan umat Islam ketika itu dari praktek-praktek bid’ah, syirik, khurafat, dan sejenisnya.

Penulusuran Nur Khalik Ridwan tentang Wahabi tidak hanya berhenti pada sejarah kelahirannya dan tujuan ajarannya saja, namun juga sepak terjang, hingga pengaruhnya pada era modern. Sebagaimana dimaklumi, kaum Wahabi adalah sebuah sekte Islam yang kaku dan keras serta menjadi pengikut Muhammad Ibn Abdul Wahab. Ayahnya, Abdul Wahab, adalah seorang hakim Uyainah pengikut Ahmad Ibn Hanbal. Dalam perjalanan sejarahnya, Abdul Wahab, sang ayah harus diberhentikan dari jabatan hakim dan dikeluarkan dari Uyainah pada tahun 1726 M/1139 H karena ulah sang anak yang aneh dan membahayakan tersebut. Kakak kandungnya, Sulaiman bin Abd Wahab mengkritik dan menolak secara panjang lebar tentang pemikiran adik kandungnya tersebut (as-sawaiq al-ilahiyah fi ar-rad al-wahabiyah). (Abdurrahman Wahid: Ilusi Negara Islam, 2009, hlm. 62)

Sebagai seorang peneliti di Pusat Studi Islam Asia Tenggara (ISAIs) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta , Nur Khalik Ridwan berhasil mengajak pembaca untuk menyelami doktrin, ideologi, dan amaliah sekte atau mazhab Wahabi yang keras dan kaku itu dengan merujuk pada sumber-sumber primer, termasuk dari karya kritis orang dekat Muhammad bin Abdul Wahab, dan diperkaya referensi-referensi modern tepercaya.

Kekerasan dan kekakuan Wahabi itu dipicu oleh pemahaman keagamaan yang mengacu bunyi harfiah teks al-Qur’an maupun al-Hadits. Ini yang menjadikan Wahabi menjadi sangat anti-tradisi, menolak tahlil, maulid Nabi SAW, barzanji, manaqib, dan sebagainya. Pemahaman yang literer ala Wahabi pada akhirnya mengeklusi dan memandang orang-orang di luar Wahabi sebagai orang kafir dan keluar dari Islam.

Namun, ironisnya pemahaman keagamaan Wahabi ini ditopang oleh kekuasaan Ibnu Saud yang saat itu menjadi penguasa Najd. Ibnu Saud sendiri adalah seorang politikus yang cerdas yang hanya memanfaatkan dukungan Wahabi, demi untuk meraih kepentingan politiknya belaka. Ibnu Saud misalnya meminta kompensasi jaminan Ibnu Abdul Wahab agar tidak mengganggu kebiasaannya mengumpulkan upeti tahunan dari penduduk Dir’iyyah.

Tercatat dalam sejarah, Wahabi selalu menggunakan jalan kekerasan baik secara doktrinal, kultural maupun sosial. Misalnya, dalam penaklukan jazirah Arab hingga tahun 1920-an, lebih dari 400 ribu umat Islam telah dibunuh dan dieksekusi secara publik, termasuk anak-anak dan wanita. (Hamid Algar: Wahabism, A Critical Essay, hlm. 42). Ketika berkuasa di Hijaz, Wahabi menyembelih Syaikh Abdullah Zawawi, guru para ulama Madzhab Syafii, meskipun umur beliau sudah sembilan puluh tahun. (M. Idrus Ramli: Buku Pintar Berdebat dengan Wahabi, 2010, hlm. 27). Di samping itu, kekayaan dan para wanita di daerah yang ditaklukkan Wahabi, acapkali juga dibawa mereka sebagai harta rampasan perang.

Di sini, setidaknya kita melihat dua hal modus gerakan Wahabi yang senantiasa memaksakan kehendak pemikirannya. Pertama, ketika belum memiliki kekuatan fisik dan militer, Wahabi melakukan kekerasan secara doktrinal, intelektual dan psikologis dengan menyerang siapapun yang berbeda dengan mereka sebagai murtad, musyrik dan kafir. Kedua, setelah mereka memiliki kekuatan fisik dan militer, tuduhan-tuduhan tersebut dilanjutkan dengan kekerasan fisik dengan cara amputasi, pemukulan dan bahkan pembunuhan. Ironisnya, Wahabi ini menyebut yang apa yang dilakukannya sebagai dakwah dan amar maruf nahi munkar yang menjadi intisari ajaran Islam.

Membanjirnya buku-buku Wahabi di jejaring toko buku besar akhir-akhir ini adalah merupakan teror dan jalan kekerasan yang ditempuh kaum Wahabi secara doktrinal, intelektual dan sekaligus psikologis terhadap umat Islam di Indonesia. Wahabi Indonesia yang merasa masih lemah saat ini menilai bahwa cara efektif yang bisa dilakukan adalah dengan membid’ahkan, memurtadkan, memusyrikkan dan mengkafirkan orang yang berada di luar mereka. Jumlah mereka yang minoritas hanya memungkinkan mereka untuk melakukan jalan tersebut di tengah-tengah kran demokrasi yang dibuka lebar-lebar untuk mereka.

Judul Buku : Sejarah Lengkap Wahhabi

Penulis : Nur Khalik Ridwan

Penerbit : IRCISOD

ISBN : 978-623-7378-36-5

Tebal : 834 hlm

Terbit : 2020 

Buku ini berhasil membahas mengenai jaringan Salafi dana apa yang mereka perjuangakan. Kelompok Salafi kemudian dalam hal ini dibagi menjadi beberapa paham, paham salafi yang mengharamkan filsafat atau kalam. Kemudian faham Salafi yang mengeluarkan tasawuf atau tarekat dari Islam dan faham Salafi yang cenderung menentang bid’ah dan haram beberapa hal.

Untuk memahami kelompok-kelompok yang seperti itu, maka buku ini menjadi tambahan pengetahuan dan referensi bagi umat islam agar umat islam tidak melulu terjebak dengan doktrin kelompok-kelompok ekstrimis tersebut. Dalam bukunya, Nur Khalik Ridwan menjelaskan beberapa hal terkait apa yang mereka perjuangkan. Salah satunya ialah Kembali ke Al-Qur’an-hadist. Semua faksi Salafi mengemukakan jargon kembali ke Al-Qur’an sama hadits, dan mendekatinya secara literal,untuk mengkritik kecenderungan madzhab dan taklid. Di dalam praktiknya, mereka mengambil pendapat-pendapat mutaqaddimin mereka (bertaklid), seperti kepada Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, dan guru-guru Salafi.

Dengan analisis yang akurat dan bahasa yang cermat, Nur Khalik Ridwan berhasil menyuguhkan bacaan berkualitas yang meyakinkan dan mengasyikkan. Lebih dari itu, di tengah minimnya buku-buku sejenis, buku ini hadir sebagai sumber pokok untuk mengkaji lebih jauh gerakan Wahabi pada masa datang bentuk penolakan atas mereka (kelompok Islam) yang menodai agama Islam dengan kekerasan yang identik dengan Islam fundamentalis dan Islam ekstrim.

Meminjam ungkapan latin, lex agenda lex aselli, bahwa setiap zaman memiliki juru bicaranya sendiri-sendiri, menyiratkan pesan akan kenyataan kontestasi ide, paradigma, dan argumentasi. Kesemuanya saling bersaing agar ‘ditahbiskan’ menjadi pemenang dari pertarungan zaman. Fakta penting dibalik wabah takfir (pengkafiran), tasyrik (pemusyrikan), tabdi’ (pembid’ahan) dan tasykik (upaya menanamkan keraguan) yang dilakukan oleh gerakan Wahabi ialah karena pemahaman mereka terhadap agama Islam hanya sebatas kulitnya tanpa tahu isinya. Kebodohan dan kejumudan memang acapkali menjebak dan mengaburkan kebenaran sesungguhnya. Wal hasil, buku ini patut dimiliki. Bukan hanya yang concern pada kajian keagamaan, tetapi juga kajian-kajian sosiologi lainnya.

*) Naskah ini merupakan sepuluh besar terbaik Lomba Resensi Buku Wahhabi, kerjasama islami.co, Penerbit Diva Press, dan Jaringan Gusdurian