Bagi sementara orang yang belum mengenal Ki Ageng Suryomentaram dan pelbagai wejangannya, mungkin akan beranggapan bahwa Ki Ageng adalah seorang pemikir Jawa yang sangat serius dan kering humor. Sebaliknya, bagi mereka yang sudah mengakrabi literatur peninggalannya, justru seringkali terpingkal-pingkal karena humoracap tak terduga dan langsung menohok ke dasar hati.
Saat memaparkan tentang Rasa Pancasila (Raos Pancasila), misalnya. Pertama-tama Ki Ageng menegaskan bahwa Pancasila merupakan rujukan utama seluruh undang-undang yang diberlakukan di Negara Indonesia. Lalu dijelaskannya apa itu yang disebut dengan kedaulatan rakyat, kebangsaan, prikemanusiaan, keadilan sosial dan Ketuhanan. Dan, di penghujung pembahasan, Ki Ageng memaparkan tentang menginsyafi kemanusiaan.
Paparan tentang menginsyafi kemanusian dibuka dengan penjelasan bahwa di dalam diri setiap manusia terkandung pelbagai rasa yang luhur dan rasa yang rendah. Rasa luhur dan rasa rendah itu terus menerus bertarung dalam batin manusia di sepanjang hidupnya, dan badan lahiriah manusia hanyalah sebagai wahana untuk menjadi topengnya saja. (Raganing tiyang punika minangka topeng kangge rebutan raos-raos luhur lan asor kangge lair utawi nopeng).
Jika rasa luhur dalam batin manusia lebih sering memenangkan pertarungan, maka orang yang bersangkutan akan disebut sebagai orang baik. Sebaliknya ketika rasa luhur justru seringkali dikalahkan oleh rasa rendah dalam diri seseorang, maka orang tersebut akan disebut sebagai orang yang tidak baik.
Setelah menegaskan bahwa terjadinya perang batin dalam diri manusia itu sesungguhnya untuk memenangkan rasa luhur, “Awit punika lajeng terang yen tujuaning peperangan batin wau kamenanganipun raos luhur.” Mulailah Ki Ageng memaparkan contoh tentang bagaimana caranya menginsyafi kemanusiaan.
Menggembalakan Sapi dalam Diri
Menginsyafi kemanusiaan dalam bahasa Jawa adalah anginsapi kamanungsan. Karena rasa-rasa rendah (raos-raos asor) dalam diri manusia juga dapat disebut sebagai rasa kehewanan (raos kahewanan), maka kata anginsapi dalam bahasa Jawa itu pun diplesetkan oleh Ki Ageng menjadi angen sapi yang berarti menggembalakan sapi. Tepatnya menggembalakan sapi dalam diri manusia.
“Dene conto caranipun angen sapi, ama rakyat ingkang ngrusak pangupa jiwa, makaten. Wonten tiyang wanci siang lan benter, lumampah tebih nglangkungi bulak. Sareng lumebet ing dhusun, kraos ngelak lan luwe. Nanging ing pinggir margi wau boten wonten tiyang sesadeyan, lan griya-griya ing dhusun ngriku tebih saking margi ageng. Dumadakan tiyang wau sumerep wit kates ing pinggir pager wohipun mateng. Tiyang wau lajeng nyelaki wit kates perlu nyolong wohipun.”
(Sebagai contoh menggembalakan sapi dalam diri, yang berupa hama perusak sumber penghidupan adalah seperti ini. Pada suatu siang yang panas, seseorang tengah melakukan perjalanan melewati area persawahan yang luas. Setelah memasuki sebuah perkampungan, ia merasa lapar dan haus. Di sepanjang jalan yang dilaluinya tidak ada orang yang jualan, dan rumah-rumah penduduk juga jauh dari jalan raya. Tiba-tiba, orang itu melihat pohon pepaya di dekat pagar yang buahnya telah matang. Maka ia pun mendekati pohon pepaya dengan niat hendak mencuri buahnya).
Nalika tanganipun ngranggeh badhe methik kates, tiyang wau mesthi noleh kiwa tengen, ngajeng wingking, perlu nyatitekaken punapa estu boten wonten tiyang. Yen estu methik kates, tegesipun tiyang wau netepaken yen awakipun piyambak dede tiyang, nanging sapi, jalaran anggenipun methik kates wau sebab boten wonten tiyang. Dados sapi wau boten wonten ingkang angen.
(Begitu tangan orang itu terjulur untuk untuk memetik pepaya, terlebih dahulu ia pasti menengok kiri kanan, depan belakang, demi memastikan apakah memang benar-benar tidak ada orang. Jika orang itu tetap melaksanakan niatnya memetik buah pepaya, berarti ia merasa bahwa dirinya bukan manusia, tetapi seekor sapi, karena sewaktu memetik buah pepaya tadi ia merasa tidak ada manusia. Begitulah jadinya jika sapi dalam diri manusia tidak ada yang menggembalakan).
Dene yen ingkang angen thukul, raosipun: ‘Lo, iki ana sapi arep nyolong kates. Lo, Pi, kates iki ana sing duwe, lan sing duwe gemang diganggu kaya kowe. Dadi kowe yen nyolong kates, teges kowe miwiti gawe ora aman menyang masyarakat lan bakale kowe iya banjur krasa pendhirangan ora aman. Dadi nyolong kates iku tegese kowe ora gawe amanmu dhewe.’
(Jika sapi dalam diri orang tersebut ada yang menggembalakan, maka rasa si penggembala sapi itu tentunya akan berkata, “Wah, ini ada sapi mau mencuri buah pepaya. Wah, Pi, ini pepaya ada yang punya, dan yang punya tentu saja tidak mau hak miliknya kamu ganggu. Jadi, jika kamu hendak mencuri pepaya miliknya, berarti kamu mulai menebarkan benih tidak aman dalam masyarakat. Artinya, di dalam masyarakat nanti kamu juga akan dicekam kekhawatiran karena merasa tidak aman juga. Karena dengan mencuri buah pepaya milik orang lain, berarti kamu telah menjadikan dirimu sendiri tidak aman”).
Yen sabdanipun ingkang angen wau nandhes wonten ing manah, lajeng kepengin nyolong wau surem. Ingkang kemajenganipun tebih kalian lelampahan nyolong. Kados makaten anggenipun angen sapi ingkang ngrusak pangupajiwa. Dados angen sapi punika boten ngampet nyolong.”
(Jika sabda penggembala sapi dalam diri tadi bisa menghunjam di hati, maka niat ingin mencuri tadi pun pudar. Selanjutnya, orang pun akan menjauh dari perbuatan mencuri. Demikianlah cara menggembalakan sapi yang dapat menjadi hama perusak sumber penghidupan orang. Jadi, menggembalakan sapi dalam hal ini bukanlah hanya sekedar menahan diri agar tidak mencuri, tetapi menyadarinya hingga sedemikian rupa sampai rasa yang melahirkan keinginan untuk mencuri itu bisa hilang dengan sendirinya). Begitulah Ki Ageng.
Terkait dengan menggembalakan sapi demi menjaga keharmonisan masyarakat dalam berumahtangga, Ki Ageng memperingatkan, “Dene angen sapi ingkang ngrusak laki rabi punika langkung gawat. Jalaran wonten aturan alam ingkang perlu dipun ngertosi inggih punika: tiyang jaler sanajan sampun thikluk-thikluk, yen sumerep tiyang ayu raosipun inggih: ‘Mak cleng’. Inggih punika ingkang murugaken tiyang lumampah wonten ing margi ageng dados natap cagak tilpon. (Adapun menggembalakan sapi agar tidak merusak keharmonisan rumahtangga, memang lebih berat. Karena ada sebuah hukum alam yang perlu dipahami, yaitu orang laki-laki meskipun sudah tua umurnya, jika melihat wanita cantik, tetap saja akan merasa, “Mak cleng.” Rasa cleng itulah yang bisa membuat orang yang sedang berjalan di trotoar sampai menabrak tiang telepon).
Yen wonten tiyang sepuh umuk, ungelipun: ‘Aku iki wis tuwa, ora apa-apa’, punika mbebayani. Mangke yen dipun pitados, tiyang sepuh wau lajeng nubruk. Lo, tiyang umuk kados makaten punika, rak kelairaning raos semplah, rumaos yen mesthi boten dipun dhemeni. (Jika ada lelaki tua yang omong besar, “Aku sudah tua, tak akan berbuat apa-apa,” yang demikian itu perlu diwaspadai. Karena jika ia dipercaya begitu saja, maka lelaki tua itu lantas akan menubruk mangsanya. Sebab lelaki tua yang berkata seperti itu, terjadi karena adanya dorongan rasa semplah dalam dirinya. Yaitu lelaki tua itu merasa bahwa tidak aka nada lagi perempuan cantik yang tertarik padanya).
Yen boten mangertos raos: ‘Mak pyur’ wau punika, tiyang lajeng ribed. Jalaran yen tiyang nglampahi lelampahan, nanging boten mangertos tegesipun, mesthi ribed. Mila tiyang perlu ngertos tegesipun. Raos pyur punika raos endah, mila peranganing raos luhur. Kados dene kaendahan sanes-sanesipun. Pyur punika dados kabutuhaning manah. Yen tuwuk pyur, manah punika sehat.”
(Jika orang tidak memahami adanya rasa, “Mak pyur”, yaitu rasa yang membuat orang sadar diri, maka orang pasti akan merasa kebingungan. Karena ketika orang berada dalam sebuah peristiwa, tapi tidak mampu menyadari dan memahaminya, maka ia pasti akan kebingungan. Rasa pyur adalah rasa indah, yang merupakan turunan dari rasa luhur. Sebagaimana pelbagai keindahan yang bisa dirasakan. Pyur alias terbukanya kesadaran merupakan kebutuhan hati. Jika hati terpenuhi dengan rasa pyur, maka hati pun menjadi sehat).
Kunci keberhasilan menginsyafi kemanusiaan kita adalah ketika kita dapat bertindak jujur dalam segala hal.
Contohnya dalam hal makan. Ki Ageng memberikan contoh yang sangat sederhana dengan idiom khas rakyat jelata pada masanya, “Upami tiyang nedha roti mari wonten ing warung tetedhan. Anggenipun nyokot roti mari tiyang wau dipun sarengaken tiyang langkung. Lo, kados makaten punika raosipun rak boten nedha roti mari, nanging nedha tiyang langkung. Mila asring keloloden gelungan utawi kupluk.”
(Misalnya orang tengah makan biskuit atau roti di sebuah warung. Maka saat menggigit biskuit atau memakan rotinya, dibarengkan dengan adanya orang yang sedang melintas.
Nah, pada saat makan biskuit atau roti itu, orang sesungguhnya tidak sedang menikmati makanannya, tetapi lebih pada merasa bangga karena bisa dilihat orang yang lewat bahwa dirinya bisa makan biskuit atau roti, dimana kebanyakan orang disekitarnya hanya bisa makan ubi atau singkong rebus. Karena ketidakjujuran dalam hal makan yang seperti itulah, maka kemudian banyak orang yang tersedak oleh gengsi atau prestise).
Ki Ageng Suryomentaram mengakhiri uraiannya tentang menginsyafi kemanusiaan ini dengan deretan huruf kapital dan tanda seru, “JUJUR! JUJUR! JUJUR!”[]
Muhaji Fikriono adalah penulis buku Hikam untuk Semua dan Puncak Makrifat Jawa. Bisa ditemui di @Hikam_Athai