Ketika disebut kata “ulama”, maka figur ulama yang dibayangkan para kiai pesantren itu adalah orang-orang alim sekelas al-Imam al-Syafii, al-Imam al-Ghazali, dan al-Imam al-Nawawi.
Mengaca pada keulamaan al-Imam al-Nawawi misalnya, maka sekalipun sudah cukup alim, para kiai pesantren tak cukup “pede” untuk menyebut diri mereka ulama. Paling jauh mereka menyebut dirinya “kiai”.
Bahkan, belakangan muncul keengganan di kalangan para kiai untuk disebut “kiai”. Sebab, bayangan mereka tentang kiai adalah Kiai Hasyim Asy’ari. Dan mereka merasa bahwa dirinya belum sealim Kiai Hasyim.
Sementara di belahan lain terutama di kota-kota besar, ada banyak orang yang disebut ulama sekalipun mereka tak sealim Kiai Hasyim apalagi al-Imam al-Ghazali. Sebab, bagi mereka, ulama adalah orang yang sudah bisa mengutip dalil walau satu dua dalil. Bahkan, tak jarang para muballigh/muballighah yang belum bisa baca al-Qur’an saja sudah dikategorikan ulama.
Mengapa bisa begitu? Sejauh yang bisa dipantau, definisi ulama bagi orang kota tak seketat definisi ulama bagi para kiai pesantren di desa. Demikian longgar, maka orang yang rajin puasa senin kamis apalagi sudah istiqomah shalat dhuha sudah bisa disebut ulama walau yang bersangkutan tak cukup mengerti soal-soal keagamaan-keislaman.
Demikianlah. Cukup sederhana definisi ulama bagi orang-orang kota dan demikian ketat definisi ulama bagi para kiai pesantren di desa.