Menghajikan Orang Lain

Menghajikan Orang Lain

Menghajikan Orang Lain

Menghajikan orang tua, hukumnya boleh dan sah. Pernah seorang wanita dari Khats’am bertanya kepada Rasulullah Saw:

“Ya Rasulullah, ketetapan Allah tentang wajibnya haji atas hamba-hamba-Nya, bertepatan saat ayahku sudah sangat tua; tidak bisa lagi menunggang kendaraan, apakah aku boleh menghajikan untuknya?” Rasulullah Saw. Menjawab: “Na’am” (ya). Peristiwa terjadi ketika haji wada’.” (Hadits Muttafaq ‘alaih dari Ibnu Abbas).

Ibnu Abbas berkata:

“Seorang wanita dari suku Juhainah sowan kepada Nabi Saw. Dan bertanya: “Ibu saya pernah bernadzar naik haji, tetapi sebelum melaksanakan haji beliau keburu wafat. Apakah say boleh berhaji untuknya?” Nabi Saw. Menjawab: “Ya, berhajilah untuknya! Bagaimana pendapatmu jika ibumu yang punya utang, apakah kau akan membayarkannya? Nah, bayarlah kepada Allah! Sesungguhnya Dia lebih berhak dilunasi.” (HR. Al-Bukhari dari Ibnu Abbas).

Sedangkan apabila menghajikan saudara, juga boleh hukumnya apabila yang melakukannya sudah haji.

Abu Daud dan Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadis yang dinyatakan sahih oleh Ibnu Hibban. Isinya:

“Rasulullah Saw. Pernah mendengar seorang bertalbiyah dengan mengatakan: “Labbaika ‘an Syubramah.” (Aku penuhi panggilan-Mu Syubramah). Rasulullah pun bertanya: “Siapa itu Syubramah?” Ketika dijawab: “Dia saudaraku”, maka Rasulullah pun bersabda: “Apakah kau sendiri sudah menunaikan haji?”, “Belum” jawab orang tersebut. Sabda Nabi: “Hajilah untuk dirimu sendiri dulu, kemudian baru haji untuk si Syubramah.”” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah). Wallaahu A’alam.

Sumber: K.H. A. Musthafa Bisri, Fikih Keseharian Gus Mus, hal. 242-243. Khalista, Surabaya, 2013.