Menghadapi Perang Tafsir dan Gerakan Intoleransi

Menghadapi Perang Tafsir dan Gerakan Intoleransi

Menghadapi Perang Tafsir dan Gerakan Intoleransi

Siapa yang pernah mengira jika polarisasi politik identitas paska Pilkada DKI masih terasa sampai sekarang. Awalnya mungkin hanya sebatas keikutsertaan beberapa masyarakat luar Jakarta yang datang ke ibukota untuk melibatkan diri dalam beberapa aksi berlabel “bela islam” yang berjilid-jilid, tetapi semua berubah semenjak gelombang demonstran tersebut membentuk ikatan alumni. Masing-masing kota yang mempunyai alumni ingin membawa semangat Jakarta ke kotanya masing-masing, ya semangat politik identitas yang bertentangan dengan Bhineka Tunggal Ika!

Khusus untuk masyarakat muslim terlihat ada dua kelompok yang memperebutkan “islam” sebagai kata benda dan sebagai kata kerja. Perebutan ini bukanlah hal yang baru dalam kesejarahan panjang Islam. Tapi, tentu bukan hal mudah menilai siapa yang lebih dahulu berusaha membenturkan. Tetapi, sekali lagi, polarisasi politik identitas di Jakarta membuat perebutan tersebut semakin jelas, terlebih di dunia maya.

Kelompok yang menempatkan islam sebagai kata benda terlihat cenderung membaca fenomena beragama dari kacamata fiqh yang kaku semata, sementara kelompok yang menafsiri islam sebagai kata kerja cenderung menggunakan tasawuf dalam pembacaannya. Kita tentu tahu jika agama tanpa fiqh tentu akan semrawut, sedangkan agama tanpa tasawuf hanya meninggalkan ritual yang kering  nilai. Maka untuk menengahi dua kelompok yang berebut tafsir tersebut, perlu ada kampanye wacana keagamaan yang mampu melera keduanya, kalau perlu sekaligus teknis model kampanyenya.

Mencari Islam Kita

Wacana keagamaan untuk merangkul kelompok yang mempunyai fiqh kaku, haruslah mengkampanyekan metode fiqh KH. Sahal Mahfudz. Fiqh yang dikembangkan haruslah yang tidak kaku dan benar-benar bisa dikontekstualisasikan di tengah masyarakat sebagai solusi berbagai permasalahannya. Sementara menelaah ulang pemikiran Gus Dur yang dituangkan dalam buku “Islamku, Islam Anda dan Islam Kita”, juga bisa digunakan untuk mengimbangi sisi tasawuf kelompok satunya. Maksud penulis, bukankah keislaman kita (islam aku), berasal dari penalaran dan pengalaman pribadi kita? kalau begitu perbedaan tafsir keagamaan bukankah sesuatu yang wajar?

Jika ada kelompok masyarakat yang menurut kita berbeda pemahaman dan praktik keagamaannya, bukankah seharusnya ada dialog sehat antara “islam aku” dengan “islam anda” agar bisa memunculkan “islam kita”? Karena sengkarut politik identitas ini sekurang-kurangnya muncul akibat tumpang tindihnya wilayah pemahaman keislaman “aku, anda dan kita” yang dipaksa bertemu di ruang publik, terutama media sosial.

Dialog sehat itu haruslah menggunakan metode nirkekerasan. Metode ini sering digunakan untuk menamai gerakan yang mengajak orang untuk memperjuangkan sesuatu dengan cara-cara damai. Gerakan ini digunakan untuk melawan kekerasan baik secara struktural, langsung maupun budaya. Nirkekerasan bertujuan mengubah kelompok tertentu agar mau memperjuangkan hal yang sama dengan yang kita perjuangkan, bukan bertujuan mengalahkan dan menunjukan bahwa pihak lain salah.

Jurnalisme yang Berpihak Pada Perdamaian

Metode ini dalam tataran praktisnya tentu bisa menggunakan jurnalisme damai. Meski begitu beban dari jenis jurnalistik ini tentu tidak boleh meninggalkan kaidah kode etik jurnalistik, meskipun demi dalih “demi perdamaian”. Kita bisa memulai dengan menggunakan medsos kita sebagai bahan uji metode ini.

Pada dasarnya langkah awalnya adalah keberpihakan kita menampilkan fakta dari perspektif perdamaian. Misal, saya berpihak untuk menampilkan fenomena sehari-sehari yang mencerminkan toleransi beragama ketimbang menampilkan fenomena intoleransinya, meskipun kedua-duanya sama-sama ada. Disinilah pentingnya berpihak menampilkan fakta dalam jurnalisme damai.

Kapitalisasi keuntungan media berbasis online dalam kasus perang tafsir yang menyeret politik identitas sebenarnya menjadi faktor penyumbang benih intoleransi yang tidak kalah besar. Disamping jurnalisme warga yang digiring untuk menggunakan jurnalisme damai, pemerintah juga harus tegas dan berkala memantau media online yang lebih provokatif dan sering menampilkan berita bohong. Anak-anak muda yang ramah kemudian mendadak berubah intoleran jelas karena telpon pintar mereka memungkinkan untuk mengakses secara mudah berita online “abal-abal”.

Secara filosofis dan teologis, harus ada wacana yang dilempar, karena masalah intoleran adalah buah hasil daril pohon bernama “konservatifisme” yang sedang menggejala di seluruh penjuru dunia. Selanjutnya, secara teknis perumusannya harus lebih praktis. Wacana fiqh sosial dan pemikiran Gus Dur ditambah pengembangan jurnalisme damai, saya rasa cukup berharga untuk dicoba? Kalau anda punya wacana dan metode teknis yang berbeda dalam hal ini, ayo kita dialogkan, biar muncul “wacana dan metode kita”.

Ahmad Muqsith, penulis aktif di PMII kota Semarang, dan pegiat di komunitas Gusdurian Semarang.