Bangsa kita -sebagaimana yang dinasihatkan oleh para leluhur- adalah bangsa yang memegang adat ketimuran, sopan-santun, unggah-ungguh, undak-usuk, dan memegang budaya adiluhung lainnya dalam setiap sendi kehidupan. Tak terkecuali dalam berbahasa. Bahasa-bahasa nusantara mengenal tingkatan bahasa, atau setidaknya terdapat kosakata khusus yang digunakan saat berkomunikasi dengan orang yang lebih tua. Ini semata karena kesopanan.
Kesantunan berbahasa ini bersifat universal. Linguis semisal Goffman, Geertz, Ronald Wardhaugh, dan lainnya telah membahas fenomena kesantunan berbahasa dalam kajian sosiolinguistik mereka. Artinya, setiap bahasa mana pun di dunia ini akan memiliki kosa kata yang dirasa paling sesuai untuk digunakan dalam situasi dan kondisi tertentu.
Sekitar akhir November dua tahun lalu terjadi sebuah peristiwa yang sontak mengejutkan kita, ketika seorang tokoh kharismatik KH. Mustofa Bisri mendapatkan cacian di akun media sosial beliau. Meskipun semua sudah berakhir damai dan saling memaafkan, namun peristiwa tersebut menyadarkan kita bahwa ternyata ada sesuatu yang keliru dengan keberadaban kita dewasa ini. Hujatan dan caci-maki berlindung di balik tameng demokrasi.
Alih-alih memegang prinsip kebebasan berpendapat, para pengguna media sosial belakangan ini malah cenderung merendahkan lawan diskusi atau yang berseberangan pendapat dan ideologi dengannya. Kebebasan berpendapat dan mengungkapkan pikiran dimaknai secara liberal oleh netizen. Bahkan caci-maki menjadi produksi sehari-hari. Hanya karena berbeda qabilah klub sepak bola, mazhab humor, dan ijtihad politik, di antara anak bangsa -yang memegang adat ketimuran- saling melontarkan hinaan, cacian, makian, dan bahkan persekusi.
Seyogyanya kita kembali pada hadits “innama bu’itstu li utammima makarimal akhlaq.” Sedangkan, akhlak seseorang tercermin dari bagaimana cara ia berbahasa. Bahasa adalah ekspresi batin, perasaan, dan pikiran. Cacian tidaklah keluar melainkan dari hati yang kotor. Di sini lah, peran kesopanan berbahasa menjadi sangat penting. Dalam kajian pragmatik, setidaknya prinsip sopan santun berbahasa tercermin dalam enam maksim (prinsip), yang menurut penulis, enam maksim ini sarat dengan nilai-nilai islami.
Pertama, maksim kearifan atau kebijaksanaan. Prinsip ini mengajarkan kita untuk mengurangi keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan keuntungan lawan bicara, mengurangi sikap dengki, iri hati, dan sikap lain yang kurang santun terhadap lawan bicara. Prinsip ini, menurut Dr. Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum. dicontohkan oleh Nabi Yusuf As. saat menolak ajakan Zulaikha dengan kalimat “Aku berlindung kepada Allah, sungguh, tuanku telah memperlakukan aku dengan baik”.
Kedua, maksim kedermawanan. Orang-orang yang menerapkan maksim ini akan menghormati lawan bicaranya. “Yuk ketemu, kita ngobrol-ngobrol tentang pendapatmu tadi. Kopi? aku yang bayarin, deh”. Terdengar lebih bersahabat, bukan?
Ketiga, maksim pujian atau penghargaan. Netizen yang memegang prinsip ini tidak akan saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan. Bahkan akan saling melontarkan pujian. Allah Swt. mencontohkan dalam surat Al-Baqarah ayat 104 dimana Dia memerintahkan para sahabat untuk mengganti kata ra’ina “sudilah kiranya engkau memperhatikan kami” dengan kata unzhurna yang memiliki arti yang sama.
Pasalnya, ketika para sahabat menggunakan kata ra’ina kepada baginda Nabi SAW., orang-orang Yahudi pun menggunakan kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut ra’ina, padahal ru’unah yang berarti “kebodohan yang sangat” sebagai ejekan kepada beliau Saw.
Keempat, maksim kesederhanaan atau kerendahhatian. Berpegang dengan maksim ini berarti bersikap rendah hati dengan mengurangi pujian pada diri sendiri. Banyak kita temukan penggunaan Al-Faqir oleh para khatib Jum’at dan penulis buku klasik untuk mengedepankan sikap rendah hati serta menampilkan sisi kelemahan dan kekurangan. Ini semata-mata mereka lakukan agar terhindar dari kesombongan.
Kelima, maksim pemufakatan atau kesepakatan. Kalau bisa saling membina kecocokan di antara kita, kenapa harus saling tengkar, saling persekusi, aksi sana-sini? Marilah kita mencoba mengurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. Surat Al-Kahf ayat 66-70 mengisahkan bagaimana Nabi Musa As. berdamai dengan dirinya sendiri dan mencocokkan dirinya dengan Nabi Khidhr As.
“Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” Musa berkata: “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun”. Dia berkata: “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu”.
Terakhir, maksim kesimpatisan. Ketika rasa simpati di antara kita tinggi, maka akan terbangun sikap gotong royong, tolong-menolong, tenggang rasa, dan tepo seliro. Tak ada hujat-menghujat, sesat-menyesatkan, dan kafir-mengkafirkan satu sama lain. Simpati juga berarti tidak mencela kepercayaan yang lain.
Secara gamblang Allah Swt. melarang mencela kepercayaan lain dalam surat Al-An’am ayat 108. “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”
Ketika kesemua kita menjunjung prinsip-prinsip kesopanan dan kesantunan berbahasa, baik di dunia nyata dan di dunia maya, niscaya negeri ini akan terasa damai, sejuk, dan tenteram. Ketika membuka ruang maya, yang tersaji adalah ilmu, informasi, dan humor ala NU Garis Lucu. Tak ada caci, tak ada maki.
Lidah adalah lisan kita di dunia nyata, sedang jempol adalah lisan kita di dunia maya. Menjaga keduanya berarti menjaga persaudaraan.
Wallahu A’lam.