Ingatan kita tentu belum lupa akan serangkaian perilaku keji para teroris beberapa minggu kemarin yang terjadi di Mako Brimob dan beberapa Gereja di Surabaya. Peristiwa itu membuat rakyat dan pemerintah Indonesia harus berkaca lagi, bahwa teroris dan radikalisme merupakan ancaman nyata yang selalu datang setiap saat tanpa memandang siapa dan kapan mereka akan beraksi.
Dalam tulisan ini, saya ingin mengungkapkan kesalahan fatal pemahaman para teroris dari sisi al-Qur’an dan Sirah Nabawi.
Al-Qur’an dengan sangat indah menuturkan betapa pentingnya ukhuwah antara sesama muslim. Seperti dalam surat al-Hujurat:10 yang berbunyi “Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara”. Lalu, bagaimana hubungan muslim dengan non-muslim? Dalam masyarakat Islam klasik, hubungan kedua kelompok ini didasarkan pada konsep dzimmah yang berarti “perlindungan” atau “keamanan”. Jadi, ahl adzimmah adalah non-muslim yang tinggal di daerah kekuasaan muslim yang wajib membayar jizyah sebagai pengganti kewajiban bela negara. Hal ini didasarkan pada surat at-Taubah:29 yang menyatakan bahwa ahl kitab harus membayar jizyah. (Mun’im Sirri: 2013, hlm. 330).
Lalu, dalam konteks modern—khususnya di Indonesia—apakah masih berlaku konsep dzimmi di atas? meskipun Indonesia bukanlah negara Islam yang menguasai orang non-muslim, konsep dzimmi tetap sesuai dengan non-muslim Indonesia. Karena bagaimanapun, rakyat non-muslim Indonesia bukanlah orang memerangi umat Islam (harbi), sebaliknya mereka dapat bekerja sama dengan kita (muslim).
Bila membaca sirah Nabi, kita akan menemukan beberapa non-muslim yang berjasa membantu perjuangan Nabi. Misalnya, Abdullah bin Uraiqits (yang saat itu belum masuk Islam). Ia adalah orang non-muslim yang sangat berjasa dalam membantu Nabi untuk menunjukkan “jalan pintas” ketika beliau hijrah dari Mekkah ke Madinah. (Shafiyyur Rahman Mubarakfuri, terj, Sejarah Hidup Rasulullah, 2005, hlm: 11).
Berarti bisa disimpulkan bahwa perilaku teroris—selain menodai ajaran al-Quran—adalah ahistoris atau tidak kenal sejarah. Karena sudah jelas bahwa Nabi sendiri memiliki hubungan baik dengan non-muslim. Malahan, Nabi yang merasa berterimakasih karena sudah dibantu mereka. Oleh karena itu, menurut Buya Ma’arif mereka yang menggunakan ayat al-Quran sebagai alat legitimasi—tidak hanya teroris—berarti telah mengkhianati al-Qur’an dan cita-cita kenabian. (Ahmad Syafi’i Ma’arif: 2018, hlm. 111)
Masa Depan Islam Indonesia
Indonesia, sebagai nation state atau negara bangsa adalah negara yang dikenal paling moderat dalam menjalankan keislamannya dewasa ini. Kenapa begitu? Bila kita bandingkan dengan negara-negara Timur Tengah—yang masih tertimpa malapetaka, baik perang saudara dan serbuan pasukan luar, Indonesia lah satu-satunya negara—mungkin juga Turki—yang diharapkan mampu menjawab tantangan radikalisme dan terorisme. Negara ini dikenal dengan tawassuth-nya dalam beragama. NU dan Muhammadiyah adalah dua ormas terbesar yang selalu mewakili rakyat Indonesia dalam menjaga pentingnya persaudaraan baik sesama muslim dan non-muslim, disamping menjaga keutuhan NKRI.
Oleh karena itu tidak heran kalau beberapa tokoh besar dunia, baik muslim semisal Fazlur Rahman (pemikir Islam kontemporer dai Universitas Chicago, US) dan tokoh non-muslim misalkan John L Esposito dan Bruce Lawrence begitu optimis melihat masa depan Islam khas Indonesia dapat menjadi role model bagi negara-negara muslim lainnya.( Didin Saepuddin Bukhori: 2009, hlm 340).
Peristiwa pemboman dan kekerasan yang mengatas namakan Islam di Indonesia tidak lain adalah bentuk dari upaya beberapa kelompok aliran keras radikal agar membuat masyarakat Indonesia ketakutan. Padahal sampai kapanpun, rakyat Indonesia—dengan berbagai macam perbedaan suku, ras, dan agama—tidak akan pernah takut apalagi sampai terkontaminasi paham-paham radikal dan keras. Hal ini bukan berarti jumawa, akan tetapi sejarah dan fakta menunjukkan bahwa rasa solidaritas dan ukhuwah rakyat Indonesia melebihi ajaran-ajaran dan ideologi kekerasan.
Zaimul Asroor, penulis adalah mahasiswa pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.