Ada sebuah hadis terkenal, sahih, diriwayatkan oleh imam-imam hadis terpercaya. Bunyinya:
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ…»
”… Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah al-Qur’an dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru dan semua bid’ah itu sesat (HR. Muslim, Kitâbul Jum’at No. 2042). Dalam riwayat Nasa’i dan Baihaqi ada tambahan redaksi وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّار (dan setiap kesesatan tempatnya di neraka). Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan hadis serupa: “Jauhilah perkara-perkara baru, sebab sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat (HR. Abu Dawud No. 4607 Bâb luzûmis sunnah dan HR. Tirmidzi No. 2678 Bâb mâ jâ’a fil akhdzi bis sunnah wa-jtinâbil bida’i). Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis: “Man ahdatsa fi amrina hâdza mâ laysa minhu fa huwa raddun” (Siapa saja yang mengadakan perkara baru yang tidak ada dasarnya, maka dia tertolak).
Oleh sebagian kalangan, rangkaian hadis ini dijadikan dalil untuk menyebut setiap perkara yang tidak dilakukan Rasulullah sebagai bid’ah. Khitab-nya bersifat ‘am, mutlak tanpa pengecualian. Artinya, setiap perkara baru itu bid’ah, tanpa kecuali. Setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka. Dasarnya adalah redaksi yang digunakan Nabi, “kullu” artinya setiap sesuatu, semuanya, tanpa kecuali. Hal-hal yang bersifat agama dan ritual yang dilakukan tanpa contoh Nabi berarti bid’ah. Deretan amaliah seperti muludan, tahlilan, barzanjian, majelis salawatan, haul, dll adalah munkar karena termasuk perkara baru tanpa preseden syar’i. Benarkah demikian? Mari kita tinjau dari beberapa aspek.
Pertama, secara etimologis, kata kullu di dalam bahasa Arab tidak selalu berarti ‘am muthlaq (semua, tanpa kecuali). Kata kullu terkadang berarti ‘am makhsûs (semua terkecuali). Di dalam al-Qur’an, kata kullu sebagai ‘am muthlaq, misalnya, disebutkan dalam ayat-ayat “Allâhu khâliqu kulli sya’in wa huwa ‘alâ kulli sya’in wakîl” (QS. al-Zumar/24: 62); “Kullu sya’in hâlikun illâ wajhah” (QS. Al-Qasas/28: 88); “Kullu nafsin dzâiqatul maut” (QS. Alu Imran/3:185). Di sini, kullu berarti semua. Sebaliknya, di dalam al-Qur’an, terdapat kata kullu, tetapi berarti sebagian (sebagian besar atau sebagian kecil) seperti dalam ayat “Wa ja’alnâ minal mâ’i kulla syain hay (QS. al-Anbiyâ’/17: 30): “Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup.” Faktanya, kita tahu, tidak semua makhluk Tuhan tercipta dan hidup dari air. Contohnya malaikat dan iblis, tercipta dari cahaya dan api. Ada juga ayat “Innî wajadtum ra’atan tamlikuhum wa ûtiyat min kulli syai’in wa lahâ ‘arsyun adzîm (an-Naml/27: 23): “Sungguh kudapati seorang perempuan yang merajai mereka, dianugerahi segala sesuatu, dan baginya singgasana yang agung.” Faktanya, Ratu Balqis tidak dianugerahi kekuasaan terhadap kerajaan Sulaiman. Kesimpulan, kata “kullu” tidak selalu berarti semua tanpa kecuali (‘am muthlaq), tetapi juga berarti sebagian (’am makhsûs).
Salah satu uslûb (gaya bahasa) al-Qur’an adalah menyebut keseluruhan, tetapi yang dimaksud sebagian, seperti dalam ayat “Yas’alûnaka fil mahidzi qul huwa adzan fa’tazilun nisâ’a fil mahîdz” (al-Baqarah/2: 222): “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah haid itu sesuatu yang kotor, maka jauhilah wanita (isteri) pada saat haid.” Jelas maksud ayat ini bukanlah larangan total menjauhi isteri ketika menstruasi, tetapi hanya sebagian kecilnya saja, yaitu kemaluannya. Inilah yang dicontohkan Rasulullah. Dalam hadis Sahih, Rasulullah menyatakan: “Jami’ûhunna fil buyût, washna’û kulla sya’in illan nikâh (HR. Muslim, Ahmad & Abu Dawud): “Kumpuli isteri-isteri kalian di rumah, lakukan semuanya, kecuali seks! Uslûb lain dari al-Qur’an adalah menyebut sebagian padahal yang dimaksud keseluruhan, seperti ayat “fa wallû wujûhakum syathrah (QS. Al-Baqarah/2: 144): “Maka hadapkanlah wajahmu ke sisinya (masjidil haram).” Yang disebut hanya wajah, padahal maksudnya seluruh anggota badan.
Kembali kepada teks hadis awal, “kullu bid’atin dlalâlah wa kullu dlalâlatin fin nâr” berarti tidak semua bid’ah sesat. Hanya yang sesat yang masuk neraka. Inilah mafhûm yang dinyatakan Imam Nawawi bahwa kullu dalam hadis kullu bid’atin dlalâlah bukanlah ‘am muthlaq (semua tanpa kecuali), tetapi ‘am makhsus (semua terkecuali) (lihat Sahîh Muslim bi Syarh an-Nawâwî, Beirut: Dâr al-Tsaqâfah al-Islâmiyyah, 1930, Juz 6, hal. 154).
Kedua, secara subtansial, perkara apakah di dalam teks hadis “Man ahdatsa fi amrina hâdza” yang dilarang untuk di-bid’ahi? Apakah semua perkara, semua hal yang tidak dilakukan Rasulullah atau tidak ada pada zamannya dihukumi bid’ah? Secara logika, pasti tidak mungkin. Rasulullah hidup dalam ruang dan waktu, yang berbeda kurun dan budayanya dengan kita. Jika semua yang tidak dilakukan Rasulullah disebut bid’ah, sebagian besar aktivitas manusia modern adalah bid’ah. Hal-hal baik, seperti dakwah melalui TV, radio, internet, aplikasi ponsel, alat pengeras suara imam shalat, semua adalah bid’ah. Perkara (amr, jamak umûr) di situ, menurut Ibn Hajar al-Asqalani, maksudnya adalah perkara agama (amrud dîn), berupa pokok-pokok hukum syara’, mencakup perintah dan larangan (Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Bâri, Beirut: Dâr Ihyâ’it Turâts al-Araby, 1977, Juz 7, hal. 231).
Perkara pokok agama (ushûlud dîn) mencakup ushûlul aqîdah dan usuhûlus syarîah. ushûlul aqîdah adalah rukun iman, usuhûlus syarîah adalah rukun Islam. Rukun iman, berdasarkan ijma’ ulama dari hadis Nabi, ada 6 (enam), yaitu iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab yang diturunkan, percaya kepada para rasul, hari kiamat, dan qadha-qadar. Sementara rukun Islam ada 5 (lima) yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji bagi yang mampu. Menambah atau mengurangi, termasuk berimprovisasi dalam perkara pokok ini, berarti bid’ah. Mengimani, mematuhi, dan melaksanakan perkara pokok agama, pada prinsipnya, bersifat ta’abbudi. Tidak perlu bertanya kenapa shalat dhuhur empat raka’at, shalat subuh dua raka’at. Ikuti saja! Tidak usah menambah dua syahadat dengan embel-embel lain. Tidak perlu ‘ngeyel’ kenapa haji harus di kota Mekkah. Tidak perlu kritis kenapa puasa mulai fajar sampai maghrib, bukan sebaliknya. Improvisasi dalam perkara ushul terlarang, karena sifatnya ibadah mahdhah. Menyelisihi ushul (baik ushûlul aqîdah maupun usuhûlus syarîah) akan berdampak langsung terhadap status keimanan dan keislaman seseorang. Mengingkari keberadaan malaikat, rasul, dan kitab-kitab akan menentukan utuh atau tanggalnya iman seseorang. Mengingkari kewajiban shalat, zakat, puasa, dan haji akan menentukan utuh atau tanggalnya Islam seseorang. Namun, dalam furû’ul aqîdah (cabang-cabang aqidah) dan furû’us syarîah (cabang-cabang syariah), terbuka kemungkinan ijtihad tanpa merombak status keimanan dan keislamanan seseorang.
Contoh furû’ul aqîdah adalah menetapkan sifat-sifat Allah seperti dibahas dalam ilmu kalam. Saya pengikut imam Asy’ari dan Maturidi seperti diajarkan para masyâyikh di pesantren, tetapi terlarang bagi kami mengkafirkan mu’min penganut madzhab Mu’tazilah atau Jabbariyyah. Abu Hasan al-Asy’ari, salah seorang pendiri mahdzhab sunni dalam aqidah, adalah bekas pengikut Wâshil ibn Atha’, pendiri madzhab Mu’tazilah. Contoh furû’us syarîah adalah haiatus shalât yang mukhtalaf di kalangan para ulama, seperti bacaan Fâtihah dengan bismillah jahr (keras) atau sirr (lirih), subuh dengan qunut atau tidak, posisi tangan sedekap atau tidak, mata kaki harus mepet dalam shaf atau tidak, bilangan salat tarawih, dlsb. Begitu juga manasik haji. Itu semua adalah perkara furu’. Dalam perkara furû’us syarîah, ruang ijtihadnya jauh lebih terbuka, karena itu ambang toleransinya harus lebih tinggi. Imam al-Haramain al-Juwaini, guru Imam Ghazali, menyatakan sebagian besar hukum agama (syariah) lahir dari ijtihad (inna mu’dzamas syarîah shâdara minal ijtihâd). Mengapa? Karena usuhûlus syarîah itu sedikit, selebihnya adalah perkara-perkara furu’ yang bersifat ijtihâdiyyah. Dalam perkara furu’ inilah lahir madzhab-madzhab fikih, ribuan, tetapi kemudian terseleksi oleh zaman ke dalam empat madzhab besar, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali.
Jika dalam ibadah mahdloh yang bersifat ta’abbudi tidak boleh ada improvisasi, dalam ibadah muthlaqah justru terbuka terhadap inovasi. Tidak ada bid’ah, dalam pengertian kullu bid’atin dlalalah, dalam ibadah muthlaqah. Ibadah muthalaqah adalah seluruh amal manusia yang dinilai ibadah karena niat dan illat-nya. Illat adalah faktor yang menentukan hukum (al-hukm yadûru ma’a illatihi wujûdan wa adaman). Ukuran illat adalah maslahat-mudharat. Kesalahan pokok kaum skripturalis adalah ketidakmampuan membedakan usuhûl dan furû, ibadah mahdhoh dengan ibadah muthlaqah. Semua dianggap ibadah mahdhoh, karena itu harus ada dalil dan petunjuknya persis dari Rasulullah. Mereka menolak muludan, tahlilan, yasinan, haul, salawatan dst persis karena tidak dicontohkan Rasulullah. Abu Ishaq as-Syatibi menyatakan, “Hukum asal ibadah (mahdloh) adalah ta’abbud dan mengiringi nash. Sementara hukum asal ‘adat (ibadah muthlaqah) adalah mencari illat dan qiyas (Abû Ishâq as-Syâtibi, al-Muwâfaqat fî Ushûli-s Syarîah, Beirut: Dar –l Kutub al-Ilmiyyah, 1971, Juz 2, hal. 228-35). Maksudnya, adat selagi tidak bertentangan dengan nash dibenarkan tergantung illat-nya. Ini berlaku untuk semua hal. Muludan, tahlilan, yasinan, haul, salawatan bukan ibadah mahdhoh, karena itu berlaku kaidah niat dan illat. Jika niatnya jelek dan menimbulkan mudharat, nilai ibadahnya bisa kurang atau hilang sama sekali. Tetapi jika niatnya bagus dan menimbulkan maslahat (baik secara personal maupun sosial), hukumnya sunnah, bernilai ibadah tinggi. Memakai jubah dan sorban jika niatnya mengikuti Rasulullah bisa bernilai ibadah. Jika murni karena budaya, hukumnya mubah. Tetapi, jika niatnya pamer kesalehan dan dampaknya ujub personal, hukumnya haram karena nilai ibadahnya hilang sama sekali.
Dalam ibadah muthlaqah, jangan bertanya mana dalil yang memerintahkannya. Tanyakan dalil mana yang melarangnya? Dalam ibadah muthlaqah, kaidah fikih yang berlaku adalah al-ashlu fil asyyâ’ al-ibâhah hattâ yadulla –d dalîl alâ khilâfih (hukum asal sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya). Sementara dalam ibadah mahdloh, kaidah yang berlaku sebaliknya, “al-ashlu fil asyyâ’ at-tahrîm hatta yadulla –d dalîl alal ibâhah” (hukum asal sesuatu itu haram sampai ada dalil yang membolehkannya). Jika ada orang bertanya mana dalil yang memerintahkan muludan, tidak usah sibuk buka kitab mencari justifikasi dalil. Tanyakan balik mana dalil yang melarangnya! Jika ada orang bertanya mana dalil yang memerintahkan tahlilan, tidak usah sibuk buka kitab mencari referensi. Tanyakan balik mana dalil yang melarangnya! Ujung-ujungnya pasti akan kembali kepada qiyas, mencari padanan dalil, karena dalil sharîh, baik yang memerintahkan maupun melarangnya, sama-sama tidak ada.
Ketiga, secara historis, Islam berdiri di atas bid’ah. Jika semua yang tidak dicontohkan Rasulullah disebut bid’ah, kita, generasi akhir zaman ini, tidak akan bisa mengenal Islam dari sumber terpercaya. Sumber Islam paling pokok adalah al-Qur’an dan Sunnah, baru kemudian ijtihad ulama melalui ijma’ dan qiyas. Kita bisa mengenal al-Qur’an dan Hadis karena bid’ah yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah. Al-Qur’an di zaman Rasulullah dan sahabat tersimpan terutama di dada para penghafal al-Qur’an. Belum ada mushaf utuh. Catatatan al-Qur’an terberai di tangan para sahabat, ditulis di daun lontar, tulang, dan batu. Seusai perang Yamamah, banyak sahabat penghafal al-Qur’an gugur. Kepada Khalifah Abu Bakar, Sahabat Umar RA usul agar dihimpun mushaf untuk menjaga otentisitas al-Qur’an. Abu Bakar menolak dan berkata: “Kaifa naf’alu sya’an lam yaf’alhu Rasulullah?”: “Bagaimana kita melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah?” Umar bergeming, terus meyakinkan Abu Bakar dan berkata: “Hadzâ wallâhi khairun”: “Demi Allah ini kebaikan.” Akhirnya, setelah terus diyakinkan Umar, dada Abu Bakar terbuka, menyetujui usul Umar dan memerintahkan Zaid ibn Tsabit memimpin tim penghimpunan al-Qur’an (Jalaluddîn as-Suyûthi, al-Itqân fî Ulûmil Qur’ân, Beirut: Dar –l Fikr, 2005, Juz 1, hal. 82). Seandainya kita ikuti kelompok literalis, menganggap semua hal yang tidak dilakukan Rasulullah sebagai bid’ah, kita sekarang tidak bisa baca al-Qur’an! Di zaman Utsman, kodifikasi mushaf digalakkan besar-besaran, dibagikan secara massif keluar tanah Hijaz.
Mushaf telah dihimpun di zaman Abu Bakar, dicetak massif dan dibagikan di zaman Utsman, orang selain Arab, seperti kita, tetap tidak bisa baca al-Qur’an tanpa bantuan bid’ah para ulama. Jangan bayangkan mushaf zaman dulu seperti sekarang. Dulu huruf Arab gundul, betul-betul gundul, tanpa titik dan harakat. Kita tidak bisa membedakan huruf Ta’, Ba’ dan Tsa’, karena hanya berupa cengkok tanpa titik. Huruf Shad dan Dhad juga tidak ada bedanya. Orang yang pertama kali meletakkan titik ke dalam huruf Arab (awwalu man wadha’an nuqoth alal hurûf) adalah Abu-l Aswad ad-Du’ali, pada 62 H. Beliau adalah generasi tabi’in. Seabad kemudian, Imam Kholil ibn Ahmad al-Farahidi yang wafat pada 185 H, melengkapi dengan harakat sehingga kita mengenal harakat fathah, kasrah, dhammah, sukun, tanwin, dst. Tanpa bantuan ‘bid’ah’ dua ulama ini, orang ajam seperti kita tidak akan bisa membaca al-Qur’an. Kita juga berhutang kepada Abu Ubaid Qosim ibn Salam (w. 224 H) yang menemukan ilmu tajwîd, sehingga untaian ayat al-Qur’an indah dibaca dan didengar. Sekali lagi, tanpa bid’ah Sahabat dan ulama, kita tidak bisa mengenal al-Qur’an dan membacanya dengan baik dan benar.
Sumber kedua Islam adalah hadis. Dalam hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah bersabda: “La taktubû ‘annî wa man kataba ‘annî ghairal qur’ân fal yamhuhu (lihat Sahîh Muslim bi Syarh an-Nawâwî, Beirut: Dâr al-Tsaqâfah al-Islâmiyyah, 1930, Juz 18, hal. 129-30): “Janganlah kalian tulis dari aku. Siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an, hapuslah.” Rasulullah tidak memerintahkan menulis hadis, bahkan melarangnya. Jika kita ikuti cara baca kelompok literalis, kita tidak bisa mengenal sumber Islam yang kedua. Kitab-kitab hadis yang terhimpun seperti al-Muwattha’ karya Imam Malik, Musnad Ahmad karya Imam Ahmad ibn Hanbal, dan kitab-kitab sunan (Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibn Majah) adalah produk bid’ah karena tidak diajarkan Rasulullah, bahkan dilarangnya. Karena itu, bagi saya, membingungkan jargon kelompok tekstualis yang menggemakan “Kembali kepada al-Qur’an dan Hadis.” Al-Qur’an dikenali melalui mushaf. Mushaf adalah bid’ah yang tidak ada di zaman Rasulullah. Hadis dikenali melalui kitab-kitab hadis. Membukukan hadis adalah bid’ah yang tidak diperintahkan bahkan dilarang Rasulullah. Jadi, satu sisi mereka menentang bid’ah habis-habisan dan menyatakan semua bid’ah sesat. Sisi lain, mereka menyeru kembali kepada sumber Islam (al-Qur’an dan Hadis) yang hanya bisa dikenali berkat ‘bid’ah’ sahabat dan ulama.
Fakta-fakta ini mematahkan argumen pokok kelompok literalis yang memukul rata semua bid’ah. Para ulama telah mengajari kita untuk membuat klasifikasi. ‘Izzuddin ib Abd Salam, sebagaimana dikutip Ibn Hajar al-Asqalani, membagi bid’ah ke dalam lima kategori, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Bidah wajib seperti menciptakan ilmu bantu untuk memahami al-Qur’an mencakup ilmu nahwu, ushul fiqh, dst. Bid’ah sunnah yaitu kebaikan tetapi tidak ada di zaman Rasulullah seperti teraweh berjama’ah, membangun sekolah dan pondok, serta forum-forum kajian. Bidah mubah seperti salaman selepas shalat dan makan-minum yang lezat, mengenakan baju yang indah, dan memiliki rumah yang bagus. Bid’ah haram adalah perkara baru yang jelas menentang al-Qur’an dan Sunnah (Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Bâri, Beirut: Dâr Ihyâ’it Turâts al-Araby, 1977, Juz 13, hal. 214).
Walhasil, mari kita galakkan bid’ah yang wajib dan sunnah. Mari kita sibukkan dunia dengan bid’ah-bid’ah mahmudah, bid’ah-bid’ah hasanah, untuk syiar Islam, kemaslahatan kaum muslimin, dan rahmatan lil alamin.