Lebaran telah usai. Suka cita suasana mudik dan arus balik dirasakan jutaan umat muslim di tanah air. Memasuki bulan Syawal, Rasulullah menganjurkan untuk berpuasa selama enam hari selain pada saat hari raya Idul Fitri yang dilarang berpuasa. Lebih utama lagi bilamana dilakukan sejak tanggal 2 Syawal hingga 7 Syawal. Rasulullah Saw bersabda:
من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال كان كصيام الدهر [حديث صحيحِ]
“Barang siapa berpuasa Ramadan kemudian dilanjutkan berpuasa 6 hari bulanSyawal, maka pahalanya seperti berpuasa satu tahun”. (HR.Muslim).
Bagi yang memiliki tanggungan qadla’ puasa Ramadan, boleh juga melakukannya di bulan Syawal. Pertanyaannya kemudian, bolehkah menggabungkan niat puasa Syawal dengan qadla’ Ramadan?. Dalam artian berpuasa Syawal sekaligus diniati mengqadla’ hutang puasa Ramadan.
Pakar fiqh madzhab Syafi’i berbeda pandangan mengenai masalah ini. Menurut Imam al-Nawawi dan Imam al-Asnawi, tidak diperbolehkan. Sebab keduanya merupakan puasa yang berdiri sendiri (maqshud lidzatihi), sehingga tidak diperkenankan menggabung antara satu dengan yang lain, sebagaimana tidak sah menggabung niat shalat fardlu dzuhur dengan shalat sunah dzhuhur.
Menurut Ibnu Hajar al-Haitami diperbolehkan bahkan diperlukan agar mendapat pahala double. Sebab puasa sunah Syawal tergolong ibadah puasa yang tidak berdiri sendiri (ghairu maqshud li dzatihi), sehingga diperbolehkan niatnya digabung dengan puasa lain, termasuk puasa qadla’ Ramadan. Sebagaimana diperbolehkan menggabungkan niat shalat fardlu dengan shalat tahiyyatul masjid.
Menurut sekelompok muta’akhirin, dengan niat mengqadla’ puasa di bulan Syawal, pahala puasa Syawal bisa didapatkan meski tidak diniati.
Syaikh Abu Bakr bin Syatho’ dalam I’anah al-Thalibin juz.2, hal.271 menegaskan:
“Sekelompok ulama’ muata’akhirin berfatwa, pahala puasa Arafah, Tasu’a, Asyura’ dan 6 hari Syawal bisa didapatkan, baik diniati bersama puasa fardu atau tidak. Berbeda dengan pendapat kitab al-Majmu’ dan al-Asnawi. Keduanya berpendapat, apabila puasa sunah tersebut diniati besertaan puasa fardu, maka tidak hasil keduanya, sebagaimana tidak sah menggabungkan niat shalat fardu dzhuhur dengan shalat sunah dzuhur. Menurut Syaikhina (Ibnu Hajar al-Haitami), puasa-puasa sunah yang dianjurkan tersebut hukumnya seperti shalat sunah tahiyyatul masjid. Karena yang terpenting adalah wujudnya puasa pada hari-hari tersebut. Bila diniati besertaan puasa fardu, maka hasil pahala keduanya. Bila hanya niat fardu, maka minimal dapat menggugurkan tuntutan”.
Demikianlah, semoga bermanfaat.
*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Kediri