Saat saya sekolah di Perguruan Mathaliul Falah (PIM) Kajen, Mbah Sahal hanya mengampu di kelas III Aliyah, mata pelajaran Tarikh Tasyri (Sejarah Hukum Islam) dengan menggunakan kitab ajar Khulasah Tarikh Tasyri’ Al Islamy karya ulama kontemporer Syaikh Abdul Wahhab Khalaf. Dari awal hingga akhir pembelajaran beliau disiplin menggunakan Bahasa Arab sebagai bahasa pengantar. Tidak satu patah katapun menggunakan Indonesia maupun Jawa. Karena tidak menggunakan metode Makna Gandhul yakni menggunakan “Utawi Iku”, maka teknik beliau yaitu dengan membaca kata-perkata dan menyampaikan Muradif (sinonim) dari kosa kata yang maknanya tidak populer bagi kami. Pada setiap akhir paragraf atau sub judul, beliau berhenti dan menguraikan maksudnya, menjelaskan dan menghubungkannya dengan konteksnya, terutama yang historis dan sosiologis. Sebenarnya tidak setiap dari kami menguasai Bahasa Arab dengan baik, meskipun hanya secara bahasa pasif. Namun dengan penjelasan beliau yang runtut, jelas dan diksi yang tepat membuat semua teman mengangguk-angguk faham. Saat dibuka tanya jawab, biasanya hanya yang mahir bahasa Arab saja yang mengajukan pertanyaan. Yang tidak mahir beraninya hanya nitip pertanyaan, namun demikian, jawaban dari Mbah Sahal selalu bisa secara ‘langsung’ dia terima, tanpa ‘dititipkan’ lagi.
Teknik membaca kitab yang diterapkan Mbah Sahal seperti tersebut menginspirasi beberapa santri –baik saat mengikuti pengajian beliau sendiri maupun pengajian kiai atau guru lain—untuk membubuhkan makna kosa kata pada kitab pegangannya dengan Muradif kata tersebut, sekalipun kiai atau guru membacakan maknanya dalam Bahasa Jawa karena menggunakan Makna Gandhul. Apa yang dilakukan oleh beberapa santri tersebut di mata sebagian orang, bahkan di mata sesama santri adalah sudah keren, karena ketika kitab pegangan mereka dibuka yang dijumpai adalah coretan-coretan makna di antara baris teks kitab tertulis dalam Bahasa Arab. Namun sebetulnya yang seperti itu belum atau tidak ada apa-apanya dibanding dengan teknik yang dulu digunakan oleh Mbah Sahal saat mondok.
Saat masih mondok, terutama ketika beliau hendak maju dalam ngaji kitab secara sorogan atau saat akan mengajar kepada sesama santri, yang beliau lakukan adalah memenuhi area-area kosong pada halaman kitab dengan menuliskan coretan-coretan. Coretan-coretan tersebut berupa komentar beliau sendiri atau mengutip pernyataan para ulama terkait dengan substansi maupun redaksi kitab tersebut. Dengan penuh ketekunan teknik itu beliau lakukan, bahkan dengan penuh konsentrasi. Konon, karena tidak ingin ‘diganggu’ hal-hal tak penting, sampai-sampai beliau menempelkan tulisan di pintu gothakan (kamar), semacam larangan masuk jika tidak untuk kepentingan keilmuan.
Kelak di kemudian hari, kebanyakan dari coretan-coretan itu disalin dalam bentuk naskah tersendiri, dengan ketikan yang rapi dan beliau tashih (koreksi) ulang menjadi kitab-kitab ta’lif (karya) beliau. Diantara kitab-kitab tersebut adalah Al Bayan al Mulamma’ ’an Alfadh al Luma’dan Thariqah al Hushul ‘ala Ghayah al Wushul (keduanya di bidang Ushul Fiqh), Al Murannaq ‘ala Sullam Al Munawraq dan Izalah al Muttaham ‘ala Idlah al Mubham (keduanya di bidang Ilmu Mantiq/Logika Formil). Masih ada sekitar 6 judul kitab lagi, baik natsar dan maupun nadham (prosa maupun syi’ir) yang beliau tulis, baik saat masih mondok maupun ketika sudah pulang di Kajen.
Belakangan, selain menulis kitab, Mbah Sahal juga menulis buku, artikel, makalah, dan mengasuh kolom pada media masa. Dengan produksi intelektual sepadat dan se-keren itu, di tengah kesibukan sebagai pengasuh pesantren, direktur madrasah, rektor perguruan tinggi, pimpinan tertinggi 2 ormas islam, penggerak dan pemberdaya masyarakat serta jabatan-jabatan lainnya, sulit kiranya mencari ulama padanan beliau.
Ada kenangan lagi yang ingin saya singgung. Dulu sekitar tahun 1994 (saya itu saya sedang mondok di Cirebon), dunia pesantren sempat mengalami sedikit ‘keresahan’. Sebetulnya selama ini ‘keresahan’ itu bisa dinetralisir sendiri secara internal dan alamiah. Namun karena media masa ‘mengangkatnya’, akhirnya untuk beberapa waktu keadaan sempat menjadi ‘tidak nyaman’.
Bermula dari munculnya program yang digagas oleh para ulama alumni pesantren di Makkah asal Indonesia untuk melakukan Takhrij (verifikasi keabsahan) beberapa kitab hadits, atau kitab-kitab lain yang memuat hadits-hadits yang diindikasikan ‘cacat’ (baik Maudlu’ maupun Dla’if). Padahal kitab-kitab tersebut sudah sangat populer, bahkan menjadi pegangan utama pesantren-pesantren tertentu. Seingat saya ada 6 judul kitab yang menjadi sasaran utama. Kita bisa membayangkan alangkah sensitifnya ‘keresahan’ tersebut. Sayapun menjadi ikut sok resah. Karena itu saya mencari kesempatan mendapatkan penjelasan-penjelasan.
Beruntung, di Cirebon secara kebetulan saya bisa sowan salah seorang pemuka dari para ulama perancang program tersebut. Dengan rendah hati beliau menjelaskan bahwa sebagai pengkaji bidang hadits, beliau dan teman-teman merasa terpanggil untuk meluruskan apa yang menjadi tuntutan disiplin keilmuan mereka, antara lain melakukan Takhrij secara obyektif, sehingga tidak ada hadits ‘cacat’ yang dinilai ‘sehat’, maupun sebaliknya, ‘sehat’ tapi dinilai ‘cacat’. Tidak ada maksud sama sekali untuk mendeskriditkan atau melukai hati ulama atau muallif tertentu. Secara teknis yang akan mereka lakukan adalah memberi catatan-catatan komentar secara tertulis terhadap hadits yang di-takhrij. Demikian kurang lebih penjelasan beliau.
Penjelasan kedua saya mintakan dari kiai pengasuh pesantren dimana saya mondok. Saat itu beliau saya pandang mewakili tipe kiai sederhana dan membatasi pergaulan dengan ‘dunia luar’. Beliau mengatakan bahwa terkait dengan status keenam kitab tersebut sebetulnya sudah bukan ‘barang baru’. Namun kepercayaan terhadap kualifikasi dan ketulusan para kiai terdahulu, beliau tidak menganggap kitab-kitab tersebut perlu dipermasalahkan.
Tidak berapa lama kebetulan saya pulang ke Rembang, maka saya sempatkan sowan ke Kajen dan matur Mbah Sahal. Ngendikan beliau saat itu kurang lebih demikian, “Lha wong, Mbah Hasyim (Hadlratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari) sing apal kitab Sahih Bukhari wae ora lah opo-lah opo, kok…. Tapi, kok umpama aku pribadi dijaluki mulang kitab-kitab kuwi, ya aku pilih kitab liyane dhisik wae”.
Akhirnya seiring dengan berjalannya waktu, permasalahan sensitif ini hilang dengan sendirinya, mungkin karena media masa sudah mengangkat isu lainnya.
Lain waktu saya pernah sowan urusan pribadi. Waktu itu saya adalah lulusan PIM yang dinyatakan lulus ujian seleksi calon penerima beasiswa kuliah di Timur Tengah. Seleksi dilselenggarakan oleh Lajnah al Waqul wa at Tarsyih PIM. Saya dicalonkan ke Jami’ah Madinah. Namun bersamaan dengan itu beredar kabar kurang baik, bahwa jatah untuk PIM sudah dihapus, karena ‘direbut secara tidak fair’ oleh lembaga pendidikan lain asal Indonesia. Kabar itu saya klarifikasi ke alumni PIM yang masih di Madinah. Dia membenarkan kabar tersebut, setidaknya tidak membantahnya. Karena itu dia menyarankan saya untuk minta mutasi ke Jamiah Umm al Qura Makkah. Saat saya sowan dan matur hal itu, tanpa saya duga beliau ngendika dengan nada tinggi, “Lha kowe kawit awal wis gak mantep, je. Pengeran iku anut apa kematepanmu marang Pengeran. Iku kan cetha neng hadits; Inni ‘inda dhanni ‘abdi bi”. Kaget mendengar jawaban beliau yang demikian, justru sekonyong-konyong dan tiba-tiba saya matur, “Menawi mekaten, awit saat punika kula mantep”. Konyolnya saya. Tapi, kemudian setelah diam beberapa saat, beliau ngendika lagi dengan nada rendah, “Apa mesisan nang Mesir wae. Yen gelem, sasi ngarep langsung mangkat. Ongkos dhewe dhisik…..”. Saya pulang dan langsung bilang kepada keluarga. Tampaknya memang ongkosnya saat itu tidak bisa ‘diada-adakan’. Tapi berjuta tapi, tanpa pernah saya duga sama sekali, kelak pada tahun 2012, Mbah Sahal ndawuhi saya berangkat ke Tanah Suci untuk ibadah haji, memenuhi undangan Raja Saudi.
Memang saat-saat saya matur kepada Mbah Sahal biasanya jawaban beliau selalu sangat terbatas. Meskipun demikian beliau masih berkenan ngendika. Lain halnya dengan pada suatu kesempatan lain saya –yang lagi-lagi sedang sok-resah—matur terkait dukung-mendukung dalam urusan politik terhadap para calon dalam pemilihan umum yang kebetulan melibatkan para kiai. Beliau tampak sekali tidak suka menanggapi hal-hal yang bersifat politik praktis, politik kekuasaan atau politik kepentingan seperti itu, apalagi yang melibatkan ulama. Tampak pula beliau juga ingin mewariskan sikap seperti itu kepada para santri beliau. Untuk lebih menjelaskan sikap politik yang beliau kehendaki, beberapa tahun kemudian beliau menyampaikan konsep Siyasah ‘Aliyah Samiyah, yaitu konsep politik yang adiluhur, berupa politik kebangsaan.
FIQH NUSANTARA
Jiwa kebangsaan dan nasionalisme Mbah Sahal tertanam kuat dalam hati sanubari, jiwa dan raga, bahkan mungkin hanya beliau dan keluarga saja yang berhak mengukurnya. Abah beliau, yaitu Mbah Mahfudh (KH Mahfudh Salam) wafat muda setelah dieksekusi oleh penjajah saat menjadi tawanan di penjara Fort Williem Ambarawa Semarang. Mbah Mahfudh adalah kiai berwawasan luas (biasa membaca koran berbahasa asing), jenius (khatam hafalan Quran hanya seminggu) dan aktifis penggerak perlawanan terhadap penjajah Belanda. Wafatnya Mbah Mahfudh sebagai pejuang yang menegakkan kemerdekaan negara, tentu menjadi bagian yang melekat dalam alam pikiran dan alam bawah sadar Mbah Sahal. Jika dalam masa penjajahan kerelaan berkorban dan pengabdian dilakukan dengan mengangkat senjata dan bahkan hilangnya nyawa, sebagaimana diteladankan Abah, maka pada masa kemerdekaan dan situasi damai kerelaan berkorban dan pengabdian kepada negeri harus diwujudkan dalam bentuk yang sesuai dengan tuntutan jaman, tuntutan negeri dan tuntunan agama.
Sebagai ulama yang memiliki basis keilmuan riwayat dan dirayat yang kuat, wawasan yang jauh ke depan, kemampuan manajerial-leadership yang mumpuni, pergaulan yang luas dan kebijaksanaan yang mendalam, Mbah Sahal mau tak mau terlibat dalam kiprah kehidupan dalam beragam bidang, baik yang bersifat konseptual dan pemikiran maupun gerakan dan pemberdayaan. Fiqh Sosial yang Mbah Sahal gagas adalah ikon reflektif dari perjalanan panjang intelektual, keulamaan, kebangsaan dan spiritualitas beliau.
Ada 5 prinsip dalam Fiqh Sosial, yaitu; (1) interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual, (2) melakukan verifikasi mana ajaran yang bersifat ushuli (pokok dan mendasar) dan mana yang bersifat far’iy (cabang dan dinamis), (3) mengembangkan pemikiran filosofis dalam kajian fiqh terutama dalam masalah sosial budaya, (4) beralih dari pola bermadzhab secara qauly (tekstual) kepada bermadzhab secara manhajy (metodologis), (5) fiqh diterapkan sebagai bagian dari etika sosial, bukan sebagai hukum positif negara.
Dalam contoh kecil, suatu saat Mbah Sahal merasa gelisah terkait dengan lokasi pemakaman nonmuslim di daerah Margoyoso. Sebagaimana diketahui, berdasarkan ketentuan fiqh, jenazah nonmuslim tidak boleh dikubur dalam komplek kuburan muslim. Namun sayangnya solusi bagi masalah ini tidak banyak mendapat perhatian. Sehingga pada prakteknya mereka terutama yang miskin kadang dimakamkan di lokasi-lokasi yang kurang manusiawi, misalnya di pinggir-pinggir tambak di tepi laut. Melihat yang demikian Mbah Sahal pernah mengajak para aghniya (orang-orang kaya) kenalan beliau untuk urunan membelikan tanah untuk dijadikan lokasi kuburan nonmuslim. Memang sekilas tampak bahwa gagasan seperti ini menyiratkan simpati kepada pemeluk bahkan kepada ajaran agama lain, namun sebenarnya hal itu semata-mata adalah karena panggilan kemanusiaan dan justru dengan cara tersebut pekuburan muslim dapat diproteksi dari kemungkinan digunakan mengubur non muslim.
Berbagai rintisan dan program telah beliau bina dan realisasikan, mulai dari pengembangan pesantren, pemberdayaan masyarakat, pendirian rumah sakit, panti asuhan, perguruan tinggi, BPR dan BPRS, dan masih banyak lagi, terutama yang berupa gagasan dan pemikiran. Kini para santri dan penerus beliaulah yang akan dan harus melanjutkan dan mengembangkan amal-amal salih beliau itu. Karena dengan cara itulah beliau akan terus ‘hidup’ dan tidak akan ‘mati’ dalam kewafatannya. Tamu-tamu yang melakukan studi banding di Kajen kerapkali menyatakan ‘kekaguman’ mereka terhadap keberlanjutan dan berkembangnya amal-amal salih beliau sepeninggal beliau. Biasanya kepada mereka saya hanya berkomentar, “Karena di sini Mbah Sahal tidak ‘dimitoskan’ dan tidak ‘dikeramatkan’. Karena yang demikian hanya akan menjadikan beliau sebagai legenda semata. Di sini segala jejak perjuangan beliau terus ‘dihidupkan’, sehingga dalam wafatnya beliau tidak pernah ‘mati’ dan masih setia ‘menunggui'”.
Ghafarallahu dzunubahu, wa satara ‘uyubahu, wa yu’li darajatihi, wa a’ada alaina min barakatihi. Amin.
Pati, 20 Oktober 2017
Umar Farouq Marsuchin
(Catatan ini sekedar kenangan sekilas saya. Tidak saya maksudkan untuk menggambarkan para kiai saya, karena saat menulisnya saya sama sekali tidak melakukan semacam penelusuran, wawancara, bahkan klarifikasi apapun kepada pihak yang relevan, terutama keluarga. Saya hanya ingin mengenang orang-orang mulia nan tercinta. Semoga di balik catatan ini ada keteladanan yang menginspirasi, meskipun untuk menggiring ke sana, saya tidak pandai menggurui orang lain)