Mengenang Mbah Liem, Ulama Pencetus Slogan NKRI Harga Mati

Mengenang Mbah Liem, Ulama Pencetus Slogan NKRI Harga Mati

Mbah Liem adalah ulama kharismatis, di sanalah muncul slogan dahsyat NKRI harga mati

Mengenang Mbah Liem, Ulama Pencetus Slogan NKRI Harga Mati

Sosok kiai ini saat ini langka, beliau mengajarkan betapa perjuangan dan da’wah Islamiyyah dijalani dengan semangat serta kesungguhan. Mbah Liem adalah sosok wali yang sembunyi, beliau hidup dalam kesederhanaan yang paripurna. Profil Mbah Liem adalah sosok kiai yang selaras dengan wong cilik, dengan petani di lereng Merapi. Mbah Liem mengabarkan Islam yang teduh, Islam yang ramah kepada semua makhluk Allah, Islam yang menghadirkan kedamaian. Mbah Liem, sosok kiai penjaga NKRI.

Penulis mengenalnya dalam kisah-kisah yang sering terdengar dari Kiai Abdullah Zein Salam, kawan karibnya yang merupakan tonggak ulama di Kajen, Pati, Jawa Tengah. Mbah Liem dan  Mbah Dullah, dua sosok yang selalu akrab dan nyambung, keduanya sering bercakap dalam diam, sering berkabar dalam sepi.

Mbah Liem merupakan kiai nyentrik, yang menjadi guru spiritual dari banyak elite politik nasional. Mbah Liem menjadi referensi. Semasa hidupnya, Mbah Liem dikenal sebagai kiai yang selalu menebar cinta, perdamaian dan penjaga keutuhan NKRI. Beliau selalu menggemakan cinta tanah air, dengan tanpa meninggalkan kepeduliannya terhadap masa depan Islam.

Tidak banyak sumber sejarah mengenai tanggal lahir Mbah Liem. Info yang tercatat, Mbah Liem lahir di lingkungan Keraton Kartasura, namun memilih untuk meninggalkan benteng istana. Mbah Liem ingin hadir di tengah-tengah masyarakat dengan mengabdi dan mengasuh santri.

Mbah Liem merupakan santri kesayangan Kiai Sirodj, seorang kiai besar pengasuh pesantren Pajang Kartosuro. Mbah Liem mondok di bawah asuhan Kiai Sirodj hingga tahun 1953. Setelah mengaji di pesantren, Mbah Liem menjadi  pegawai negeri di PJKA Jatinegara. Merasa tidak betah, Mbah Liem keluar dari PJKA, mengundurkan diri sebagai pegawai negeri, untuk berkelana mencari ilmu hakikat. Mbah Liem berkelana dari pesantren ke pesantren, mengaji ke beberapa kiai untuk memuaskan dahaga spiritualnya. Pada 1959, Mbah Liem berada di dukuh Sumberejo, Troso, Karanganom, Klaten. Di tempat inilah, beliau kemudian menetap dan mendirikan pesantren. Mbah Sirodj, guru Mbah Liem, pernah berpesan: “Di sini, tujuan kamu nanti tercapai”. Dengan tekun, Mbah Liem mengajak warga dan membimbing santri di kawasan Sumberejo Troso.

Pada periode tragedi 1965, Mbah Lim mendirikan Kesatuan Aksi Waliullah Indonesia (KAWI). Pada masa itu, muncul beberapa organisasi yang bertujuan untuk menjaga NKRI dari gempuran adu-domba dan pertarungan ideologi. Bermacam organisasi pemuda dan warga bermunculan, semisal Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia) dan beberapa organisasi pemuda lainnya. Mbah Lim membangun front perjuangan dengan menggerakkan para santri dan kiai di kawasannya, yang tergabung dalam KAWI.

Pada waktu itu, terjadi pertarungan ideologi antar kelompok. Aktifis-aktifis yang berhaluan komunis merangsek untuk menguasai negara. Peristiwa 30 September 1965 menjadi catatan sejarah. Namun, hingga kini peristiwa ini masih menjadi catatan gelap dalam sejarah Indonesia. Akan tetapi, yang jelas perlawanan para santri terhadap upaya pembunuhan yang dilakukan oleh aktifis PKI, kemudian berbalik arah. Di Jawa Timur dan Jawa Tengah, santri dan aktifis komunis sama-sama menjadi korban, ribuan nyawa melayang.

Pada 1967, Mbah Lim mendirikan pesantren al-Muttaqien Pancasila Sakti, di Sumberejo Wangi, Desa Troso, Kecamatan Karanganom, Klaten. Mbah Lim bersama istrinya, Nyai Hj Ummu As’adah, gigih berdakwah untuk mengajak warga memahami hakekat Islam sebagai agama yang santun.

Ketika mengajar santri, Mbah Lim selalu memupuk rasa cinta tanah air. Ungkapan hubbul wathan minal iman (cinta tanah air merupakan bagian dari iman)—yang menjadi kredo perjuangan kebangsaan para kiai, menjadi penyangga moral para santri di pesantren al-Muttaqien Pancasila Sakti.

Kiai Nyentrik, Wali yang Sembunyi

Mbah Liem dikenal sebagai kiai yang unik dan nyentrik. Penampilannya sangat sederhana, serta sering memakai pakaian aneh-aneh. Di muka umum, Mbah Liem sering memakai seragam tentara, memakai rompi, ataupun memakai topi. Bahkan, ketika memberi pengajian, Mbah Liem tak jarang memakai topi dan seragam tentara, yang membuat samar orang yang tidak mengenal dekat sosok beliau.

Penulis berkesempatan mengecup tangan Mbah Liem ketika mengundang beliau pada sebuah agenda pengajian kisaran tahun 2007. Ketika itu, penulis bersama Bang Anis Sholeh Baasyin mengadakan sebuah agenda untuk mengkampanyekan pesan-pesan damai bagi anak muda, di alun-alun kota Pati. Mbah Liem datang sebagai pembicara, yang dengan tegas mengungkapkan pentingnya menjaga persatuan dan cinta tanah air.

Meski Mbah Liem harus dibantu santri penderek (santri pembantu) yang menjelaskan ungkapan beliau yang lirih dan kurang jelas, Mbah Liem tetap semangat untuk memberi petuah moral kepada ribuan warga yang ingin mendengar dan ngalap berkah. Mbah Liem sosok yang nyentrik, sekaligus selalu membawa kejutan-kejutan.

Gelombang Spiritual

Mbah Liem dikenal sebagai penasihat spiritual Subhan ZE, aktifis NU yang berperan sentral pada kisaran tahun 1965. Mbah Liem juga sangat dekat dengan Gus Dur, dan menjadi penasihat Megawati Soekarnoputri. Kharisma Mbah Liem serta keikhlasan beliau dalam membantu warga, menjadikan beliau sebagai poros bagi orang-orang yang mencari jawab atas segala gelisah.

Dikisahkan, pada 1983, Gus Dur sowan ke Mbah Liem di Klaten. Pada saat itu, Gus Dur tidak diperkenankan untuk masuk ke dalam rumah, namun hanya di luar rumah. Terjadi dialog kecil antara Mbah Liem dan Gus Dur:

“Lho Gus, ngopo kok rene. Iki rak malem Jum’at. Ayo tak gendong. Tak engklek. Tak terke nang nggone Mbahmu Hasyim Asy’ari (Lho Gus, kenapa kok ke sini. Iki kan malam Jum’at. Ayo aku gendong, aku antarkan ke tempat makam simbahmu Hasyim Asy’ari)” ungkap Mbah Lim.

“Kulo mundut supir riyen, mbah (saya panggil supir dulu, Mbah,” timpal Gus Dur.

Sejurus kemudian, malam itu, Gus Dur dan Mbah Liem berangkat ke Jombang. Mereka berdua tiba di kompleks makam pendiri Pesantren Tebu Ireng pada kisaran jam 3 dini hari. Di tengah ziarah, Mbah Liem menasihati Gus Dur.

“Gus, ojo ngaku putune Mbah Hasyim, nek kowe ora iso ngatur negara (Gus, jangan pernah mengaku cucunya Kiai Hasyim Asy’ari jika kamu tidak bisa mengatur negara)” kata Mbah Liem.

“Nopo kulo saget mbah? (Apa saya bisa Mbah?),” tanya Gus Dur.

“Kudu iso, NU kuwi didegke mbahmu Hasyim dienggo opo, ngarep opo lan kanggo sopo? Yo kuwi dalane ngatur negara (Harus bisa! NU didirikan kakekmu Hasyim, untuk apa, bertujuan apa dan untuk siapa? Ya, tidak lain sebagai jalan untuk mengatur negara!)” tegas Mbah Liem.

Di hadapan Mbah Liem, Gus Dur tidak mampu menahan air mata, hingga jatuh membasahi pipi. Gus Dur tertunduk setelah menerima nasihat Mbah Liem, sosok yang sangat dihormatinya. Di kemudian hari, ucapan Mbah Liem ini terbukti, ketika Gus Dur menjadi presiden Republik Indonesia. 20 Oktober 1999, Gus Dur dilantik menjadi presiden negeri ini.

Mbah Liem merupakan sosok kiai yang melampaui hasrat dunia, melampaui segala emosi dan amarah. Mbah Liem menawarkan kesejukan dan kedamaian dengan segala yang dimiliki. Mbah Liem merawat persatuan umat manusia, dengan terus mengkampanyekan nilai-nilai nasionalisme, agar bangsa ini tetap bersatu dalam ikatan persaudaraan.

Sebuah papan bertuliskan “Joglo Perdamaian Umat Manusia se-Dunia” tertampang kokoh di belakang pesantren. Papan berwarna merah putih tersebut, terpasang di pagar kompleks makam, yang berada di areal pesantren al-Muttaqien Pancasila Sakti. Pada papan itu bertuliskan petuah indah: “Meski beda agama sekalipun toh sesama hamba Allah, sesama anak cucu eyang Nabiullah Adam AS, dan sesama penghuni NKRI Pancasila.” Di bawah tulisan tersebut, tersemat tanggal yakni 12 Maulid 1428 H/30 Maret 2007, pukul 16.17 WIB, yang bertanda tangan Mbah Liem, KH. Muslim Rifa’i Imampuro.

Di dekat papan tersebut, berdiri joglo perdamaian. Bangunan ini, merupakan ide dari Mbah Liem untuk mengingat umat manusia agar senantiasa rukun dan damai. Mbah Liem memang dikenal sebagai kiai yang mengayomi, pegiat umat yang senantiasa taat, serta ulama yang membawa pesan cinta.

Mbah Liem juga seorang kiai yang cinta tanah air, memiliki rasa nasionalisme yang mendalam. Simbol nasionalisme Mbah Liem, terlihat ketika beliau mewasiatkan agar makamnya dihiasi dengan warna merah putih, yang tidak lain merupakan warna bendera pusaka bangsa Indonesia.

Yayuk Madayani, menantu Mbah Liem, mengungkapkan bahwa sosok Kiai pengasuh pesantren al-Muttaqien ini sangat unik.

“Mbah itu unik. Beliau selalu memberi perintah ditulis tangan lengkap dengan hari, tanggal, dan jam serta ada tanda tangan beliau. Ada yang di kertas HVS, ada pula yang di kertas grenjeng, bekas bungkus rokok. Semuanya kami simpan, rencannya akan dikumpulkan untuk mengenang perjuangan Mbah,” ungkap Yayuk, sebagaimana dikutip Solopos, 6 Agustus 2015.

Mbah Liem wafat pada 24 Mei 2012 lalu, usia 91 tahun. Beliau dimakamkan di Joglo Perdamaian, bangunan yang beliau dirikan untuk mengingatkan pentingnya kewarasan umat manusia, pentingnya cinta di antara sesama makhluk Allah di muka bumi. Alfaatihah[].