Dua tahun lalu, 27 November 2019, Habib Luthfi Pekalongan menggelar wayang kulit dalam rangka Maulid Nabi. Dalang yang ditanggap adalah Ki Manteb Sudarsono (1948-2021). Semalam suntuk, lakon “Parikesit Mandito” dijabarkan oleh Ki Manteb di halaman Kanzus Sholawat, kediaman Habib Luthfi.
Sebelum pentas dimulai, Habib Luthfi selaku Pemimpin Forum Sufi Dunia menyerahkan piagam penghargaan kepada Ki Manteb. Penghargaan ini sebagai bentuk apresiasi dedikasi Ki Manteb dalam melestarikan wayang kulit. Budaya yang dulu digunakan Walisongo mendakwahkan Islam di bumi Nusantara.
Dalam kata sambutannya, Habib Luthfi mengajak masyarakat untuk terus melestarikan budaya Nusantara, salah satunya adalah wayang kulit. Banyak ajaran tasawuf dan budi pekerti yang terkandung di dalamnya. Sebagai misal adalah ajaran hakikat hidup manusia; dari mana, untuk apa, dan akan kemana manusia hidup.
Dalam kisah pewayangan, ajaran ini disebut dengan “ilmu sangkan paraning dumadi”. Untuk mempelajarinya, dibutuhkan kesungguhan, pengorbanan, dan kepasrahan. Salah satu tokoh yang mampu mendapatkan ilmu ini adalah Werkudoro. Satria Pandawa yang menjadi teladan bagi kemakmuran dan keadilan negara Indraprasta.
Oleh Ki Manteb, yang dikenal sebagai “Dalang Setan”, tokoh Werkudoro inilah yang dihadiahkan kepada Habib Luthfi. Ada dua alasan mengapa Werkudoro dipilih untuk dijadikan tali asih. Pertama, tokoh ini menjadi santria yang berjiwa pandhito. Satria yang bersih hati dan jiwanya.
Dalam persaksian Ki Manteb, Habib Luthfi semasa mudanya juga menjadi satrianya Banser. Kedua, di masa tuanya, Habib Luthfi dapat menjadi pengayom bagi bangsa Indonesia, bahkan dunia. Hal ini karena kedalaman ilmu dan luhurnya budi pekerti. Sebagaimana Werkudoro yang telah mampu memahami ilmu sangkan paraning dumadi. Dalam beberapa taushiyahnya, Habib Luthfi juga wasis menceritakan kisah wayang dan filosofi tasawufnya.
Terkait hal ini, di masa mudanya, Kiai Ihsan Jampes (1901-1952) adalah maniak wayang kulit. Bahkan, penulis kitab “Siraj al-Thalibin”, syarah “Minhaj al-Abidin” karya Imam al-Ghazali (450-505 H) itu lebih detail hafal lakon wayang kulit daripada dalang. Jika dicermati, banyak sekali tulisan-tulisan Gur Dur (1940-2009) yang mengangkat kisah wayang kulit. Mengakar dan mendalam, menyingkap makna filosofis tokoh dan cerita pewayangan.
Di masa kecilnya, Kiai Ali Mustafa Yaqub (1952-2016), juga gemar wayang kulit dan sempat belajar mendalang. Tidak aneh jika dalam ceramahnya, penulis kitab “al-Thuruq al-Shahihah fi Fahmi al-Sunnah al-Nabawiyah” wasis memanjatkan shalawat dengan langgam Jawa.
Beberapa hari lalu, 2 Juli 2021, kita berduka. Ki Manteb Sudarsono, dalang dari Karanganyar itu berpulang. Sugeng tindak. Karya dan jasa njenengan senantiasa terkenang. Semoga generasi muda dapat melanjutkan. Meramu kearifan budaya dan agama untuk memayu hayuning jiwo, memayu hayuning keluargo, memayu hayuning sesomo, memayu hayuning bawono.