Mengenal Syariat, Tarekat, dan Hakikat

Mengenal Syariat, Tarekat, dan Hakikat

Mengenal Syariat, Tarekat, dan Hakikat

Orang yang tidak mendalami tasawuf seringkali mengkritik kategorisasi syariat, tarekat, dan hakikat. Mereka menganggap kategorisasi ini menyesatkan dan problematik, karena mereka memahami seakan-akan orang yang sudah sampai pada level hakikat sudah tidak melakukan syariat lagi. Padahal Rasulullah sendiri, sebagai manusia yang paling dekat dengan Allah SWT, masih menjelankan syariat sampai akhir hayatnya.

Supaya tidak salah paham, Syeikh Nawawi al-Bantani menjelaskan pengertian dan maksud dari tiga istilah ini dalam kitab Maraqil Ubudiyah. Beliau mengatakan, syariat adalah hukum-hukum yang dibebankan Rasulullah dari Allah kepada kita. Hukum-hukum itu meliputi perkara-perkara wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah. Selain itu, ada pula yang mendefenisikan syariat sebagai pelaksanaan agama Allah dengan menaati segala perintah dan meninggalkan segala larangan-Nya.

Adapun tarekat adalah melaksanakan perkara-perkara wajib dan sunnah, meninggalkan yang haram, memalingkan diri dari perkara-perkara yang mubah yang tidak bermanfaat, mengutamakan sifat wara’, atau hati-hati agar tidak terjerumus pada hal-hal haram atau makruh, yang dapat ditempuh melalui riyadhah, semisal puasa, dan lain-lain.

Sementara hakikat adalah memahami hakikat sesuatu, seperti hakikat asma, sifat, dan dzat. Memahami rahasia al-Qur’an, rahasia perintah dan larangan, rahasia alam ghaib, dan lain-lain.

Sebagian ulama menggambarkan syariat sebagai bahtera, tarekat sebagai lautan dan hakikat sebagai mutiara. Seorang tidak akan menemukan mutiara kecuali di dasar lautan, dan tidak akan bisa sampai ke laut kecuali dengan bahtera.

Dengan demikian, pembagian ini bertujuan untuk memberi gambaran bahwa dalam setiap ibadah yang dilakukan itu adalah hikmah dan tujuan yang bisa dipahami setelah melakukan ibadah itu secara terus-menerus dan istiqamah. Akan tetapi, orang yang sudah sampai pada pemahaman inti dari sebuah ibadah, bukan berati tidak diwajibkan lagi mengerjakan ibadah tersebut, karena bagaimanapun selama masih hidup, kewajiban yang dibebankan Tuhan kepada manusia tetap harus dilakukan.