- Al-Nizhamiyah
Al-Nizhamiyah disandarkan kepada pendirinya Ibrahim bin Siyar al-Nizham. ia sangat senang membaca dan memutola’aah buku-buku filsafat klasik, khususnya dalam aliran Platonik. Ia banyak berbeda pendapat dengan penganut Mu’tazilah lain.
Al-Nizhamiyah berpendapat bahwa kata al-Qadar, kuasa tidak diasosiasikan kepada keburukan dan maksiat, tidak juga ditentukan oleh Allah. Hal ini berbeda dengan pandangan dominan Mu’tazilah bahwa Allah itu kuasa atas keburukan, maksiat, akan tetapi Dia tidak melakukannya karena hal itu adalah keburukan. Karena Dia hanya melakukan kebaikan kepada umat manusia.
Nizhamiyah secara umum berkeyakinan bahwa keburukan itu adalah sifat tambahan dari buruk. Al-Nizhamiyah berpendapat bahwa manusia secara hakikat adalah jiwa dan ruh, organ luar dan dalam. Ruh itu adalah fisik lembut yang menempel pada tubuh, melekat di hati dengan seluruh bagian cairannya. Al-Nizham juga menerangkan bahwa ruh itu memiliki kekuatan, kemampuan, kehendak dan hidup, ia hidup dengan sendirinya. Sedangkan kemampuan (al-Istitho’ah) itu merupakan potensi sebelum perbuatan.
Adapun dalam aliran filsafat universalitas ‘Ada’, al-Nizhamiyah sepakat dengan aliran platonic bahwa universal itu tak terpisah, ‘Ada’ selalu bersifat universal (kulliy). Adapun yang parsial, partikular memiliki hukum atas dirinya sendiri yang terikat dengan partikularitas lain.
Pandangan universalitas ‘Ada’ di Mu’tazilah ini nantinya diperdebatkan oleh Al-Ghazali lewat Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat) dalam relevansinya dengan ‘pengetahuan Tuhan’. Pandangan ini nantinya berimplikasi bahwa Tuhan mengetahui yang universal, tidak partikular.
Pandangan al-Nizhamiyah tentang sumber syariah seperti al-Quran berkaitan dengan kemu’jizatan al-Quran dari aspek informasinya atas peristiwa masa lalu dan kejadian di masa mendatang. Bahkan menurut al-Nizhamiyah, sumber syariah itu hanya al-Quran, Ijma’ bukan sebagai sumber syariah.
- Al-Khabitiyah dan al-Hadtsiyah
Pendirinya adalah Ahmad bin Khatib yang merupakan salah seorang sahabat al-Nizham. ia termasuk penulis yang senang mempelajari buku-buku filsafat yunani klasik. Menurut al-Syahrastani, aliran ini memiliki tiga pandangan yang berbeda:
Pertama, menurutnya di antara yang ikut serta memutuskan perkara akhirat kelak adalah Isa al-Masih. Pandangan seperti ini menyatakan bahwa al-Masih kelak akan menghisab semua perbuatan makhluk di akhirat.
Pandangan semacam ini berangkat dari firman Allah Swt. QS. Al-Fajr: 22:
وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا
“Dan Tuhanmu akan Datang bersama Malaikat secara berbaris-baris.”
Kedua, setiap ciptaan akan terlahir kembali di dunia ini dengan bentuk yang berbeda. Pandangan ini berangkat dari kesatuan ruh dan jiwa, jika jiwa hancur, sedangkan ruh bersifat universal, tidak terbatas, maka ruh memerlukan tubuh lain untuk ditempati. Pandangan ini dikenal dengan al-Tanasukhiyah (reinkarnasi).
Ketiga, aliran ini berpendapat bahwa maksud hadis nabi:
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ يَوْمَ القِيَامَةِ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا، لاَ تُضَامُونَ فِي رُؤْيَتِهِ
“sesungguhnya kamu akana melihat tuhanmu di hari kiamat kelak, seperti kamu melihat bulan ini, kamu tidak akan kesulitan melihat-Nya ” (HR. al-Bukhari, al-Thabrani)
Bahwa “melihat” di sini adalah melihat Tuhan yang ‘al-aql al-awwal’ (Nalar Pertama, prima causa), Pencipta Pertama. Oleh al-Nizhamiyah maksudnya adalah al-Aqal al-Fa’aal (Nalar Aktif), darinya muncul dan tampilnya citra dari semua ciptaan yang ada. Dari pandangan ini selanjutnya akan tersingkap semua hijab yang membatasi antara Tuhan dan Citra dari semua makhluk yang ditampilkan. Sebagaimana melihat rembulan terang di malam hari, tanpa adanya awan yang menutupi.
Secara umum perkembangan pemahaman ini belakangan banyak diperdebatkan oleh para ahli teologis, ilmu kalam. Tidak banyak yang tersisa kecuali, sedikit dari karya-karya mereka yang masih diteliti oleh para pengkaji teologi Islam. Dari berbagai faksi dalam Mu’tazilah terlihat sangat beragam pandangannya. Mulai dari ide ketuhanan, pahala, azab di hari kiamat dan seterusnya.
Dalam buku The Oxford Handbook of Islamic Theology yang diedit oleh Sabin Schmitke dijelaskan bahwa munculnya banyak varian teologi, diskusi ilmu kalam dalam Islam bukan sebagai hasil dari persentuhan atau penolakan terhadap non-muslim atau komunitas beragama lainnya, akan tetapi lebih sebagai dinamika internal dari perdebatan keilmuan Islam awal.