Sebagaimana disebut oleh penulis kitab al-Milal wa al-Nihal al-Syahrastani bahwa setiap kelompok memiliki ide teologis yang berbeda satu dari lainnya. ia ada yang memiliki karya ada juga yang tidak. Yang memiliki karya akan selalu menjadi bahan kajian tiap.
Lumrah, bagi pengkaji teologi Islam, pandangan ke-Tuhan-an bukanlah yang bersifat tabu. Karena ia adalah konsep, maka ia menjadi sah untuk diperdebatkan. Tidak jarang, antara satu ulama dan lain berbeda pandangan teologis. Pandangan teologis hanya salah satu cara penggambaran tentang konsep ‘Tuhan’ dalam Islam yang secara umum masih ditemukan banyak pendekatan.
Secara Umum, barangkali kita berasumsi bahwa Mu’tazilah satu saja. ternyata Mu’tazilah memiliki banyak faksi di dalamnya yang terjadi perbedaan sudut pandang teologis. Sebagaimana telah dikenal bahwa konsep Ushul al-Khamsah merupakan teori besar tentang Ke-Tuhan-an aliran Mu’tazilah. Konsep ini menjelaskan tentang Nafyu al-Shifat (Penolakan Sifat Tuhan), keadilan Tuhan, al-Wa’du (Kabar Baik) dan al-Wa’id (Kabar Buruk), Manzilah Baina Manzilatain (posisi antara dua posisi).
Terlepas dari kontroversial teori ini yang telah diperdebatan ulama klasik, lima konsep di atas diteroka oleh al-Juba’i. Bagi al-Juba’I konsep ke-Tuhan-an Mutazilah pada dasarnya merupakan usaha untuk menolak gagasan dualisme ketuhanan bagi kaum aliran gnostik Persia awal sebelum kedatangan Islam yang ada di Irak saat itu. Mereka berpendapat bahwa tuhan memiliki dua sifat (esensi), dua dzat (prima). Tuhan itu baik dan sekaligus jahat, tuhan itu pengasih sekaligus penyiksa. Karena punya dua sifat, maka ia mesti memiliki dua dzat, karena tidak bisa satu sifat dilekatkan pada satu dzat seperti hitamnya sebuah tembok. Efek dari pemahaman ini adalah adanya “Dua Tuhan”.
Pada konteks inilah pandangan teologis Mu’tazilah menyasar. Di sisi lain, kaum Khawarij menilai bahwa pelaku dosa besar merupakan kafir dan fasik. Mereka telah keluar dari Islam. Pandangan ini sangat hitam-putih. Atas dasar tersebut, Mu’tazilah mengambil posisi mendayuh dua ekstrimisme pandangan teologis dari kalangan minisme (manichean), gnostisme Persia. Di satu sisi menolak dualisme esensi-prima ‘Tuhan’, dan menolak penghakiman ‘surga-neraka’ bagi pelaku dosa besar di sisi lain.
Berikut beberapa kelompok dalam aliran Mu’tazilah:
- Al-Washiliyah
Pandangan al-Washiliyah direpresentasikan oleh Abu Hudzaifah Washil bin ‘Atha’. Dianggap sebagai penggagas aliran Mu’tazilah, Washil bin ‘Atha’ sebelumnya adalah murid al-Hasan al-Bashri yang keduanya hidup pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan dan Hisyam bin Abdul Malik. Pandangan al-Washiliyah diawali dengan nafyu al-Shifat (penolakan sifat Tuhan). Seperti sifat Ilmu, Qudrat, Irodah, Hayyun. Oleh al-Syahrastani disebutkan bahwa gagasan penolakan sifat Tuhan pada aliran ini belum sampai kepada tahap kematangan hingga diteroka ulang oleh al-Hudzail.
Pandangan berikutnya Manzilah baina Manzilatain. Pandangan ini sejatinya untuk melampaui dua pandangan teologis dalam menghukumi kekafiran pelaku dosa besar. Pandangan Khawarij menilai pelaku dosa besar sebagai kafir, sedangkan menurut Murji’ah penghakiman kafir/mukmin diserahkan saja kelak pada otoritas Hakim Tuhan di akhirat. Dari Washil bin ‘Atha’ melihat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir mutlak dan tidak pula mukmin mutlak.
Al-Washiliyah juga berpemahaman bahwa keimanan itu adalah nama dari kebaikan yang hanya bisa diatribusikan kepada seseorang, maka ia menjadi mu’min. dapun orang fasik, itu ia tidak memiliki kebaikan, dan tidak tepat atau tidak cocok disebut pujian, makanya ia tidak beriman. Akan tetapi, ia juga bukan kafir secara mutlak. Karena syahadat dan seluruh kebaikan yang ia lakukan.
- Al-Hudzailiyah
Faksi ini dikomandoi oleh salah seorang Syekh Mu’tazilah, Abu al-Hudzail bin al-Hudzail al-‘Allaf. Ia mempelajari aliran Mu’tazilah dari Utsman bin Khalid al-Thawil, lalu berlanjut ke al-Washil bin ‘Atha’. Ia berpandangan bahwa bahwa Allah Maha Mengetahui karena sifat Ilmunya, dan Ilmu-Nya itu adalah Dzat-Nya, Allah Maha Kuasa karena sifat Kuasa-Nya, dan Kuasa-Nya itu juga sebagai Dzat-Nya, begitu seterusnya.
Dari sinilah al-Hudzailah berpandangan bahwa esensi dan dzat Tuhan itu adalah dzat itu sendiri. Pandangannya tentang penciptaan tindakan manusia selaras dengan Qadariyah awalnya. Manusia kuasa atas dirinya sendiri, ia yang menciptakan perbuatannya. Oleh al-Syahrastani, akan tetapi akhirnya al-Hudzailiyah adalah Jabariyah untuk urusan akhirat. Manusia tak kuasa atas perbuatannya di dunia. Jika dihadapkan dengan hari perhitungan dan kiamat. Dalam persoalan al-Istitho’ah (kesanggupan Mukallaf), al-Hudzailiyah berpendapat bahwa untuk mengetahui Tuhan, makhluk membutuhkan dalil (petunjuk), akan tetapi di sisi lain manusia secara rasional mampu membedakan mana keburukan dan kebaikan.
Ada juga sisi lain yang menarik dari kehebatan logika al-Hudzaili. Seperti dinukil oleh Abu Zahrah bahwa para penulis sejarah biografis ulama mu’tazilah (Tarajim Mu’tazilah) menyebut bahwa dengan kemampuan logika yang benar al-Hudzaili mampu menaklukkan pandangan ketuhanan orang-orang zindiq dan majusi yang ada di Persia pada saat kekhalifahan Abbasiyah saat itu.