Mengenal Produktivitas Keluarga Ibnu Atsir

Mengenal Produktivitas Keluarga Ibnu Atsir

Mengenal Produktivitas Keluarga Ibnu Atsir

“Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya,” begitu adagium yang menyadarkan kita agar “kacang jangan sampai lupa pada kulitnya”. Sejarah Islam mencatat silsilah para Nabi Bani Israil yang bersambung dari Nabi Isa as. hingga Nabi Ibrahim as. Selain itu, di masa Rasulullah saw. juga terdapat banyak sekali sahabat terkemuka yang saling memiliki hubungan darah, begitu pula dengan klan-klan para penentang dakwah Islam. Di Indonesia juga terdapat berbagai tokoh yang kebetulan saling memiliki hubungan darah, baik dalam satu generasi maupun lintas generasi, mulai dari tokoh agama, tokoh pejuang kemerdekaan, tokoh politik, tokoh hiburan, hingga tokoh “figuran” serta tokoh pembuat “kehebohan”.

Pada abad keenam hijriyyah, terdapat seorang tokoh dari kalangan saudagar kaya raya yang dermawan bernama Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim asy-Syaibani al-Jazari, mendapat gelar kehormatan Atsir. Asy-Syaibani menunjukkan bahwa beliau berasal dari suku Syaiban dan al-Jazari dinisbahkan kepada kampung halamannya, Jazirah Ibnu Umar, tak jauh dari Kota Mosul, Irak. Disebut Jazirah Ibnu Umar sebagai bentuk apresiasi kepada al-Hasan bin Umar bin Khatthab at-Taghlibi yang telah berjasa membangun dan memaksimalkan aliran sungai Tigris dan Eufrat di daerah tersebut sehingga terkenal sebagai daerah yang sangat subur.

Dikarenakan keperluan pengembangan bisnis, pada tahun 565 H/1170 M Muhammad bin Abdul Karim asy-Syaibani al-Jazari sekeluarga pindah ke Kota Mosul, Irak. Beliau memiliki tiga “jagoan” yang di kemudian hari menjadi tokoh-tokoh panutan yang kompak menggunakan “nama pena” Ibnu Atsir―merujuk pada gelar ayah mereka―dalam berbagai karya tulis.

Pertama, al-Mubarak bin Muhammad bin Abdul Karim asy-Syaibani al-Jazari, mendapat gelar Majduddin dan Abu as-Sa’adat sebagai pengakuan keahlian beliau di bidang hadis dan bahasa. Beliau lahir pada tahun 544 H/1150 M dan wafat pada akhir bulan Dzulhijjah  606 H/1210 M di Mosul, Irak. Dalam usia produktifnya, beliau menderita niqris, sejenis penyakit tulang yang menyebabkan kaki dan tangannya lumpuh, sehingga aktfitas hariannya hanya dihabiskan di rumah. Meskipun begitu, beliau semakin produktif berkarya. Dengan dibantu oleh murid-muridnya, beliau berhasil menyelesaikan penulisan beberapa kitab yang di antaranya adalah An-Nihayah fi Gharib al-Hadis wa al-Atsar, Jami’ al-Ushul fi Ahadits ar-Rasul, al-Inshaf fi al-Jam’i baina al-Kasyfi wa al-Kasysyaf, asy-Syafi fi Syarh Musnad asy-Syafi’i, ar-Rasail, al-Mukhtar fi Manaqib al-Akhyar, dan lain sebagainya. Karya beliau An-Nihayah fi Gharib al-Hadis wa al-Atsar merupakan salah satu rujukan utama cabang ilmu gharib al-hadis.

Kedua, Ali bin Muhammad bin Abdul Karim asy-Syaibani al-Jazari, mendapat gelar Izzuddin. Beliau adalah seorang pakar sejarah yang lahir pada tahun 555 H/1160 M dan wafat pada bulan Sya’ban 630 H/1233 M di Mosul, Irak. Beliau rela mengembara ke berbagai wilayah guna memperoleh berbagai informasi perihal sejarah. Di antara karya-karya beliau karya-karya beliau adalah al-Kamil fi at-Tarikh, Usud al-Ghabah fi Ma’rifah ash-Shahabah, al-Lubab fi Tahdzib al-Ansab, Tarikh ad-Daulah al-Atabikiyah, al-Jami’ al-Kabir, Tarikh al-Mawshil, Tuhaf al-‘Ajaib wa Thurfah al-Gharaib dan lain sebagainya. Karya beliau al-Kamil fi at-Tarikh dan Usud al-Ghabah fi Ma’rifah ash-Shahabah merupakan rujukan primer dalam kajian sejarah Islam.

Ketiga, Nasrullah bin Muhammad bin Abdul Karim asy-Syaibani al-Jazari, mendapat gelar Dhiyauddin. Beliau adalah seorang sekretaris negara sekaligus pakar sastra yang lahir pada tahun 558 H/1163 M dan wafat pada tahun 637 H/1239 M di Baghdad. Karir beliau di pemerintahan bisa dibilang cukup mentereng. Berawal dari pengabdian beliau kepada Shalahuddin al-Ayyubi hingga masuk dalam jajaran wazir (menteri) pada masa al-Afdhal bin Shalahuddin. Meskipun disibukkan dengan aktifitas kenegaraan, beliau tetap aktif berkarya. Di antara karya-karya beliau adalah al-Matsal as-Sair fi Adab al-Katib wa asy-Sya’ir, Kifayah ath-Thalib fi Naqd Kalam asy-Sya’ir wa al-Katib, al-Miftah al-Mansya li Hadiqah al-Insya’, al-Ma’ani al-Mukhtara’ah, al-Jami’ al-Kabir, al-Burhan fi ‘Ilm al-Bayan, Rasail Ibn Atsir, dan lain sebagainya.

Tulisan akan kekal sepanjang jaman meskipun penulisnya telah meninggal dunia. Ibnu Atsir bersaudara mampu mengembangkan potensi masing-masing dan menuangkan beragam ide dan gagasannya serta meng’abadi’kan namanya dalam berbagai karya tulis, mengingat tak banyak tokoh muslim yang memiliki hubungan darah yang mampu menghasilkan puluhan bahkan ratusan karya. Semoga kita mampu meneladani dan mengikuti jejak Ibnu Atsir bersaudara agar senantiasa produktif berkarya yang memberikan banyak manfaat bagi umat manusia.