Beberapa kali kita sering mendengar kata sahabat (sahabiy) dalam pengajian-pengajian, ceramah majelis taklim, atau tulisan-tulisan di portal keislaman yang berkaitan dengan hadis. Namun, kita sering kali lupa untuk mencari tahu maksud dan arti dari kata tersebut serta untuk apa kata tersebut digunakan pada masa itu.
Menurut Imam an-Nawawi dalam Taqrib-nya menjelaskan bahwa definisi sahabat menurut para ahli hadis (muhaddisin) adalah setiap muslim yang melihat Rasulullah Saw. Sayangnya, definisi ini dikritik oleh Imam as-Suyuthi dalam Tadribur Rawi-nya.
As-Suyuthi mengatakan, jika hanya dibuat definisi demikian, maka setiap muslim yang tidak bisa melihat (tunanetra) pada zaman nabi tidak bisa dikatakan sahabat, padahal jelas-jelas ia bersama Nabi Saw, seperti Abdulllah bin Ummi Maktum misalnya, ia merupakan seseorang yang tidak bisa melihat, namun tidak diragukan lagi bahwa ia adalah seorang sahabat.
Sehingga, as-Suyuthi memberikan definisi sendiri yang dianggapnya lebih pas daripada definisi yang diberikan an-Nawawi.
مَنْ لَقِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسْلِمًا وَمَاتَ عَلَى إِسْلَامِهِ
“Setiap orang yang bertemu dengan Rasulullah Saw dalam keadaan muslim dan meninggal juga dalam keadaan muslim.”
Dari definisi ini, maka setiap orang non-muslim yang bertemu Rasulullah saat beliau masih hidup kemudian masuk Islam pada saat Rasulullah wafat, seperti utusan Raja Kisra, maka ia tidak bisa disebut sahabat. Atau sebaliknya, ia bertemu Rasulullah Saw dalam keadaan muslim kemudian ia meninggal dalam keadaan non-muslim, maka ia juga tidak bisa disebut sahabat.
Begitu juga orang yang hanya bisa melihat Rasulullah Saw ketika sudah wafat namun belum dikuburkan, maka ia juga tidak bisa disebut sebagai sahabat Rasulullah Saw. Seperti Abu Dzuaib Huwailid bin Khalid al-Hudzalli.
Lalu bagaimana dengan orang yang bertemu Rasul dalam keadaan muslim, kemudian dia murtad, dan masuk Islam lagi untuk kedua kalinya sampai ia meninggal. Apakah ia bisa disebut sebagai sahabat Rasul Saw?
Menurut al-Iraqi, murtad dapat menggugurkan status sahabat yang telah didapatkan. Namun jika kembali masuk Islam lagi, maka status sahabat yang sebelumnya hilang, dapat disandang kembali.
Begitu juga menurut al-Iraqi, orang yang bertemu nabi, baik sebelum beliau diangkat menjadi nabi atau sesudah diangkat menjadi nabi, maka tetap bisa disebut sebagai sahabat. Seperti Zaid bin Amr bin Nufail, yang dimasukkan oleh Ibnu Mandah sebagai golongan sahabat.
Jika ada persyaratan bertemu, apakah para malaikat dan para nabi sebelumnya yang pernah bertemu dengan Rasulullah juga bisa disebut sahabat?
Menurut as-Suyuthi, malaikat dan para nabi sebelumnya tidak bisa disebut sebagai sahabat.
وَالظَّاهِرُ اشْتِرَاطُ رُؤْيَتِهِ فِي عَالَمِ الشَّهَادَةِ؛ فَلَا يُطْلَقُ اسْمُ الصُّحْبَةِ عَلَى مَنْ رَآهُ مِنَ الْمَلَائِكَةِ وَالنَّبِيِّينَ
“Yang jelas, disyaratkan melihat Nabi Saw di alam syahadah. Maka setiap malaikat atau para nabi sebelumnya tidak termasuk sahabat.”
Wallahu A’lam.