Ibn Qutaybah (276 H/889 M) dan beberapa ulama berpendapat bahwa nama “Muhammad” adalah nama yang belum pernah digunakan sebelum Nabi kita dilahirkan. Benarkah demikian?
Beberapa ulama membantahnya. Sa‘id bin al-Musayyab (94 H/715 M) berkata, “Saat orang Arab mendengar dari Ahli Kitab dan para peramal bahwa akan ada seorang Nabi yang diutus untuk bangsa Arab bernama Muhammad, maka mereka menamai anak mereka dengan nama Muhammad. Berharap anak merekalah yang menjadi Nabi.”
Sa‘id bin al-Musayyab menyebutkan nama Muhammad bin Khuza‘i yang pernah mendatangi Abrahah di Yaman. Dalam kunjungan itu, adiknya yang bernama Qays bin Khuza’i melantunkan satu bait syair di hadapan Abrahah dan pengikutnya, “Inilah di hadapan kalian pemilik mahkota (pemimpin) kami, Muhammad…”
Ada juga nama Muhammad bin Sufyan bin Mujasyi‘ dari Bani Tamim. Ayahnya memberi nama Muhammad dengan harapan yang sama, sebagaimana diceritakan oleh Sa‘id bin al-Musayyab, yaitu berharap anaknya kelak menjadi Nabi untuk bangsa Arab.
Ada lagi nama Muhammad al-Jasyami dari Bani Suwa’ah, Muhammad al-Fuqaymi, dan Muhammad al-Usaydi.
Selain lima nama Muhammad di atas, al-Baladzuri (279 H/892 M) menyebutkan 11 nama Muhammad. Lima lahir sebelum Nabi Muhammad SAW, yaitu Muhammad bin al-Hirmaz bin Tamim, Muhammad bin Birr bin Kinanah, Muhammad as-Syuway‘ir bin Humran al-Ju‘fi, Muhammad bin ‘Uqbah al-Awsi, dan Muhammad bin Maslamah al-Anshari.
Enam orang bernama Muhammad sisanya ada di masa kerasulan Nabi Muhammad, yaitu Muhammad bin Ja‘far bin Abi Thalib, Muhammad bin Thalhah bin ‘Ubaydillah, Muhammad bin Hathib, Muhammad bin Abi Bakar as-Shiddiq, Muhammad bin Abi Hudzaifah, dan Muhammad bin ‘Amr al-Khazraji.
Lalu, apa arti Muhammad? Muhammad berasal dari akar kata ḥ-m-d (ḥamd) yang berarti pujian. Kata Muhammad mengikuti wazan mufa‘al dari kata ḥammada-yuḥammidu-ḥammid-taḥmīdan-muḥammid-muḥammad (tasrifan ala Krapyak [mengeja bentuk kata dari kata kerja dahulu kemudian kata benda; fi‘l madhi-mudari‘-amr-isim masdar-isim fa‘il-isim maf’ul]).
Kata Muhammad dengan demikian bermakna orang yang dipuji terus menerus atau yang banyak dipuji. Makna kata ini sesuai dengan harapan sang pemberi nama yaitu Abdul Muthalib (kakek Nabi Muhammad). Saat itu ada yang bertanya kepada ‘Abdul Muthalib, “Mengapa kau namai cucumu dengan nama itu? Itu bukan nama dari nama leluhurmu.” Abdul Muthalib menjawab, “Aku berharap ia akan dipuji di langit dan di bumi.”
Seseorang akan banyak dipuji atau terus menerus dipuji karena ia senantiasa berpikir, berbuat, dan bertutur kata baik dan benar tanpa paksaan dan dilakukan dengan sadar.
Saat ada seseorang yang berbuat baik dan benar tapi karena ia dipaksa melakukan itu, atau dilakukan secara tidak sadar, maka ia tidak pantas mendapatkan pujian. Segala perilaku Nabi Muhammad, baik pikiran, ucapan, dan perbuatannya dilakukan dengan baik, benar, bukan karena terpaksa, dan dilakukan secara sadar. Demikianlah Nabi Muhammad layak dipuji-puji.
Lantas apa sesungguhnya yang paling utama dari Nabi Muhammad yang paling layak mendapatkan penghormatan dan pujian? Ialah akhlaknya.
Penghormatan dan pujian pertama datang dari Sang Pencipta, Allah SWT, “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad), sungguh berada pada akhlak yang agung.” Akhlaknya tidak hanya indah, bahkan agung di sisi Allah. Inilah kiranya salah satu misi Nabi Muhammad SAW, yaitu untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Kedua, empat kali Allah menyebut nama Muhammad di dalam Al-Quran, dan tidak sekalipun nama itu disebut kecuali disertai dengan kata “rasul,” “nabi” atau “al-ḥaq.”
Perhatikan surat Ali Imran/3:144, “dan Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul…” Surat al-Ahzab/33:40, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.” Surat Muhammad/47:2, “Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh serta beriman pula kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang hak dari Rabb mereka…” dan surat al-Fath/48:29, “Muhammad adalah Rasulullah…”
Ketiga, tidak sekalipun Allah SWT memanggil Nabi Muhammad SAW dengan namanya, yaitu “wahai Muhammad,” sebagaimana Allah memanggil nabi-nabi lain dengan namanya, yaitu, “wahai Adam (Al-Baqarah/2:33),” “wahai Nuh (Hud/11:32),” “wahai Ibrahim (Hud/11:76), “wahai Musa (Al-A’raf/7:144),” “wahai Isa (Ali Imran/3:55).”
Allah senantiasa menyapa Nabi Muhammad dengan sebutan “wahai sang Nabi (yā ayyuhannabi)” atau “wahai sang Rasul (ya ayyuharrasul).” Tiga belas kali Nabi Muhammad dipanggil dengan kalimat ya ayyuhannabi dan dua kali dengan kalimat ya ayyuharrasul.
Cara menyebut dan memanggil nama Nabi Muhammad SAW yang dicontohkan Allah SWT ini diteladani oleh sahabat Nabi. Tidak ada satu pun sahabat nabi yang menyebut atau memanggil namanya. Misal, “ya Muhammad (hai Muhammad).”
Para sahabat menyebutnya saat bercerita, dengan kalimat “Rasulullah,” dan memanggilnya dengan kalimat, “wahai Rasulullah.” Inilah kiranya sebagian ulama menambahkan kata “sayyidinā” saat bersalawat, “Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad wa-‘ala ali sayyidina Muhammad.”
Akhirnya, sebagaimana telah Allah contohkan, sebutlah Nabi Muhammad SAW tidak hanya namanya (Muhammad), tetapi dengan menyebut Sayyidina Muhammad, Rasulullah, Junjungan Kita, Baginda Nabi, dan lain sebagainya.
Namun demikian, yang lebih penting dari sebutan dan panggilan adalah meniru akhlak mulia Rasulullah SAW, dengan berpikir, berbuat, dan bertutur kata yang mencerminkan kelembutan dan ketulusan hati, serta keluhuran budi pekerti.
Juga dengan mencintai manusia, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, berlaku jujur, bukan sebaliknya, mencoreng dan menodai wajah sang Nabi dengan tindakan yang bertentangan dengan cita-cita Nabi, yaitu menyempurnakan akhlak yang mulia. Shallu ‘Alan Nabi.
Wallahu A’lam.