Mengenal Lebih Dekat Ustadz Gaes: Ustadznya Para Musisi

Mengenal Lebih Dekat Ustadz Gaes: Ustadznya Para Musisi

Mengenal Lebih Dekat Ustadz Gaes: Ustadznya Para Musisi
Komuji (Komunitas Musisi Mengaji)

Tadi malam saya mengikuti pengajian “Ustaz Gaes”, sebutan khusus untuk Ustadz Muhammad Ibnu Sahroji, di sebuah kafe di bilangan Jakarta Selatan.

Sahabat saya Ibnu ini mulai meniti karir “keustadzannya” lewat media sosial ( meski ia menolak ustaz sebagai sebuah profesi). Ceramah-ceramahnya banyak diunggah di media sosial, seperti Youtube, FB, juga nu.or.id, islami.co dan alif.id. Ia dijuluki “ustaz gaes” karena selalu saja menyapa audiensnya dengan “gaes” (guys).

Secara tidak langsung ia ingin menunjukkan bahwa target audiensya adalah muslim urban dari kalangan millenial. Konten-konten ceramahnya tidak terlalu berat, biasanya menanggapi sesuatu yang sedang trend di media sosial, dan disampaikan dalam bahasa anak muda.

Ustaz Ibnu ini bukan “muallaf” (muallaf dalam arti “baru masuk islam” atau muallaf “baru belajar islam”). Ia sempat kuliah jurusan teknik di Jogja kemudian mesantren di Lirboyo Kediri selama hampir dua puluh tahun. Jika ia membaca “kitab gundul” (buku Arab tanpa syakal/harakat), “takribnya” tak pernah keliru dan ia bisa menjelaskan artinya tanpa perlu membuka kamus. Jika ada orang membaca al-Quran didekatnya ia secara otomatis tahu arti dan maksudnya tanpa harus membuka terjemahan al-Quran atau mencarinya di internet. Sekarang ia sedang menyelesaikan program doktoral di UIN Jakarta.

Berdasarkan pengakuannya, ia tertarik merambah dunia maya karena ia prihatin menyaksikan ruang publik keberagamaan kita disesaki wacana-wacana keagamaan intoleran. Juga wajah keislaman islam politik. Ini bukan islam yang ia pelajari puluhan tahun di pesantren.

Dari ceramah-ceramahnya di media sosial ini rupanya membuat penasaran pemilik kafe Dombrut Kitchen untuk mengisi acara pengajian bertajuk “Musisi Mengaji” yang diadakan sebulan sekali ini. Pengajian diselipkan di sela-sela pertunjukan musik. Di samping mendapat makanan dan minuman gratis, pengunjung kafe juga mendapat hiburan dan siraman kajian keagamaan.

Saya sepenuhnya sepakat dengan konsep pengajian seperti ini. Agama bisa hadir di mana saja dan dalam suasana apa saja.

Para musisi itu tidak perlu diajak “hijrah” meninggalkan alat musik dan dunia mereka. Agama hadir bukan untuk membunuh kreatifitas dan tidak memusuhi kesenian. Fenomena “hijrah” yang digerakkan ustadz-ustadz karbitan mengakibatkan pendangkalan agama dan membunuh naluri kemanusiaan.

Saya tidak memungkiri dalam khazanah pesantren saya mendapati pendapat ala “Sullamun Taufiq” yang mengharamkan hampir seluruh alat musik, seni rupa, dan kegiatan berkesenian. Tapi saya juga dikenalkan pendapat al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin yang mengatakan bahwa musik dan nyanyian juga bisa mengantarkan menuju tangga spiritual paling tinggi.

Alat musik hanyalah “wasilah” (sarana/alat). Sebagai wasilah hukumnya tergantung pada ia digunakan untuk apa dan tujuannya kemana (ghayah/maqasid). Dalam kaidah fiqih dikatakan: “al-umur bimaqasidiha” atau “lil wasail hukmul maqasid”

Agama tidak pernah mengajak petani meninggalkan sawahnya untuk menjadi takmir masjid. Nabi Muhammad SAW pernah memarahi seorang sahabat yang sehari-harinya menghabiskan waktunya untuk beribadah shalat, setiap hari puasa, dan tak pernah tidur. “Matamu, perutmu, dan seluruh tubuhmu punya hak. Jangan sia-siakan hak-haknya hanya untuk menuruti egomu sendiri,” kata Nabi.

Tinggal bagaimana agama memberi masukan kepada para musisi agar menulis dan menyanyikan lagu-lagu yang bisa merubah realitas sosial yang timpang atau menggugah spiritualitas meski tanpa menyebut Tuhan atau ayat-ayat Quran (biarlah itu tugasnya Nisa Sabyan).

Jika agama ingin tetap eksis melampaui ruang dan waktu (salih likulli zaman wa makan), agama harus bisa mengawal dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Bukan melawan atau terbawa arus perubahan.

Menurutmu bagamana, Gaes?