Mengenal Epistemologi Tafsir Alquran

Mengenal Epistemologi Tafsir Alquran

Mengenal Epistemologi Tafsir Alquran

Meski hingga permulaan abad kedua Hijriah, sebagaimana dikatakan Ahmad Ash-Syirbashi kita menemukan kenyataan bahwa perkerjaan menafsirkan Al-Quran dipandang sebagai hal yang luar biasa dan menakutkan, dalam perkembangannya, tradisi penafsiran Al-Quran telah melahirkan sederetan teks yang tidak mudah untuk dikatakan secara pasti berapa jumlahnya. Sejak tafsir Ibn Abbas—Tanwirul Miqbas Min Tafsir Ibn Abbas—yang disusun oleh Fairuzabadi As-Syafi’I sampai paling tidak pada Tafsir Al-Misbah yang disusun oleh M. Quraish Shihab, bisa dikatakan bahwa salah satu produk ulama serta cendikiawan di bidang Alquran adalah terkonsentrasi pada tafsir Al-Quran.

Istilah epistemologi pada awalnya dikenal sebagai istilah yang akrab dengan dunia filsafat ketimbangan diskursus keilmuan tafsir Alquran. Epistemologi umunya diketahui sebagai cabang filsafat tentang pengetahuan. Oleh sebab itulah, istilah epistemologi kemudian merupakan bagian dari setidaknya studi tentang sumber (asal-usul), metode, dan validitas dari sebuah keilmuan. Singkat kata, istilah epistemologi tafsir Alquran dengan begitu berarti merupakan sebuah studi tentang sumber, metode, dan validitas tafsir Alquran.

Alquran yang turun empat abad silam, mulai ditafsirkan seiring dengan kebutuhan zaman. Pasca wafatnya Nabi, dunia tafsir Alquran berada di tangan para sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Ali, dan Ibn Abbas. Dalam catatan Inggrid Mattson misalnya, Abu Bakar disebut sebagai sahabat pertama yang menafsirkan Alquran. Nabi sendiri konon pada suatu ketika pernah mengatakan bahwa kelak Ibn Abbas akan tumbuh sebagai seorang yang fasih akan Alquran.

Dunia terus berjalan hingga usailah masa sahabat yang kemudian ditandai dengan tumbuhnya generasi tabi’in dan seterusnya. Sampai hari ini, dunia tafsir Alquran telah melahirkan ribuan teks turunan yang dapat digunakan sebagai rujukan. Umunya teks-teks tersebut merupakan perkatakan Nabi, sahabat, dan ulama-ulama yang bergelut dengan dunia tafsir Alquran seperti Al-Tabari, Al-Zamakahsyari, Al-Razi, serta masih banyak lagi.

Meski dunia tafsir Alquran menjadi persoalan seiring dengan perkembangan zaman, sampai detik ini bisa dikatakan tidak ada metode yang mutlak dibenarkan sebagai alat untuk memahami ayat-ayat Tuhan. Empat metode yang umumnya dikenal dalam tafsir Alquran sendiri adalah metode tahlili, ijmali, muqaran dan maudhui.

Metode tahlili atau analisis sebagaimana dikatakan M. Quraish Shihab berusaha untuk menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya, sesuai dengan pandangan, kecenderungan, dan keinginan mufasirnya yang dihidangkannya secara runtut sesuai dengan perurutan ayat-ayat dalam mushaf.

Sementara metode ijmali atau global, sesuai dengan namanya metode ini hanya menguraikan makna-makna umum yang dikandung oleh ayat yang ditafsirkan, namun sang penafsir diharapkan dapat menghidangkan makna-makna dalam bingkai suasana Qurani. Ia tidak perlu menyinggung asbab an-nuzul atau munasabah, apalagi makna-makna kosakata dan segi-segi keindahan bahasa Al-Quran.

Dua metode yang secara umum dikenal sebagaimana dikatakan di atas adalah metode muqaran dan madhu’I. Hidangan yang tersedia melalui metode muqaran adalah ayat-ayat Al-Quran yang berbeda redaksinya satu dengan yang lain, padahal sepintas terlihat bahwa ayat-ayat tersebut berbicara tentang persoalan yang sama, ayat yang berbeda kandungan informasinya dengan hadis Nabi Saw., serta perbedaan pendapat ulama menyangkut penafsiran ayat yang sama.

Sedangkan metode maudhu’I adalah suatu metode yang mengarahkan pandangan kepada satu tema tertentu, lalu mencari pandangan Al-Quran tentang tema tersebut dengan jalan menghimpun semua ayat yang membicarakannya, menganalisis, dan semua ayat yang bersifat umum dikaitkan dengan yang khusus, yang Mutlaq digandengkan dengan yang Muqayad, dan lain-lain, sambil memperkaya uraian dengan hadis-hadis yang berkaitan untuk kemudian disimpulkan dalam satu tulisan pandangan menyeluruh dan tuntas menyangkut tema yang dibahas itu. Baik tahlili, ijmali, muqaran, dan maudhui, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri.

Di mata para sarjana modern seperti Muhammad Syahrur  dan Fazlur Rahman mislanya, turats yang diwariskan para ulama dalam diskurus tafsir Alquran justru banyak dipertanyakan kembali. Tafsir Alquran semestinya mampu mengakomodir Alquran itu sendiri sebagai kitab yang shalih li kulli zaman wa makan bukan untuk kepentingan madzhab atau lainnya.

Sejalan dengan itu, validitas tafsir Alquran pun kemudian turut dipertanyakan. Sejauh mana sumber dan metode yang digunakan dapat dibenarkan sebagai tafsir atas firman-firman Tuhan. Fazlur Rahman misalnya, mengajukan ide tentang ‘ideal moral’ sebagai tugas utama yang dibebankan kepada mereka yang hendak menafsirkan Alquran.

Senada dengan Rahman, Abdullah Saeed, seorang sarjana asal Pakistan, juga menawarkan nilai-nilai hierarki Alquran sebagai batas dalam menafsirkan Alquran. Belakang, tren maqasidi pun mencuat ke permukaan dengan mengajukan lima prinsip universal dari syariah secara keseluruhan.

Secara sederhana, epistemologi tafsir Alquran memberikan sumbangsi yang tidak akan lapuk dimakan zaman. Ia akan terus berjalan seiring dengan tantangan-tantangan yang dihadapi mereka yang selalu berhadapan dengan teks Alquran sebagai kitab suci shalih li kulli zaman wa makan.