Langit mulai sore. Kendaraan yang saya tumpangi menerobos hutan. Ini adalah salah satu jalan untuk sampai di Vihara Buddha Jayanti. Suasana sekitar vihara sangat sepi, sunyi, dan senyap. Jeritan burung-burung dan decitan bambu-bambu berpadu. Saya dan teman-teman bertemu dengan seorang bapak yang sedang bersih-bersih lingkungan sekitar vihara seorang diri. Beliau langsung mempersilakan kami untuk minum. Segar sekali rasanya meneguk air putih setelah menempuh perjalanan yang lumayan melelahkan. Kami pun menyaksikan matahari terbenam di dekat patung Buddha yang dikelilingi dengan beragam tumbuhan rimbun.
Saya dan teman-teman lintas iman malam itu berkemah di Vihara Buddha Jayanti yang jauh dari pusat kota. Listrik pun belum ada di sana.
“Dulu, ketika ada biksu Thudong, sudah dialiri listrik, sekarang belum ada lagi”, kata Romo Wahyudi. Saya, teman-teman, dan Romo Wahyudi, tokoh agama Buddha saling bantu untuk menyalakan api unggun, membakar singkong, dan membuat mie. Malam itu kami mengobrol sambil memakan singkong dan menghangatkan diri dengan api unggun.
“Vihara Buddha Jayanti ini bisa disebut ‘vihara hutan’ atau ‘wana vihara’. Dulu, ketika didirikan dibantu oleh warga Buddha Pakintelan,” kisah Romo Wahyudi.
Terdapat beragam tumbuhan hijau yang mengelilingi sekitar vihara. Vihara ini tidak seperti vihara biasanya yang memiliki stupa dan berwana domunian kuning, melainkan berupa bangunan sederhana yang terbuat dari bahan kayu dan memiliki pendapa-pendapa. Bangunan vihara menyatu seperti menyatu dengan lingkungan.
Terletak di tengah hutan, vihara ini sangat pas untuk meditasi atau berlatih untuk mengenL napas dan sekitar. Meditasi tidak hanya untuk umat Buddha, melainkan bisa dilakukan oleh siapa saja. Rasanya sangat nyaman ketika meditasi di alam bebas mendengarkan gemericik air, suara dedaunan, suara angin, merasakan yang terjadi pada badan, mulai dari kepala, leher, bahu, dada, tangan, tulang punggung, pinggang, kaki, dan sebagainya. Saya dan teman-teman patut bersyukur atas ketenangan dan kenyamanan yang alam berikan.
Jika alam rusak, aktivitas spiritual seperti meditasi dan tadabbur alam pasti sangat sukar untuk dilakukan. Oleh karena itu, kita sebagai umat beragama dan berkeyakinan perlu bersama merawat alam untuk mendapatkan kenyamanan dari alam itu sendiri. Supaya alam ini bisa dinikmati oleh anak cucu kita nanti.
Kalau kata Mbak Gunati, tokoh masyarakat di Kendeng, “Alam bukan benda mati, ia perlu kita rawat bersama.”
Saya sangat setuju dan merasa perlu merenungkan lebih dalam lagi. Menjaga alam tidak bisa dilakukan sendiri, perlu kerja sama antar masyarakat, orang dewasa, komunitas, tokoh agama, tokoh masyarakat, pemerintah, dan sebagainya. Pembiasaan akrab dengan alam perlu dilatih sejak dini dengan mengenalkan anak-anak dan remaja terhadap aktivitas, seperti menanam.
Saya dan teman-teman Kristen, Katolik, Sapta Darma, Hindu, Buddha, Parmalim, dan lainnya menanam bersama di sekitar Vihara Buddha Jayanti keesokan harinya. Kami menanam pohon bodhi, kalimasada, mundu, pachira, saga, dan sala. Pohon-pohon yang dianggap suci oleh umat Buddha. Kami menanam pohon yang dekat dengan Buddha sebagai wujud toleransi dan karena tumbuhan-tumbuhan tersebut perlu dilestarikan.
Kami sangat menikmati acara menanam pohon. Mengambil bibit dengan mendaki, membawanya ke bawah, dan menanam di sekitar Vihara Buddha Jayanti. Terlihat senyuman dari kawan-kawan lintas iman, canda gurau, dan begitu akrab. Perbedaan tak lagi berarti, kami sama-sama punya niat untuk membantu alam tetap lestari dengan langkah kecil, seperti menanam pohon.
Romo Wahyudi sangat mendukung dan terbuka dengan kegiatan orang muda lintas iman untuk melestarikan alam. Beliau senang ketika kami berkumpul di vihara dan melakukan kegiatan positif sejak sekarang. Salut dengan beliau yang menyediakan kami cemilan-cemilan seperti singkong bakar dan rebus. Kami sangat suka dan ketagihan untuk memakan panganan lokal tersebut. Mengonsumsi makanan lokal baik untuk kesehatan dan mengurangi ketergantungan dengan salah satu bahan makanan pokok saja.
Setelah kegiatan menanam bersama, kami meditasi di dekat rupang Buddha. Kami mengamati napas selama 15 menit di ketinggian dibimbing oleh Romo Wahyudi, merasakan bagaimana angin, gemericik air, dan suara daun-daunan di sekitar. Beberapa dari kami baru sekali melakukan meditasi. Orang muda antusias dengan kegiatan meditasi lintas iman yang baru saja dilakukan. Alam yang terawat itu mendukung spiritualitas masyarakat, maka alam perlu terus ada agar kegiatan spiritual masyarakat bisa terus berlanjut.
Kolaborasi orang muda, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan komunitas punya peran penting untuk mengajak orang muda, dewasa, anak-anak untuk melakukan aktivitas yang mendukung pelestarian alam.
Aktivitas orang muda lintas iman untuk merawat lingkungan di Vihara Buddha Jayanti juga merupakan ruang untuk mengobrol, berdiskusi, dan bertemu dengan kelompok yang berbeda. Pertemuan-pertemuan seperti ini bisa mengurangi prasangka buruk terhadap kelompok yang berbeda. Pertemuan dan kegiatan yang melibatkan beragam agama, keyakinan, dan komunitas perlu lebih banyak diadakan di berbagai wilayah Indonesia dan lebih sering lagi dilakukan!
(AN)