Melalui artikelnya yang bertajuk, “NKRI bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?”, Denny JA menagih kerangka konseptual dari gagasan “NKRI Bersyariah” yang disuguhkan kelompok Islam politik di Indonesia. Misalnya, apa yang dimaksud dengan kata “syariah” dalam frase “NKRI Bersyariah?” Apakah syariah yang dimaksudkan mereka adalah syariah simbolik-partikular atau syariah substantif-universal?
Jika pertanyaan itu dilanjutkan secara operasional, maka apakah yang dimaksud dengan NKRI Bersyariah itu adalah model pelaksanaan syariah di Arab Saudi, Republik Islam Iran, rezim Taliban di Afganistan, ataukah model pelaksanaan syariah di Turki, Malaysia, Pakistan? Sederet pertanyaan itu tentu tak mudah dijawab. Sebab, mereka memang sedang mencari pola pelaksanaan syariah yang pas buat Indonesia.
Disebut pelaksanaan syariah yang pas buat Indonesia, sebab gagasan-gagasan serupa terkait pelaksanaan syariah sudah berkali-kali diajukan dan berkali-berkali juga ditampik publik Islam Indonesia. Misalnya, pernah disodorkan proposal “Piagam Jakarta,” tapi akhirnya mental juga. Begitu juga dengan gagasan “Negara Islam Indonesia” yang diajukan kelompok DI/TII. Alih-alih mendapatkan simpati publik cukup luas, kelompok DI/TII pun dinyatakan sebagai “bughat”, kelompok pembangkang terhadap pemerintahan dan negara yang sah.
Yang paling baru tentu saja kegagalan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam memperjuangkan khilafah di Indonesia. Bertahun-tahun mereka berupaya mempengaruhi wawasan politik umat Islam dengan ide khilafah, tapi di ujungnya Hizbut Tahrir ditekuk rezim Jokowi tanpa perlawanan berarti. Upaya hukum yang dilakukan untuk menyetop pembubaran HTI gagal total. Hakim pengadilan memutuskan bahwa pembubaran HTI adalah sah.
Fakta-fakta itu menunjukkan betapa tak efektifnya strategi dan taktik perjuangan kelompok Islam politik dalam memperjuangkan ideologi politik mereka. Namun, berkali-kali gagal tak menyebabkan mereka patah semangat. Kini mereka coba menempuh strategi dan taktik perjuangan baru, yaitu menitipkan gagasan “NKRI Bersyariah” pada pasangan capres-cawapres Prabowo-Sandi.
Pertanyaannya, apakah pasangan capres-cawapres yang dititipi ide “NKRI Bersyariah” itu akan memenangkan pertandingan atau justru berujung pada kebangkrutan? Kita tunggu saja hasil pemilu bulan April 2019.
Sekiranya pun Prabowo-Sandi menang dalam pemilu, saya tak yakin mereka akan melaksanakan gagasan “NKRI Bersyariah.” Mereka pasti gentar untuk menerapkannya. Bukan hanya karena mereka akan diturunkan dari tahta kekuasaan karena dianggap melanggar konstitusi, melainkan juga karena pasangan itu sama sekali tak mencerminkan sebagai aktivis Islam yang mengerti seluk beluk syari’at Islam.
Walau begitu, sekali lagi percayalah bahwa perjuangan Islam politik untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam tak akan pernah mati. Ia akan terus bermetamorfosa dan tersimpan rapi dalam memori kolektif kelompok Islam politik. Berbagai saluran dan pola gerakan akan ditempuh demi “NKRI Bersyariah” sekalipun sejarah membuktikan bahwa mereka berakhir dengan kesia-siaan.
Pertanyaannya, dari mana energi Islam politik mereka itu diperoleh?
Jawabannya, tak lain kecuali dari cita-cita dan ghirah ingin menerapkan syariat Islam secara kaffah. Dan bagi mereka, penerapan syariat Islam di Indonesia belum kaffah karena dasar negara dan konstitusinya tak disandarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah.
Tak sedikit dari kelompok Islam politik, misalnya, yang menolak Pancasila edisi revisi 18 Agustus 1945, karena mereka ingin menegakkan Pancasila 22 Juni 1945 yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Saat itu Piagam Jakarta memang disusun sebagai kompromi politik, terutama terhadap kelompok Islam politik. Ia dihasilkan oleh panitia kecil dalam BPUPKI yang diketuai Soekarno dan ditandatangani sembilan anggota utama, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, A.A Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moezakir, Agus Salim, Achmad Subardjo, KH Wahid Hasjim, dan Mohammad Yamin.
Dalam sidang-sidang panitia kecil ini sudah disepakati bahwa Pancasila adalah dasar negara. Hanya beda dengan susunan Pancasila yang dirumuskan para tokoh bangsa seperti Soekarno, Mohammad Yamin, Soepomo, dan lain-lain. Maka Pancasila 22 Juni 45 ini berhasil menambahkan anak kalimat: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada sila pertama Pancasila, Ketuhanan.
Bagi umat Islam yang mendukungnya, sebagaimana dikemukakan M. Syafii Maarif (1996: 110), anak kalimat itu sangat penting, sebab dengan itu tugas pelaksanaan syariat Islam secara konstitusional terbuka pada waktu yang akan datang. Namun, alih-alih bisa melaksanakan syariat Islam secara konstitusional, tepat satu hari setelah proklamasi kemerdekaan RI (18 Agustus 19455), anak kalimat “… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” disepakati untuk dihapuskan. Dan gantinya adalah, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dengan tambahan, “Yang Maha Esa” itu wakil-wakil Islam pada mulanya tak keberatan. Mungkin bagi mereka, tiga suku kata “‘Yang Maha Esa” sudah cukup untuk menggantikan tujuh kata yang dihapus itu. KH Wahid Hasjim –seperti dikutip Deliar Noer (1987: 41)– meyakini bahwa penambahan sifat monoteistik (Yang Maha Esa) dalam Pancasila itu merupakan cerminan atau sedikitnya sejalan dengan prinsip Tauhid dalam Islam.
Mohammad Hatta pun tak keberatan dengan revisi Pancasila itu. Bahkan, seperti dikutip Bahtiar Effendy (1998: 91), sebagai seorang muslim ortodoks sekaligus anak seorang ulama, reformulasi itu bisa dijadikan jalan Mohammad Hatta untuk meloloskan diri dari kewajiban mendukung negara Islam.
Akhirnya tercatat, sejak 18 Agustus 1945 sepintas bangsa Indonesia tampak bisa hidup tenang dengan Pancasila hasil revisi itu. Dengan bangga Menteri Agama RI Alamsyah Ratu Perwiranegara (1978) era Orde Baru menyatakan bahwa rumusan Pancasila 18 Agustus 1945 itu merupakan hadiah umat Islam kepada bangsa dan kemerdekaan Indonesia, demi menjaga persatuan Indonesia. Karena itu, demikian Alamsyah, loyalitas umat Islam kepada Pancasila tak perlu diragukan lagi.
Berbagai tuduhan yang dialamatkan kepada umat Islam sebagai anti-Pancasila adalah tidak benar. Sebab, tokoh-tokoh Islam adalah perumus dan penyokong utama Pancasila.
Namun, apa yang dikatakan Alamsyah itu tak sepenuhnya sesuai kenyataan. Masih ada api dalam sekam. Tak sedikit tokoh Islam yang berpendirian bahwa penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta sebagai cermin kekalahan umat Islam.
Lebih jauh Isa Anshary, sebagaimana dikutip Adnan Buyung Nasution (1992: 106), mengatakan bahwa peristiwa 18 Agustus 1945 itu sebagai “suatu penipuan yang dilakukan terhadap umat Islam.” Alih-alih meralat, sepuluh tahun kemudian Isa Anshary masih menggambarkan peristiwa itu “sebagai suatu permainan sulap yang masih diliputi kabut rahasia…. suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.”
Sudah menjadi takdir sejarah, perjuangan mengembalikan Piagam Jakarta terus mengalami regenerasi. Patah tumbuh hilang berganti. Kelompok yang merindukan kembalinya Piagam Jakarta tak berhasil dilumpuhkan hingga ke serat-serat terkecilnya. Belakangan para pengusung Piagam Jakarta berpandangan bahwa menghidupkan Piagam Jakarta adalah cita-cita politik yang paling masuk akal ketimbang cita-cita mendirikan khilafah, Pan-islamisme, dan lain-lain.
Jika dahulu tujuh kata dalam Piagam Jakarta terhapus karena pertimbangan politik, maka boleh saja dengan alasan pertimbangan politik pula Piagam Jakarta dikembalikan ke pangkuan ibu pertiwi. Namun, karena khawatir ada trauma politik masa lalu, beberapa kelompok yang mengusung pengembalian Piagam Jakarta bergerak dengan formula baru; tak lagi menggunakan istilah Piagam Jakarta melainkan NKRI Bersyariah.
Jika asumsi itu benar, maka NKRI Bersyariah itu sesungguhnya merupakan ide lama tapi dengan kemasan baru. Asumsi ini benar jika kita mendengarkan sejumlah ceramah Muhammad Rizieq Shihab yang menyatakan pentingnya kembali pada Piagam Jakarta dan betapa ruginya jika kita bertumpu pada Pancasila 1 Juni 1945 versi Bung Karno.
Terlepas dari itu, sekiranya kelompok yang hendak menghidupkan Piagam Jakarta itu berpikir lebih teliti dan realitis, mereka tak akan memandang penting kembali secara verbatim pada Piagam Jakarta. Sebab, sekalipun Piagam Jakarta tak dihidupkan secara harfiah, secara politik terlampau banyak produk perundang-undangan yang telah memberikan privilese kepada umat Islam. Ada UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Zakat, UU Wakaf, UU Haji, dan lain-lain. Pendeknya, dari lima rukun Islam yang ada hanya shalat dan puasa Ramadan saja yang tak atau belum dijadikan UU.
Namun, jika yang dimaksudkan dengan pelaksanaan syariat lebih dari itu; misalnya hendak menerapkan hudud di Indonesia, maka saya menduga keras bahwa gagasan NKRI Bersyariah itu akan layu sebelum berkembang. Dari empat puluhan negara Islam di dunia, mayoritas tak menerapkan hukum hudud secara kaffah. Indonesia adalah satu dari beberapa negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam tapi tak menerapkan hukum hudud itu.
NU dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar pun tak pernah mengajukan klausul agar Indonesia menerapkan hukum pidana Islam. Sebaliknya, jika yang dimaksud dengan syariat itu adalah syariat Islam universal seperti keadilan (al-‘adl), toleransi (al-tasamuh), kesetaraan (al-musawah), kemanusiaan (al-insaniyah), dan lain-lain, maka betapa banyaknya produk undang-undang yang telah mengadaptasikan nilai-nilai tersebut sejak dalam Undang-Undang Dasar hingga sederet undang-undang di bawahnya.
Syariat Islam universal itulah yang kini diperjuangkan ormas Islam seperti NU untuk bisa masuk ke dalam batang tubuh undang-undang. NU tak lagi memperjuangkan syariat partikular menjadi bagian dari undang-undang. Sejauh menyangkut syariah partikular, almarhum KH MA Sahal Mahfudz (rais am PBNU) pernah berkata bahwa fikih Islam cukup menjadi etika sosial saja, dan tak perlu menjadi hukum positif negara.
Singkatnya, NU bukan hanya move on dari Piagam Jakarta, melainkan juga menarik diri dari perjuangan formalisasi syariat (partikular) Islam. Karena itu jangan kaget ketika kita menjumpai tokoh-tokoh NU, baik di pusat maupun di daerah, tidak antusias memperjuangkan formalisasi syariat Islam, persisnya formalisasi fikih Islam.
Bahkan, KH Abdurrahman Wahid adalah salah satu tokoh NU yang paling lantang menyatakan penolakannya terhadap gerakan formalisasi syariat Islam. Bagi Gus Dur, produk undang-undang tak boleh bersifat sektarian-primordial. Sebuah undang-undang, apalagi undang-undang dasar, meminjam bahasa Denny JA, haruslah ikut menciptakan terwujudnya ruang publik yang manusiawi.
Ke sanalah kiranya gerakan NKRI Bersyariah itu diarahkan.