Mungkin hati ini kelewat keras, demi mendengar ceramah ustaz Sugi Nur saya justru cenderung menggugatnya selama ini. Tapi, masyaAllah, abakadabra, baru-baru ini ustaz Sugi angkat bicara tentang amuk massa di India yang menumbangkan sejumlah saudara-saudara umat Muslim di sana.
Ini tentu saja kabar baik, bil khusus bagi minhum yang merasa paling benar. Lha gimana, di saat para pakar, media terpercaya, dan publik lainnya menganggap bahwa konflik yang terjadi itu adalah gara-gara Parlemen India menerbitkan RUU Kewarganegaraan (Amandemen), Sugi malah berpikir sebaliknya.
Pokoknya, persetan dengan RUU tersebut yang, konon, dinilai akan mendiskriminasi umat Muslim. Persetan pula UU yang, besar kemungkinan, akan memberikan status kewarganegaraan India kepada para imigran dari tiga negara tetangga (Pakistan, Afghanistan, Bangladesh), kecuali jika mereka adalah Muslim.
UU Kewarganegaraan sendiri, dengan demikian, adalah bagian dari agenda supremasi Hindu di bawah pemerintahan Perdana Mentri Narendra Modi yang berkuasa sejak hampir 6 tahun lalu. Tapi, sekali lagi, yang begini ini tidaklah penting bagi seorang Sugi. Lagian, ngapain pusing-pusing mikirin regulasi, kalau menyulut emosi umat dianggap pantas.
“Chaos is a ladder”, begitu kata Lord Petyr Baelish dalam Game of Thrones.
Menurut Sugi, pembunuhan kepada saudara-saudara Muslim kita di India itu karena sedikitnya dua sebab: Pertama, setelah kedatangan Donald Trump; dan kedua, perbedan prinsip dasar fikih. ((((Perbedaan prinsip dasar fikih))))
Pada yang pertama itu mungkin masih sedikit masuk akal. Sebabnya, Trump adalah sebuah simbol. Ya, dialah simbol adidaya sentimen mayoritas, sentimen pribumi tidak pribumi, dan sentimen sumbu-sumbu pendek lainnya.
Maka, wajar saja jika protes atas RUU tersebut dilandaskan pada anggapan ke-tidak-konstitusional-an karena mendasarkan kewarganegaraan pada agama seseorang, dan akan semakin meminggirkan 200 juta komunitas Muslim di India. Kendati sebetulnya ini juga tidak ada hubungannya secara langsung dengan kedatangan Trump.
Sedangkan pada yang kedua, Sugi meyakini kalau konflik di India itu dipicu oleh perbedaan tafsir soal status Sapi. Sapi, bagi umat Hindu, adalah lambang kesucian, dan oleh karena itu akan dimuliakan sedemikian rupa. Sebaliknya, bagi keyakinan umat Muslim, sapi adalah binatang biasa saja. Bahkan, sapi tergolong hewan qurban yang dianjurkan.
Nah, Sugi mengklaim kalau tajamnya perbedaan prinsipil ini mengakibatkan pecahnya konflik berdarah yang semakin merugikan umat Muslim—selain terbitnya RUU Kewarganegaraan tentu saja.
Maka, “pesan saya untuk sodara Hindu yang ada di Indonesia, bijaklah kalian menyikapi. Jangan bertingkah yang aneh-aneh dalam kondisi seperti ini. Kalau sudah saudaranya yang dihina, yang dibunuh, itu orang Islam rindu mati, bukan takut mati, malah rindu mati!!,” begitu kata Sugi yang saya transkip secara verbatim.
Dan, Sugi melanjutkan, untuk non-muslim yang ada di Indonesia, bijaklah!! Ndausah sok bertingkah ya.
“Lu jual, gue borong nantinya. Jangan sampai di Indonesia terjadi kisruh macem-macem. Jangan mancing-mancing masalah di sini, ya. Kalian hidup aman di Indonesia. Siapapun kalian, mau Hindu, mau Kristen, mau Konghucu, minoritas Anda di sini, Anda aman”, tegas dia lebih jauh.
Bayangkan!! Seorang Sugi Nur mengingatkan kita agar jangan sampai Indonesia terjadi kisruh macam-macam. Sayangnya, menjadi sangat kontras ketika himbauan anti-kisruh itu justru diikuti oleh sentimen mayoritas-minoritas. Ini menunjukkan bahwa dia sebetulnya tipikal sapiens yang ikut melindungi saja tidak, tapi mengumandangkan status keamanan bagi kelompok yang menurutnya minoritas.
Di titik ini, haqqul yaqin kalau Bung Karno masih hidup hari ini dan mendapati apa yang disampaikan oleh Sugi, saya berkepastian Sugi bakal kena damprat. Lha gimana, Bung Karno itu telah berpayah-payah untuk menyatukan segala kekuatan yang ada je, tidak peduli apa agama, ideologi, dan suku Anda. Lalu ketika itu telah terwujud, sekarang ada pihak yang justru berupaya mencabik-cabik persatuan tersebut, bagaimana perasaan Anda, coba?
Astaghfirullah. Kenapa saya jadi berbalik menggugat Sugi ya. Baiklah, izinkan saya untuk kembali mengapresiasi pernyataannya.
Bagi Sugi, minoritas di Indonesia adalah kelewat aman. Hop!! Ini benar sekali. Soalnya, yang ditindas dan dizalimi itu adalah umat Muslim.
Ya, umat Muslim yang mayoritas, yang sebegitu bebas menggelar pawai khilafah atau aksi turun jalan apapun, dan yang akan protes jika gubernurnya non-Muslim itulah yang (seolah-olah) sedang mengalami penindasan.
Saya Islam, and please #NotInMyName #TidakAtasNamaSaya https://t.co/YK9goD0xYN
— Kalis Mardiasih (@mardiasih) March 4, 2020
Jadi, mohon jangan sekali-kali antum berpikir kalau penutupan, perusakan, dan perlakuan sewenang-wenang atas rumah ibadah non-muslim adalah sebuah bentuk intimidasi atau persekusi dari umat Islam. Lha gimana, mana sempat mereka menindas orang lain, sementara dirinya sendiri sedang dizalimi?
Dengan kata lain, kalaupun terjadi, bisa dipastikan bahwa yang melakukan perusakan rumah ibadah itu sedang alpa dari ajaran al-Qur’an, dan karenanya layak dipertanyakan kadar keimanannya. Plus, mereka itulah sebenar-benarnya definisi minoritas yang seperti kata Sugi, jangan mancing-mancing masalah di sini, ya. Kalian hidup aman di Indonesia!!
Sebab, iman macam apa yang justru mengejawantah pada aksi kekerasan, egoisme menang-menangan, atau segudang laku bar-bar lainnya?
Sugi, dengan demikian, telah benar adanya: bahwa umat non-Muslim di Indonesia bakalan aman. Pasalnya, alih-alih mengajak baku-hantam, lha wong merusak tempat ibadah orang lain itu setara dengan menyombong di depan Allah.
Ini selaras dengan petuah surat al-Hajj [22] ayat 39-40 yang bilang: kalau bukan lantaran Allah menolak keganasan manusia, tidak saja gereja-gereja dan sinagog-sinagog, tetapi juga masjid-masjid pastilah sudah dirubuhkan di tengah kecamuk perang.
Artinya, di tengah kecamuk perang saja, tempat ibadah orang lain pun haram hukumnya untuk dirusak, apalagi dalam situasi damai. Catat baik-baik, atau kalau tidak percaya Anda bisa periksa sendiri di al-Qur’an, bahwa masjid (dalam ayat tersebut) pencantumannya ditetapkan oleh Allah setelah gereja dan sinagog.
Coba, adakah pendiri agama lain yang memberikan ajaran adiluhung setamsil itu? Atau, adakah dalam kitab suci agama-agama lain, sebuah ajaran saja yang memerintahkan para pengikutnya agar supaya mengorbankan nyawa untuk memelihara tempat sembahyang agama lain?