Telepon berdering. Sebuah pesan masuk. Saya membukanya. Sebuah teks segera menyembul di layar ponsel. Sebuah pesan dari seorang kawan. Bunyi pesannya seperti ini: apakah politik harus dipisahkan dari agama?
Saya menutup pesan itu. Saya tidak langsung mengirimkan jawaban. Saya harus putuskan untuk terlebih dahulu memelajari arah, maksud, dan juga corak pertanyaan itu. Bukan apa-apa, sebab beberapa kali saya terjebak pertanyaan-pertanyaan yang sesungguhnya bukan ditujukan dan dimaksudkan untuk beroleh jawaban, namun lebih kepada semacam tes pandangan dan sikap semata.
Biasanya, jika jawaban yang saya kasih itu sama dan cocok dengan keinginan penanya, maka ia hanya akan membalas dengan sutas senyum berwujud emoticon. Sebaliknya jika jawaban yang saya lemparkan berbeda dengan pendapatnya maka arsenal-arsenal pertanyaannya membombardir saya. Perang argumentasi pun tak bisa dihindari sampai kemudian kita sama-sama bersepakat untuk melakukan gencatan senjata dan mengakhiri peperangan.
“Berdebat itu capek,” kata seorang teman. Saya setuju. Rasa capek, Anda tahu, adalah sejenis penyakit yang bisa begitu saja ditimbulkan oleh setidaknya dua hal. Pertama fisik. Kedua psikis atau pikiran.
Orang bisa saja seharian melongo di depan komputer di tengah tumpukan tugas dan beban kerjaan yang semakin bejibun. Tak ada yang ia perbuat selain membayangkan betapa tugasnya sangat berat, semakin berat, seolah tiada yang lebih berat. Membayangkan pekerjaan dan tugasnya yang rumitnya masyaAllah itu saja sudah capek, apalagi benar-benar mengerjakannya. Dari sanalah ada sebuah kesimpulan yang menyatakan bahwa orang-orang yang sibuk dalam pikiran itu juga memiliki potensi capek yang sangat tinggi, sama tingginya dengan potensi capek yang dialami oleh pekerja bangunan misalnya.
Kembali ke pesan pendek dia atas. Setelah saya renungkan, saya menemukan jawaban yang tentu saja saya kirimkan dengan penuh rasa kehatia-hatian. “Tidak,” demikian jawaban yang saya kirimkan. Tidak perlu menunggu waktu lama. Sekejap kemudian kawan saya itu mengirimkan balasan “Lho, kok bisa? Kegaduhan Negara kita akhir-akhir ini kan disebabkan karena politik dicampuradukkan dengan agama,” tulisnya.
Saya putuskan tidak menjawab gugatan itu. Saya hanya membalasanya dengan ingatan saja. Saya membayangkan betapa ngerinya jika benar politik itu dijauhkan dari agama. Al-Ghazali, sufi, mistikus, sekaligus pemikir besar pernah bilang dalam opusnya Ihya Ulumuddin “agama dan kekuasaan adalah sudara kembar. Agama adalah pondasi, sedangkan penguasa adalah penjaganya. Dan apa-apa yang tidak ada pondasinya maka ia akan runtuh. Demikian juga apa-apa yang tidak memiliki penjaga maka dia akan lenyap.”
Pangkal soal dari kegaduhan politik akhir-akhir ini saya pikir bukan pada campuraduknya agama dengan urusan politik. Sama sekali bukan. Saya memandang justru kedangkalan pemahaman dan keringnya penghayatan pemeluk agamalah yang menyebabkan kita menjadi gaduh, rewel, cerewet , dan cenderung anti perbedaan.
Jika benar demikian pangkal soanya, tentu saja pertanyaan kawan di atas yang saya yakin diilhami dari pernyataan Presiden Jokowi di Barus, Tapanuli Tengah beberapa waktu lalu itu kurang tepat. Sebab urusan politik itu tentu saja akan beres jika pemeluk agamanya beres dengan urusan dirinya sendiri dahulu.
Agama itu religi, lalu kita akan kelimpungan jika ditanya, di bagian mana pada kehidupan itu yang tidak berdimensi religi? Semuanya. Semuanya mengandung aspek religiositas. Tinggal bagaimana kita menyikapi, mengambil pelajaran, dan terus belajar. Untuk sebuah peristiwa yang dianggap jorok dan tabu dibicarakan di depan khlayak misalnya berak, apakah berak religious ataukah tidak?
Bagi kita yang cerdas dan mendayagunakan akal dengan jernih maka akan mendapatkan jawaban dan kesimpulan bahwa berak adaah peristiwa religius. Sebab dengan menghayati keutuhan peristiwa berak mulai mekanisme sampai proses pengelolaannya, kita akan memiliki kesempatan dan potensi untuk menjadikannya sebagai bahan bakar dan pelajaran agar kita menjadi lebih dekat dan ingat kepada kekuasaan Tuhan.
Sebaliknya, bagi orang-orang yang cekak dan cupet cara berpikirnya, ia pasti akan mengatakan bahwa peristiwa berak itu tidak boleh dihubungkan dengan kebesaran Tuhan. Sebab Tuhan tidak boleh dihubungkan dengan peristiwa-peritiwan yang jorok. Itu perbuatan yang merendahkan Tuhan. Menistakan dan menurunkan derajat kemuliaan Tuhan.
Kepada mereka, ingin sekali saya katakan bahwa hidup itu bukan soal apa yang kita hadapi dan berada di depan mata kita. Hidup itu soal bagaimana cara kita memandang dan menghadapi perkakas dan persoalan yang ada di depan hidung kita. Hidup bukan soal apa, tapi soal bagaimana. Kalau kita hanya berkonsetrasi kepada apa, maka selamanya tinja itu tetaplah tinja. Namun sebaliknya jika kita berpikiran bagaimana, maka tinja itu dimensinya menjadi luas. Tergantung kreativitas cara berpikir kita.
Orang Indonesia, berdasarkan penelitian terbaru, katanya tingkat religiositasnya tinggi. 98% bilang bawah agama penting. Oleh sebuah penelitian, Indonseia masuk menjadi jajaran Negara dengan tingkat religiositas penduduk yang jempolan. Saya agak ragu dan menaruh rasa curiga kepada penelitian itu.
Kadar religiositas itu ukurannya bukan pada ucapan, tapi pada tindakan. Kita kerap keliru mengukur religiositas dari input bukan dari output. Misalnya kita gegabah menyimpulakn orang itu alim dan religius sebab saban hari pergi ke masjid, jamaahnya tidak pernah telat, jidatnya hitam karena saking seringnya sujud. Padahal puncak serta produk (output) dari shalat adalah tercegahnya dari perbuatan nahi dan munkar. Alat ukur yang keliru, tentu saja menyebabkan kesimpulan yang keliru. Kesimpulan yang keliru akan menyebabkan virus pemahaman yang keliru.
“Rata-rata kita, orang yang mendaku beragama, baru bisa membaca syahadat. Sebagai pemeluk agama, kita belum pernah benar-benar bersyahadat bahwa Tuhan itu ada dan Muhammad itu utusannya yang harus kita teladani,” kata seorang bijak.
Membaca syahadat dengan bersyahadat adalah dua hal yang berbeda. Kalau orang sudah benar-benar bersyahadat maka ia akan religius dan agamis. Kalau orang sudah agamis maka ia akan memiliki rambu-rambu dalam dirinya yang berfungsi untuk memberi petunjuk mana perbuatan yang baik dan mana yang patut ditinggalkan.
Agama dalam konteks seperti ini tidak boleh dipisahkan dengan politik. Entah dan beda lagi misalnya jika yang dimaksudkan adalah agama sebagai institusi atau industri, barangkali keduanya harus bukan saja dipisahkan dari politik dan kekusaan, tapi mungkin juga harus enyah dari muka bumi ini.