Peradaban Islam di Arab pernah mencapai pengakuan yang luas dalam sejarah. Setelah mangkatnya Nabi Muhammad Saw, para pengikut beliau meneruskan spirit pembaruan yang ditawarkan oleh Islam. Mulai dari pengumpulan mushaf Al-Quran, lalu kodifikasi hadis Nabi, berlanjut pada usaha menggali hukum dari teks-teks syariat, sampai pada masa Dinasti Abbasiyah, bangsa Arab – yang juga berkaitan erat dengan Islam – menjadi rujukan dalam banyak bidang ilmu, baik fikih, teologi maupun sains.
Bagaimana kita mengetahui kejayaan peradaban ini? Salah satu hal yang mudah kita lacak adalah karya monumental para ulama terdahulu yang saat ini bisa kita akses.
Kita mengenal kitab-kitab hukum Islam yang disusun Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam asy-Syafii, kemudian seperti Imam al-Ghazali dan al-Qusyairi dalam bidang tasawuf, serta para “anak intelektual”-nya yang juga tak kalah produktif.
Tak lupa juga Imam As Suyuthi yang karyanya konon sampai sekian ratus jumlahnya, dan karya bidang sains seperti yang disusun Ibnu Sina, Al Biruni, Ibnu Rusyd, Jabir bin Hayyan, dan masih banyak lainnya.
Imam Jalaluddin as-Suyuthi, dalam biografinya disebutkan menulis sampai 600 karya lebih. Karyanya melintas dari bidang ilmu tafsir, hadis, fikih, tata bahasa Arab, sampai etika dan akhlak – dengan tingkatan seorang pakar. Semisal juga Imam an-Nawawi, dalam usianya yang hanya sampai berkepala empat menyusun sekian ratus karya monumental yang banyak dikaji seperti al-Adzkar, Arbain Nawawiyah, Riyadlus Shalihin, Taqrib an-Nawawi, dan banyak lagi – dan Anda tahu, beliau membujang demi ilmu.
Tentu tidak terbayang bagaimana para ulama di zaman dahulu bisa sangat produktif dengan banyak karya, dengan segala keterbatasan teknologi yang ada. Jelas semua karya itu ditulis dengan pena. Dan jika salah saat menulis dengan tangan, pasti sangat repot. Tidak seperti komputer sekarang, yang jika salah ada fungsi ‘backspace’ atau ‘delete’.
Nah, terkait produktifitas ulama yang luar biasa itu ada beberapa hal yang bisa kita catat. Mengapa ulama terdahulu giat berkarya? Berikut beberapa uraiannya:
Pertama, ulama terdahulu sedari dini sudah diajarkan memanfaatkan ragam bahasa tulis. Karya Imam as-Suyuthi yang pertama dan sampai kepada kita, berjudul Syarhul Isti’adzah wal Basmalah, ditulis saat berusia 8 tahun. Bukan main.
Pada masa-masa selanjutnya, pengetahuan menulis ini menunjukkan bahwa mengenalkan ragam bahasa tulis sedari dini itu penting untuk memuluskan jalan menuju produktifitas dan intelektualitas di masa mendatang. Sedari dini seorang anak hendaknya mulai diajarkan untuk mengungkapkan hal-hal yang dirasakan dan diketahuinya lewat tulisan.
Kedua adalah bekal ilmu dan pengetahuan. Mengapa dibedakan antara ilmu dan pengetahuan? Setidak-tidaknya, pengetahuan saja tidak cukup. Kultur Arab terdahulu yang mengunggulkan tradisi lisan dan hafalan, bersinggungan dengan budaya teks. Seseorang bisa saja sangat banyak hafal teks, naskah, syair, maupun dhawuh ulama yang pernah didengarnya. Namun jika pengetahuan itu tidak ditulis dengan tuntunan ilmu, maka pengetahuan itu akan sangat sulit disusun menjadi karya yang baik dan koheren. Karya bisa menjadi sangat gemuk tapi tidak mantap.
Contoh ulasan seperti ini, tanpa mengurangi rasa hormat, seorang Imam Fakhrudin ar-Razi penyusun tafsir Mafatihul Ghaib, disebutkan oleh banyak ahli tafsir klasik karena saking luasnya pembahasan di dalamnya, tafsir al-Quran yang dimaksud Imam Ar Razi tidak terbahas. Toh mereka yang berkomentar sudah menelaahnya dengan subjektifitas masing-masing. Jadi, jika belum tahu betul duduk persoalan pendapat yang ada, jangan keburu berkomentar dahulu – apalagi apriori terhadap sebuah karya.
Selain itu, bekal ilmu ini juga harus bisa dipertanggungjawabkan. Para ulama klasik sangat memerhatikan rujukan atau sanad, sehingga argumen penting dari para pendahulu menjadi dasar untuk menyusun argumen tersendiri, baik dengan membandingkan dan sintesa antar argumen, atau memberikan catatan kritis tentang pendapat sebelumnya.
Ketiga, membiarkan karya ditanggapi oleh orang lain. Karya-karya yang dikenal di kalangan ulama, kerap diberi komentar. Tidak jarang komentar ini berupa cibiran, cacian, tapi tidak sedikit juga yang memberikan kritik positif. Para alim yang sudah menyusun karya itu, memberi ruang kosong untuk didiskusikan oleh para murid, pengikut, atau pengkaji lainnya, tak terbatas pada ilmu tertentu. Sebagai contoh kita kenal budaya syarah dan hasyiyah.
Syarah adalah memberi komentar atau keterangan tentang suatu matan kitab, dan hasyiyah adalah komentar dari syarah. Fathul Qarib al Mujib dalam bidang fikih adalah komentar dari kitab Matan Taqrib karya Syekh Abu Syuja’.
Begitupun Matan Al Ajurumiyyah dalam bidang nahwu disyarahi oleh Syekh Ahmad Zaini Dahlan dari Makkah lewat kitab Mukhtashar Jiddan. Belum lagi kitab-kitab babon dalam bidang fikih, hadis, dan lainnya. Tidak jarang dalam syarah itu sang penulis mengajukan kritik, atau saran, serta penjelasan yang melengkapi dari aspek lain.
Hal yang keempat adalah adanya dukungan dari orang terdekat maupun pengampu kebijakan. Hal ini bisa mulai dari pemerintah, atau dalam taraf kecil, keluarga, guru kelas, ataupun pengasuh pesantren. Khalifah Harun ar-Rasyid, dilanjutkan oleh putranya al-Ma’mun, mengelola Baitul Hikmah sebagai satu pusat kegiatan literasi Dinasti Abbasiyah. Keran referensi pun dibuka dari daerah India, Yunani, Cina, dan sebagainya.
Selain itu, banyak kisah-kisah ulama yang terinspirasi dari orang tuanya, atau guru-gurunya. Para orang tua dan guru ini pun jika dirasa sudah cukup “mencurahkan ilmu”, rela merekomendasikan guru atau bacaan lain yang dianggap bisa dan pantas diakses sang murid.
Tidak ada gengsi karena kalah pakar dengan ulama lain, tiada gengsi karena tak tahu. Keterbukaan terhadap diri sendiri bisa menjadi sumbangsih penting untuk sang anak didik dalam pengembaraan intelektual dan produktifitasnya.
Kemudian yang kelima, dan agaknya cukup penting, adalah memberikan kesadaran tentang tujuan menulis. Penulis secara pribadi meyakini bahwa perbuatan akan muncul karena suatu tujuan. Manusia digerakkan oleh tujuan, sebagaimana dikatakan sekian pakar.
Mulai tujuan agung seperti tulus karena Allah Ta’ala, menyebarkan ilmu, atau mengubah keadaan masyarakat. Malah bisa juga dengan tujuan kompetisi, mencari pengakuan, mencari uang, atau untuk memancing kekaguman dari orang yang dicintai.
Anda tahu, kitab syair Alfiyyah Ibnu Malik yang banyak dibaca oleh kalangan pesantren itu adalah usaha kompetisi Syekh Muhammad bin Malik terhadap gurunya, Syekh Ibnu Mu’thi, yang sebelumnya menyusun syair dalam bidang serupa.
Tapi tentu saja tujuan terbaik adalah ikhlas. Sebagaimana dicontohkan oleh KH. Bisri Mustofa dari Rembang, yang menyebutkan bahwa beliau mampu produktif karena mengawali niat menulis dengan ingin mendapat honor, tapi setelah terbit, barulah sikap ikhlas dipupuk.
Tentu masih banyak catatan yang bisa kita ambil dari sejarah. Dengan memahami sejarah yang lalu, kita bisa mengambil hikmah. Masa lalu selalu aktual untuk masa kini.