Mengapa Ulama Berbeda Pendapat tentang Hukum Musik?

Mengapa Ulama Berbeda Pendapat tentang Hukum Musik?

Ada ulama yang mengharam musik dan ada ulama yang membolehkan. Kok bisa hukum musik itu berbeda-beda?

Mengapa Ulama Berbeda Pendapat tentang Hukum Musik?
Gisele Marie, seorang musikus asal Brasil, menjadi salah satu simbol hijab mental. Hijaber juga sering dapat rasisme Source: Al Arabiya News

Dalam khazanah fikih klasik maupun kontemporer, musik adalah salah satu tema yang hukumnya diperdebatkan dengan cukup sengit oleh para ulama. Namun karena mereka memiliki dalil dan argumen yang sama-sama kuat dan tidak ada di antara keduanya yang syadz (janggal), maka perdebatan sengit ini termasuk perdebatan yang wajar dan seyogianya dipandang baik. Karena itu membahas hukum musik secara proporsional dari perspektif tiap ulama sangat penting demi mengetahui argumen masing-masing ulama dan dengan demikian menghindarkan kita dari sikap fanatik dan memaksakan hukum.

Pendapat Pertama: Musik Haram

Sebagian ulama memandang bahwa hukum musik (kecuali rebana [al-duff]) adalah haram atau setidaknya makruh, dan dalil paling kuatnya adalah hadis sahih riwayat Bukhari bahwa Nabi bersabda: “Sungguh akan ada sekelompok umatku yang akan menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik”. Hadis ini diriwayatkan juga oleh Abu Dawud, Ibn Majah, al-Nasa’i, dan Ahmad, namun redaksinya hanya tentang pengharaman khamr tanpa menyebutkan pengharaman musik.

Mereka memandang bahwa hadis riwayat Bukhari di atas merupakan maklumat yang jelas tentang haramnya musik. Saya melihat bahwa kebanyakan ulama dari kelompok ini adalah mereka yang beraliran salafi, hal ini dapat dilihat dengan jelas misalnya dalam kitab Tahrim Alat al-Tharab karya al-Albani dan di Majmu’ Fatawa karya Ibn Baz. Adapun kebanyakan ulama klasik dan tradisional menghukumi musik makruh (seperti para komentator hadis semacam Ibn Hajar al-‘Asqallani dalam Fath al-Bari, al-Nawawi dalam al-Minhaj, al-Mubarakfuri dalam Tuhfah al-Ahwadzi, dan lain-lain).

Pendapat Kedua: Musik Boleh

Sebagian ulama lain memandang bahwa hukum musik (baik rebana maupun selainnya) adalah boleh secara mutlak, kecuali musik yang memang digunakan untuk melakukan perbuatan haram atau musik yang sampai melalaikan. Pendapat ini ternyata dianut oleh banyak ulama, seperti Ibn Hazm al-Andalusi dalam al-Muhalla bi al-Atsar, al-Idfuwi dalam al-Imta’ fi Ahkam al-Sama’, al-Syaukani dalam Ibthal Da’wa al-Ijma’ fi Muthlaq al-Sama’, dan yang paling penting disebut di sini: al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din.

Dalilnya adalah hadis-hadis sahih yang jumlahnya sangat banyak (riwayat Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa’i) tentang bolehnya memainkan dan mendengarkan rebana, salah satu redaksinya adalah -dalam riwayat Tirmidzi- “Seorang perempuan kecil berkata kepada Nabi ‘aku bernazar akan memainkan rebana dan bernyanyi di depanmu ketika pulang berperang'” dan Nabi pun membolehkannya.

Apa yang membuat dua kelompok ini berbeda soal hukum musik?

Perbedaan pendapat kedua kelompok di atas terletak pada perbedaan metode yang digunakan dalam merekonsiliasi dua hadis yang bertolak belakang di atas (hadis keharaman musik dan hadis kebolehan rebana [dan rebana tentu saja adalah bagian dari alat musik]).

Kelompok pertama memandang bahwa hadis pertama (tentang keharaman musik) adalah hukum asal dalam perkara ini. Dalam ilmu Ushul Fiqh dan ilmu Mukhtalif al-Hadis, mereka menggunakan metode penggabungan-pengkhususan (al-jam’ bi al-takhshish) yang berarti: hadis pertama adalah hukum asal musik yang sifatnya umum (karena redaksi hadisnya menggunakan kata umum dan majemuk yaitu alat-alat musik [al-ma’azif]), sedangkan hadis kedua adalah pengecualian yang sifatnya khusus (karena hanya menyebutkan salah satu jenis alat musik saja yaitu rebana); sehingga kesimpulannya: hukum semua jenis musik adalah haram, kecuali rebana.

Sedangkan kelompok kedua menggunakan metode penggabungan sudut pandang (al-jam’ bi ikhtilaf al-ahwal) yang berarti bahwa kedua hadis di atas memiliki konteks pengucapannya sendiri, sehingga setiap hadis harus dilihat dari motif kenapa Nabi memberikan hukum demikian, dan dalam hal ini mereka berkesimpulan: hadis pertama hanya berlaku dalam kondisi tertentu saja (yaitu jika musik digunakan bersamaan dengan minum khamr [dan ini adalah adat kebiasaan orang Arab Jahiliyah dahulu]).

Ibn Majah meriwayatkan hadis yang menguatkan pandangan ini, yaitu “akan ada sekelompok umatku yang meminum khamr dan menamakannya dengan namanya, mereka dihibur dengan musik dan suara biduan wanita.” Hadis ini menjelaskan bahwa keharaman musik disebabkan karena ia digunakan bersamaan dengan meminum khamr, karena itu ia tidak bisa dihukumi haram secara mutlak, dan hukum yang boleh dianggap mutlak -dalam pandangan mereka- adalah hadis kebolehan memainkan rebana.

Selain melalui hadis-hadis di atas, kelompok kedua juga menggunakan dalil logika: bahwa Islam tidak mungkin melarang hal-hal yang merupakan fitrah manusia seperti menyukai seni dan keindahan (argumen ini dapat dilihat misalnya dalam fatwa Syaikh al-Azhar Mahmud Syaltut dan dalam kitab al-Ghina’ wa al-Musiqakarya pemikir al-Azhar Muhammad ‘Imarah). Karena itu secara analisis sumber hukum maka kelompok kedua memang memiliki landasan yang jelas terkait pembolehan musik, dan oleh karenanya tidak bisa dikatakan bahwa pendapat ini keliru.

Hal yang paling penting dan disepakati oleh semua ulama dalam perkara musik ini adalah: jika musik digunakan bersamaan dengan perbuatan haram (seperti meminum khamr sebagaimana dalam hadis riwayat Ibn Majah yang disebutkan sebelumnya) dan jika ia didengarkan terlalu sering sehingga melalaikan, maka hukumnya jelas haram. Namun jika ia didengarkan dengan sewajarnya atau jika dipandang sebagai sebuah seni yang indah maka di sini ulama berbeda pendapat sebagaimana dijelaskan di atas, sebagian mereka mengharamkan kecuali rebana, sebagain lainnya memakruhkan, dan sebagian yang lain membolehkannya secara mutlak.

Alhasil, karena tiap ulama memiliki dalil dan argumen yang sama-sama kuat dalam hukum musik ini, maka cara paling bijak dalam menyikapi perbedaan pendapat ini -terutama bagi orang awam- adalah dengan menganggap pendapat-pendapat tersebut sama-sama benar dan boleh dianut (hal ini dalam fikih sangat wajar, ia biasanya disebut dengan istilah ikhtilaf tanawwu’). Karena ia sama-sama benar, maka tidaklah diperkenankan bagi tiap orang yang menganut pendapat tertentu untuk menganggap diri paling benar dan memaksakan pendapatnya kepada orang lain.

Wallahu a’lam.