Mengapa Riba Diharamkan? Ini Alasannya!

Mengapa Riba Diharamkan? Ini Alasannya!

Apa sih alasan dan hikmah dilarangnya riba dalam Islam?

Mengapa Riba Diharamkan? Ini Alasannya!
ilustrasi

Riba merupakan perbuatan yang diharamkan dalam Islam. Allah dan Rasul-Nya, serta umat muslim telah sepakat akan keharaman riba. Tentunya keharaman ini memiliki beberapa sebab yang mengandung mafsadah atau kerusakaan yang berakibat pada kebinasaan.

Mengenai keharaman riba, Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur`an surat Ali Imran ayat 130:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. Ali Imran: 130)

Begitupun dalam hadis Nabi Muhammad SAW telah disebutkan mengenai keharaman riba,

الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلا بمثل، سواء بسواء، يدا بيد، فمن زاد أو استزاد فقد أربى. رواه مسلم

Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (sejenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan korma, dan garam dijual dengan garam, takarannya sama rata dan dibayar dengan kontan. Siapapun yang menambah atau meminta tambahan maka ia telah melakukan riba. (HR. Muslim)

Imam ar-Razi memaparkan sebab-sebab mengapa Islam melarang transaksi riba. Di antaranya ada 4 alasan yang menjadikan transaksi riba dilarang dalam Islam.

Pertama, merampas kekayaan orang lain. Dengan melakukan riba, tentunya kita telah melakukan penambahan dalam proses pembayarannya. Misal satu rupiah ditukar dengan dua rupiah, satu kilo ditukar dengan dua kilo, atau dalam takaran Arab satu wasaq ditukar dengan dua wasaq. Jenis transaksi seperti ini sangatlah dilarang oleh Islam, sebab akan merugikan salah satu pihak.

Begitupun dalam peminjaman utang yang disertai riba. Si peminjam dikenai batas waktu untuk membayar, namun ada penambahan di setiap pembayaran tanpa melalui kesepakatan. Hal tersebut akan mencekik si peminjam di kemudian hari.

Imam ar-Razi menentang praktik seperti ini sebab keuntungan yang diperoleh kreditor tidak masuk akal, sebab seharusnya kreditor menginvestasikan uangnya untuk dikembangkan dalam usaha-usaha yang dapat mendatangkan keuntungan, namun kenyataannya ia tidak menginvestasian modalnya tersebut, namun meminjamkannya dengan menuntut pembayaran lebih.

Kedua, merusak moralitas. Kita telah banyak menyaksikan kehancuran dan kebobrokan yang disebabkan oleh uang. Dari mulai perebutan kekuasaan sampai kasus suap-menyuap. Hati nurani sebagai cerminan jiwa yang paling murni dari keutuhan seseorang dapat runtuh dengan uang yang sudah merasukinya.

Orang yang sudah gila harta, dan melakukan riba akan sangat tega merampas apa saja yang dimiliki oleh si peminjam, kaya maupun miskin. Padahal ada satu pertimbangan khusus yang mesti dipehatikan bagi si peminjam, yaitu jika dia kesulitan maka boleh utangnya ditangguhkan, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur`an surat al-Baqarah ayat 280:

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 280)

Ketiga, melahirkan kebencian dan permusuhan. Bila egoisme akan harta telah merasuk di jiwa seseoang, maka tidak mustahil akan terjadi permusuhan dan kebencian, terutama antara si kaya dan si miskin.

Keempat, yang kaya semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Keadaan seperti ini dapat kita pahami terutama saat kebijakan uang semakin ketat atau dapat disebut tight money policy. Dalam keadaan seperti ini, si kaya akan memeroleh suku bunga yang sangat tinggi, sementara dikarenakan mahal, maka si miskin pun bertambah miskin karena kesulitan untuk meminjam dan membuka usaha.

Empat hal ini yang menjadikan riba dilarang dalam Islam, terlepas dari perbedaan dan perdebatan terkait hal-hal apa yang termasuk dan dikategorikan sebagai riba.

Wallahu A’lam.

(disarikan dari buku Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Syafii Antonio, M.Ec., Gema Insani, Jakarta, hal. 80-82)