Anda yang mengamati tentang isu kekerasan atas nama Islam, mungkin tidak asing lagi dengan istilah masjid dhirar. Pada masa Nabi, masjid dhirar itu dibangun dengan tujuan memecah belah persatuan umat Islam, karena saat itu sudah ada masjid Nabawi atau masjid Quba yang sudah lebih dulu dibangun, dan konon masjid tersebut dihancurkan atas perintah Nabi.
Belakangan, dalil tentang masjid dhirar ini digunakan oleh kelompok kekerasan atas nama Islam untuk menghancurkan atau mengebom masjid-masjid yang mereka anggap sebagai masjid dhirar. Masih ingatkah Anda kasus pengeboman di masjid Polresta Cirebon pada tahun 2011? Itu pelakunya dimungkinkan terdoktrin dengan pemahaman seperti ini. Pada 2017 lalu, bom meledak di masjid Al-Rawdah, di Bir al-Abed, Provinsi Sinau Utara, Mesir. Ini juga dilakukan di antaranya diyakini terpengaruh dengan pemahaman kekerasan seperti ini.
Paling minimal, mereka mengharamkan kelompoknya shalat di masjid-masjid yang mereka anggap sebagai masjid dhirar. Pemahaman yang kedua ini tentu tidak terlalu merugikan orang lain, atau bahkan sampai menghilangkan nyawanya. Tentu pemahaman yang terakhir ini sah-sah saja, karena itu merupakan bentuk penafsiran, walaupun penafsirannya belum tentu tepat dengan konteks saat ini.
Pemahaman tentang masjid dhirar yang mereka pahami tersebut disandarkan pada surah at-taubah [9]: 107. Allah Swt. berfirman:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ ۚ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَىٰ ۖ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
Artinya:
“Di antara orang-orang munafik terdapat kelompok yang membangun masjid bukan untuk mencari keridaan Allah, tetapi untuk menimbulkan kemudaratan, kekufuran dan perpecahan di antara orang-orang Mukmin serta untuk memfasilitasi orang-orang yang hendak memerangi Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan bersumpah bahwa mereka, dalam membangun masjid ini, tidak bertujuan apa-apa selain untuk kebaikan dan dalam rangka berbuat sesuatu yang lebih baik. Allah menjadi saksi atas mereka bahwa mereka berdusta dengan sumpah-sumpah itu.Ma”
Imam at-Thabari dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa ayat 107 tersebut diturunkan kepada Nabi Muhammad berkaitan dengan sekelompok orang munafik yang membangun masjid untuk menandingi masjid Quba atau masjid Nabawi. Nabi diminta oleh sekelompok munafik tersebut untuk shalat di masjid tersebut agar umat Islam ikut simpati juga melakukan shalat di situ. Namun Nabi diberi wahyu oleh Allah, pembangunan masjid dhirar di sekitar wilayah Madinah tersebut bukan atas dasar tujuan baik.
Menurut Thahir bin Asyur yang mengutip pendapat Ibnu Athiyyah, sekelompok munafik itu berjumlah dua belas orang dari Bani Ghanam bin Auf dan Bani Salim bin Auf yang juga merupakan penduduk Madinah yang tinggal di dataran tinggi. Salah satu dari mereka ada yang benama Abdu Amr atau Abu Amir. Pada masa Jahiliyah, Abu Amir ini memeluk agama Nasrani. Setelah Islam datang, ia berkumpul bersama golongan orang-orang munafik (Islam tidak, Kristen pun tidak diperlihatkan secara terang-terangan).
Barulah pada perang Khandaq tahun 5 hijriah, Abu Amir benar-benar memerangi umat Islam. Karena pasukan Kafir Quraisy kalah dalam perang Khandaq, Abu Amir hijrah dan bertempat tinggal di Mekah sampai terjadi pembebasan kota Mekah oleh umat Islam pada tahun 8 hijriah menurut pendapat yang masyhur. Saat itu, Abu Amir kabur ke Thaif. Ketika penduduk Thaif sudah banyak yang memeluk Islam, Abu Amir pergi ke Syam.
Saat itulah, Abu Amir mendapat sokongan dana besar dari Kaisar Romawi untuk memobiliasasi orang-orang munafik yang ada di Madinah untuk membangun masjid tandingan. Abu Amir juga berjanji kepada orang-orang munafik dari sukunya akan datang bersama tentara Romawi untuk mengusir umat Islam dari Madinah. Namun aksi tersebut gagal, karena Rasulullah Saw. langsung diberitahu oleh Allah Swt. melalui wahyu.
Inilah mengapa Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk menghancurkan masjid yang dijadikan tempat propaganda untuk memecah belah umat Islam. Tentu ayat ini tidak bisa diberlakukan untuk konteks seperti saat ini. Alasannya, kita tidak bisa menjustifikasi orang lain sebagai orang munafik seperti Abu Amir yang awalnya dekat dengan umat Muslim, tapi ternyata dia Kristen dan sangat membenci Islam.
Lagi pula menurut Imam an-Nawawi yang mengutip pendapat Imam al-Ghazali, umat Islam boleh menerima harta non-Muslim untuk kepentingan pembangunan fasilitas umum, seperti masjid. Nabi pun menerima hadiah dari Raja Muqauqis yang bukan Muslim. Jadi, tidak semua masjid atas sumbangan non-Muslim terus boleh dihancurkan sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi di atas.
Terlebih lagi bila kita melihat kasus bom masjid Polresta Cirebon, masjid Al-Rawdah di Mesir, itu bukan hanya bangunan saja yang hancur, akan tetapi banyak korban dari orang-orang Muslim yang wafat. Membunuh non-Muslim yang tidak memerangi Islam itu termasuk dosa besar, apalagi membunuh sesama Muslim. Wallahu a’lam