Pada tahun kelima setelah diutusnya Nabi Muhammad SAW menjadi nabi dan Rasul, kota Mekah saat itu berada dalam kondisi tidak stabil. Banyak penyiksaan dan penindasan yang dialami oleh para sahabat. Jiwa dan raga mereka tertekan oleh pembesar Quraisy yang bertindak semena-mena kepada mereka hanya karena iman kepada Nabi.
Memang Nabi Muhammad SAW, pribadi tidak mengalami apa yang terjadi pada sahabatnya, karena di samping beliau selalu dilindungi Allah SWT, beliau -secara politik saat itu- berada dalam jaminan pamannya Abu Thalib, salah satu pembesar yang disegani di kalangan Quraisy, namun, Rasul SAW tidak mampu berbuat apa-apa, ketika melihat para sahabatnya dalam tekanan yang sedemikian rupa.
“Kalau pun kalian bersedia untuk keluar ke negari Habasyah, di sana ada seorang raja yang tak membiarkan seorang pun dianiaya di daerah kekuasaannya. Kalian tinggal lah di sana sampai Allah memberi jalan keluar,” ucap Nabi.
Dengan sembunyi-sembunyi, berangkat lah kafilah pertama menuju negeri Habasyah. Beranggotakan dua belas laki-laki dan empat perempuan. Beberapa ada yang naik tunggangan, beberapa yang lain berjalan kaki. Sesampainya di tepi laut, dengan pertolongan Allah, mereka mendapati dua kapal yang sedang berlabuh dan segera membawa rombongan itu berlayar menuju belahan bumi lain, mencari harapan baru dalam perjalanan hidup.
Meski misi ini sudah dilaksanakan secara rahasia, namun pembesar Quraisy akhirnya mencium pergerakan kaum muslimin. Mereka tidak tinggal diam, serta-merta disiapkan pasukan khusus untuk mengejar kafilah muslimin. Sayang beribu sayang, pasukan itu tak mendapati satu kapal pun sesampainya mereka di tepian pantai. Misi pengejaran pun gagal.
Banyak dari kita mengetahui informasi tentang hal ini. Namun sedikit dari kita yang memahami lebih detil, kenapa negeri Habasyah yang dipilih Nabi bagi para sahabatnya untuk mencari harapan baru? Kenapa tidak negeri yang lain? Di sini poin menariknya.
Sebelum menentukan pilihan, Rasul SAW tentu mengamati kondisi dalam negeri juga negeri-negeri tetangga dengan cermat. Beliau memahami bahwa sumber masalah ada di dalam Jazirah Arabia. Di mana dua kubu saling bertikai; antara umat Muslim yang iman mereka sudah mengakar kuat dalam hati, dan kaum kafir Quraisy yang hatinya sudah terbakar rasa benci, tak mengenal kata kompromi.
Sedangkan kondisi negeri-negeri tetangga saat itu, ada kerajaan Persia yang dibutakan oleh sesembahan mereka, Sang Api abadi. Ada pula imperium Romawi yang memperbudak seluruh rakyatnya untuk takluk tunduk kepada penguasa. Tentu dua negeri tersebut tidak dipandang Nabi sebagai ladang yang cocok untuk mempertahankan benih-benih keimanan dalam sanubari para sahabatnya.
Yang tersisa ada kerajaan Habasyah, yang terletak di seberang lautan. Kondisi geografis ini dipandang begitu menguntungkan bagi umat Muslim yang berhijrah, karena lebih menjamin keselamatan mereka dari kejaran kaum Quraisy yang saat itu belum mahir menghadapi medan laut. Selain itu, Habasyah merupakan kerajaan yang masih menganut ajaran Nabi Isa AS. Sang Raja selalu ditemani oleh para uskup yang tangan mereka tak lepas dari kitab suci Injil. Sehingga ia dikenal sebagai raja yang bijaksana, selalu menjunjung tinggi keadilan dalam mengambil keputusan.
Selain itu, peristiwa kegagalan Abrahah dan pasukan gajahnya beberapa puluh tahun silam, masih terngiang di seluruh penjuru Negeri. Abrahah, salah satu gubernur di bawah kekuasaan Raja Habasyah tumbang oleh serangan luar biasa ketika hendak menghancurkan Ka’bah. Peristiwa itu begitu membekas di setiap memori rakyat Habasyah, dan beranggapan bahwa Mekkah dan penduduknya memiliki sejarah suci yang layak dihormati.
Dan akhirnya Raja Habasyah benar-benar memenuhi apa yang diharapkan oleh Nabi dan kaum muslimin. Beliau bersedia memberi jaminan keselamatan dan menghormati akidah umat muslim yang berada di negerinya. Tidak terjadi cekcok antar kedua belah pihak, saling berinteraksi dengan baik di banyak aspek kehidupan sosial.
Berkat hubungan baik tersebut, akhirnya Raja Habasyah beriman kepada ajaran Nabi Muhammad SAW. Saat beliau wafat, Rasul SAW mendirikan shalat ghaib dan memohonkan ampun kepada Allah untuk Sang Raja. Maka dari itu, mari berbuat baik dengan sesama manusia.
Wallahu A’lam.