Mengapa Pra-Islam Orang Arab Disebut Jahiliyah?

Mengapa Pra-Islam Orang Arab Disebut Jahiliyah?

Kenapa muncul istilah Jahiliyah dalam sejarah Islam?

Mengapa Pra-Islam Orang Arab Disebut Jahiliyah?

Jahiliyyah menjadi isu sentral mengapa Nabi Muhammad diutus oleh Allah dan menjadi Nabi dan Rasul yang terakhir. Para sejarawan muslim menyebutkan bahwa Jarak antara Nabi Muhammad diutus dengan Nabi Isa adalah 600 tahun. Hal ini menunjukan bahwa kebobrokan yang terjadi pada masa Nabi Muhammad belum diutus begitu panjang dan lama bahkan pada masa Nabi diutus kondisi tersebut sudah menakar kuat dalam karakter masyarakat Arab. Lantas, apa yang dimaksud dengan jahiliyyah yang sering digunakan dalam menilai orang-orang Arab sebelum Nabi diutus dan diangkat menjadi Nabi dan Rasul?

Dalam KBBI, jahiliah berarti kebodohan. Dengan ini, berarti zaman jahiliah adalah zaman yang kondisi masyaraktnya hidup dalam kebodohan, ketidak tahuan. Nabi pernah menyebut kondisi masyarakat yang seperti ini dalam peristiwa ketika Nabi di usir dan lempari batu oleh penduduk Thaif. Ketika Nabi ditawari malaikat apakah mereka perlu untuk dimusnahkan dengan dilemparkan gunung kepadanya, Nabi menjawan, jangan mereka adalah masyarakat yang belum tahu (hum lâ ya’lamȗn). Dengan ini apakah yang dimaksud dengan oleh Nabi dengan kata ”tidak tahu” merupakan ”kebodohan” secara total masyarakat Arab atau hanya dalam masalah-masalah tertentu?

Ketika Al-Qur’an diturunkan, para pakar sastra mengakui bahwa al-Qur’an bukan ciptaan manusia. Mereka belum pernah menemukan keindahan susunan kalimat Arab seindah al-Qur’an. Bahkan Al-Qur’an memberi tawaran kepada masyarakat Arab untuk membuat susunan kalimat minimal menyamai keindahan Al-Qur’an. Keindahan susunan kalimat al-Qur’an tidak hanya diakui oleh para pakar ahli bahasa pada waktu itu, para ahli sastra kontemporerpun mengakui hal tersebut. Dalam ’Ulȗm al-Qur’an, kelebihan tersebut masuk dalam pembahasan tentang i’jâz al-Balaghî atau mukjizat dalam perspektif sastra. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat Arab sudah terbiasa dan membudaya dengan dunia sastra. Disamping itu, masyarakat Arab memiliki keahlian dalam membaca cuaca, bintang, dan jejak sesuatu (’ilm tatâbu’ al-Âtsar).

Masyarakat Arab adalah masyarakat yang buta huruf. Meskipun mereka memiliki kelebihan dalam dunia sastra-puisi, semua itu tidak lebih hanya dinikmati untuk didengarkan bukan ditulis. Al-Thabari bahkan menyebutkan hanya 17 orang dari masyarakat Arab yang bisa menulis. Ketidak mampuan mereka untuk membaca justru merupakan sebuah kebanggaan pada waktu itu. Hal ini berpengaruh bagi cara masyarakat Arab melihat kemanusiaan dalam bangunan masyarakat yang fanatik dengan kelompoknya. Dijelaskan oleh Engineer, masyarakat Arab tidak bisa melihat kemanusiaan diluar kelompoknya, dalam artian kebenaran bagi mereka adalah tatanan nilai dan aturan yang berlaku bagi komunitasnya, diluar itu adalah kesalahan, yang ada dalam komunitas dia adalah kemanusiaan, tidak ada nilai yang perlu untuk dihargai diluar kelompoknya sendiri.

Wanita dalam tradisi Arab juga mengalami nasib yang mengenaskan, yakni tidak dihargai atau sering kali mendapatkan pelecehan. Memiliki keturunan perempuan bagi masyarakat Arab adalah aib. Untuk itu, mereka tidak tanggung-tanggung untuk membunuh anak perempuan. Karena bagi mereka yang bermanfaat adalah memiliki anak laki-laki. Perempuan di Arab pada waktu itu tidak mendapatkan harta warisan bahkan perempuan adalah barang yang diwariskan. Begitulah kurang lebih yang disampaikan oleh Fakhruddin Al-Razi dalam Tafsir Mafatih Al-Ghaib-nya.

Dalam masalah ekonomi juga mengalami nasib yang sama. Kesengsaraan golongan masyarakat kecil yang selalu tertindas oleh kelompok elit masyarakat Arab menjadi pemandangan dimana-mana. Akibatnya, anak yatim piatu, miskin, janda, terbengkalai dan tidak diperhatikan. Mereka dimanfaatkan untuk bekerja dengan gaji yang rendah dan tidak jarang gajinya dibatar terlambat. Itulah mengapa Nabi nanti mengharuskan untuk membayar gaji seorang pekerja sebelum kering keringatnya.

Menurut Ibnu Hisyam dalam Sîrah Ibnu Hisyâm menyebutkan bahwa Makkah pada masa jahiliyyah terbebas dari yang tindakan dzalim. Menurutnya, Jurhum adalah orang yang dzalim di Makkah. Menghalalkan segala yang telah diharamkan, menindas masyarakat Makkah, memakan harta benda yang diserahkan untuk perawatan Ka’bah. Ketika suku Bakr menyaksikan hal tersebut, mereka berkumpul untuk memerangi dan mengusir Jurhum dari kota Makkah. Hingga akhirnya peperangan dimenangkan oleh Suku Bakr dan tersingkirlah Juhrum dari Makkah.

Dalam kitab Manhaj al-Salaf fî Fahmi al-Nushȗsh Baina al-Nadzriyyah wa Al-Tanhbîq, Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki menyebutkan bahwa kedatangan Nabi Muhammad Saw. adalah merupakan bentuk penyelamatan masyarakat Arab dari kondisi yang sudah berda diujung kehancuran. Islam datang untuk mengajak mereka saling menyayangi, mengasihi, tidak berpecah belah, tidak saling memusuhi dan membenci. Itu semua disarikan dari Firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 103 yang artinya, ”dan berpeganglah kalian semua pada tali Allah dan janganlah kalian saling bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dulu saling bermusuhan, maka Allah mempersatukan hati kalian lalu dengan rahmat Allah kalian dijadikan saling bersaudara, kalian sebenarnya telah berada diujung kehancuran kemudian Allah menyalamatkan kalian (dengan perantara Nabi Muhammad)”.

Dalam penjelasan ini menyiratkan bahwa bangsa Arab sudah terbiasa dengan pertikaian, peperangan, bermusuhan satu sama lain. Meskipun sekilas ada perbedaan antara yang telah disampaikan oleh Ibnu Hisyam diatas dengan penjelasan yang disampaikan oleh Sayyid Muhammad Al-Maliki, dengan menjadikan penjelasan Engineer sebagai refrensi tengah dalam memahami kedua refrensi yang sekilas saling bertolak belakang tersebut ada satu benang merah bahwa tidak dipungkiri bahwa masyarakat Arab tidak bisa dilepaskan dengan yang namanya bertengkar, berperang, berbuat dzalim, namun itu sifatnya adalah antar kelompok bukan pergolakan dalam internal suku. Dalam artian, suku Quraisy tidak dipungkiri juga melakukan kedzaliman kepada suku lainnya bukan kepada sesama suku Quraisy.

Budaya pertikaian yang terjadi pada masyarakat Arab adalah karena mereka memiliki karakter fanatik kesukuaan (ta’ashshub) yang kuat. Setiap hal yang menyinggung suku tertentu mudah meledak menjadi bahan pertikaian bahkan peperangan diantara mereka. Solidaritas sesama suku memang kuat, namun mereka tidak bisa memahami orang lain diluar sukunya. Singkatnya budaya untuk saling memahami, saling menghargai, saling toleransi tidak terlihat pada diri mereka.

Untuk itu, jahiliah adalah kondisi masyarakat yang jauh dari semangat persatuan, menghargai kelompok masyarakat diluar suku dan kelompoknya, masyarakat yang mudah menistakan nilai kemanusiaan, tidak bertanggung jawab atas kewajibannya, memeras dan menjajah kebebasan orang lain. Dengan itulah, mengapa Nabi Muhammad Saw. diutus Allah sebagai sosok yang bertugas untuk menyempurnakan akhlak manusia. Bahkan Nabi memiliki satu visi penting dalam tugasnya, yakni menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ’alamin).

Wallahu a’lam bishshawab.