Mengapa Politisasi Agama Berbahaya bagi Kehidupan Muslim?

Mengapa Politisasi Agama Berbahaya bagi Kehidupan Muslim?

Mengapa kita harus menolak politisasi agama?

Mengapa Politisasi Agama Berbahaya bagi Kehidupan Muslim?
Sebagian umat islam Indonesia merasa tertekan, entah karena politik atau karena rezim. Tapi, benarkah demikian? Source: Reuters/Beawiharta

Politisasi agama kian dekat dengan kita.  Hingar-bingarnya kehidupan politik era kiwari ini sungguh membuat masygul. Betapa tidak? Ada tokoh nasional yang dengan terang-terangan mengajak agar ceramah agama disisipi politik, bila tidak malah dianggapnya lucu. Tanpa sungkan dia berkata, “Pengajian-pengajian disisipkan politik itu harus, kalau enggak, lucu” (cnnindonesia.com, 24/04/2018).

Menariknya, bila kepada kalangan yang gemar mengumbar tindakan mempolitikkan agama ini dikatakan agar agama hendaknya jangan larut dalam kepentingan politis, dengan nada yang jauh lebih tinggi mereka akan menyahut justru beragama itu harus berpolitik! Kita justru balik diserang dengan tuduhan sekularis, liberalis, neoliberalis, bahkan sampai penista agama. Keberagamaan malah dipahami dengan semangat kemarahan dan kegarangan.

Bila tidak marah dan garang, dianggap tidak punya ghirah agama. Dan, dalam semangat kemarahan dan kegarangan ini, maka memasukkan politik ke dalam aktifitas keagamaan dianggap wajar bahkan wajib.

Politisasi agama dalam sejarah Islam memiliki jejak panjang dan berdarah. Para sejarawan seperti al-Baladzuri dan al-Tabari menyebutnya fitnah dalam sejarah Islam. Fitnah yang dimaksud di sini sering kita artikan dengan perang saudara. Sejarawan belakangan kiranya lebih suka menyebutnya perang sipil.

Dalam sejarah Islam, satu kelompok keagamaan bernama khawarij, ditengarai merupakan kelompok yang disebut-sebut sebagai kalangan yang membaca al-Quran sebatas di tenggorokan. Adalah Abdullah ibn Muljam, penikam dan pembunuh Sayyidina ‘Ali bin Abi thalib RA, merupakan bagian dari kelompok khawarij ini. Ibn Muljam adalah seorang hafidz (penghafal) al-Quran dan sekaligus pengajar keagamaan. Sedemikian kuat hafalannya ini, Sayyidina Umar bin Khattab pernah berkata bahwa Abdurrahman Ibn Muljam adalah seorang yang salih yang ditugaskan mengajari orang-orang Mesir al-Quran. Ini tercatat dalam surat balasannya pada ‘Amr bin al-‘Ash yang meminta agar sang Khalifah mengirimkan pengajar al-Quran ke Mesir. Namun, sejarah mencatat bahwa Ibn Muljam-lah yang bertanggung jawab atas tindakan pembunuhan seorang pemimpin kaum muslimin.

Perbedaan dalam pemahaman merupakan hal yang niscaya. Di dalam tradisi keagamaan ini juga tidak terelakkan. Bukan hal yang aneh bila kita menelusur sejarah Islam kita akan menemukan betapa banyak aliran pemahaman, tradisi tafsir, filsafat, teologi, fiqh, sejarah, seni, dan seterusnya yang menunjukkan kekayaan peradaban Islam. Alangkah kerdilnya apabila kekayaan peradaban Islam ini tidak ditelusur dan hanya dianggap sepi karena stempel “bid’ah” seperti yang dilakukan oleh segelintir kaum muslim.

Kita mesti mawas diri, jangan-jangan kita ini yang disindir hadits: “Akan keluar di akhir zaman suatu kaum yang usia mereka masih muda, dan bodoh, mereka mengatakan sebaik‑baiknya perkataan manusia, membaca Al Qur’an tidak sampai kecuali pada kerongkongan mereka. Mereka keluar dari din (agama Islam) sebagaimana anak panah keluar dan busurnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Mengapa?

Pertama, al-Quran hanya dibaca tanpa pemahaman yang mendalam. Apa pemahaman yang mendalam itu? Sederhananya, semestinya mengenal biar pun sedikit tentang konteks ayat, kaitan dengan sejarah nabi, dan beberapa pemahaman sejumlah aliran tafsir.

Dari sini, pemahaman sederhana tak semata hanya berpijak pada al-Quran dan Hadits, tapi mengandaikan juga adanya historisitas penafsiran terhadap al-Quran itu sendiri. Terasa njlimet? Semoga tidak.

Kedua,  membaca al-Quran dan mencari artinya hanya pada terjemahan belaka. Lho, bukankah sudah bagus, membaca al-Quran dan mencari maknanya. Betul, itu sudah bagus. Tapi, hendaknya terus ditingkatkan dengan mempelajari bahasa Arab juga. Mengapa?

Supaya kita sadar bahwa al-Quran itu mukjizat. Mukjizatnya di mana? Dalam kedalaman makna bahasa Arab itu sendiri. Nabi sendiri bilang tentang sublimnya bahasa Arab ini dalam hadits, “Lughat al-‘arabiyyah lughat al-jannah” (Bahasa Arab adalah bahasa Surga). Tentu saja jangan sampai terjebak pada pemahaman literalis bahwa di surga itu semua orang berbahasa Arab. Yang dimaksud dalam hadits di atas adalah bahwa kedalaman, keindahan, dan keunggulan bahasa Arab itu manakala diresapi maka laiknya semanis surga. Perlu digarisbawahi, tradisi intelektual Islam yang panjang merupakan bagian dari mukjizat al-Quran dan keagungan Islam itu sendiri.

Proposisi terakhir ini menegaskan bahwa keyakinan beberapa kalangan yang membatasi sejarah Islam pada tiga abad pertama Hijrah bisa membawa pada kelemahan keyakinan tentang mukjizat al-Quran sendiri. [ ]