Mengapa Polarisasi Dua Kubu Terjadi di Masyarakat Kita yang Agamis?

Mengapa Polarisasi Dua Kubu Terjadi di Masyarakat Kita yang Agamis?

Bagaimana bisa, masyarakat agamis bisa terpolarisasi dua kubu?

Mengapa Polarisasi Dua Kubu Terjadi di Masyarakat Kita yang Agamis?
Para peternak politik memanfaatkan segala hal demi kepentingannya. Pict by Nurul Huda

Akhir-akhir ini kehidupan keberagamaan masyarakat kita terpolarisasi ke dalam dua kubu yang saling bertentangan. Kubu pertama adalah kaum formalis yang sangat menekankan tata cara dalam beragama, sedangkan kubu kedua adalah kaum substansialis yang cenderung abai terhadap itu. Keduanya, menurut saya, tidak memuaskan. Mari kita bahas!

Kaum formalis menganggap agama adalah segalanya. Dengan jargon kembali kepada kitab suci, kelompok ini percaya agama adalah sumber keselamatan satu-satunya bagi umat manusia. Namun lebih dari sekadar percaya, mereka yakin jalan menuju keselamatan itu telah tersedia secara lengkap dalam seperangkat ritual, syariat, liturgi, kanon, dan berbagai teks ajaran agama lainnya. Dalam keseharian mereka sering disebut konservatif, fundamentalis, dan bahkan radikal.

Sementara itu, kaum substansialis menganggap agama bukan segalanya. Bagi mereka, spiritualitas jauh lebih utama. Dan memang ini adalah cirinya: mereka suka membedakan antara agama dan spiritualitas, seolah yang terakhir lebih murni daripada yang pertama. Sudah tentu mereka melihat ritual, syariat, liturgi, kanon, dan berbagai teks ajaran agama lainnya sebelah mata. Dalam keseharian mereka sering disebut sekuler, pluralis, atau liberal.

Namun mari kita perhatikan: baik kaum formalis maupun substansialis, dengan caranya sendiri-sendiri, merasa lebih dekat dengan Tuhan. Mereka sama-sama yakin bahwa pemahamannya mengenai agama adalah yang paling benar. Untuk mencapai keyakinan itu, anggota masing-masing mengklaim bisa melakukannya sendirian dengan akal-pikiran. Institusi keulamaan atau kepausan dianggap produk masa lalu yang harus ditinggalkan.

Dalam kenyataannya baik kelompok formalis dan substansialis saling menyerang. Kaum formalis menuduh sekularisme, pluralisme, dan liberalisme adalah kebejatan moral. Pada saat yang sama kaum substansialis menyebut ritual, syariat, atau liturgi sebagaimana dijalankan oleh kaum formalis sebagai kedangkalan intelektual.

Masalahnya baik kaum formalis maupun substansialis sama-sama kurang membaca. Tanpa merasa perlu belajar filsafat Barat, misalnya, secara baik dan benar, kaum formalis ujug-ujug menyerang sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Di sisi lain, tanpa merasa peru belajar ilmu-ilmu agama secara sungguh-sungguh, misalnya, kaum substansialis meremahkan arti penting ritual, liturgi, atau kanon bagi mereka yang menjalankannya.

Singkatnya, menurut saya, pijakan kalangan formalis maupun substansialis dalam beragama adalah sekadar “common sense”. Seringkali dasarnya hanya rasa-merasa, pikiran-pikiran yang berkelebat sebentar, atau bahkan tontonan dan tulisan yang viral di media sosial, bukan pembacaan terhadap khazanah filsafat dan ilmu-ilmu yang terentang dalam sejarah pemikiran.

Akibatnya opini yang muncul dari keduanya lebih banyak berupa bunyi-bunyian yang timbul-tenggelam daripada argumen-argumen yang berumur panjang.