Andalusia atau Spanyol adalah salah satu kota terkenal di Eropa. Ia pernah menjadi salah satu pusat pemerintahan Islam yang besar. Di sanalah Abdurrahman al-Dakhil, (kepada siapa Kiai Wahid Hasyim mengambil nama untuk anak pertamanya, Gus Dur), mengakhiri pelariannya dari kejaran pasukan tentara imperium Abbasiah berpusat di Irak, yang dendam kesumat. Di tempat ini dia mendirikan pemerintahan dinasti baru yang besar bahkan dalam waktu singkat berhasil menandingi kejayaan dan kebesaran Dinasti Abbasiah di Baghdad, yang menjadi lawan politiknya.
Andalusia selalu saja menarik untuk dikaji kembali. Kehadiran Islam di Andalusia telah mengakhiri kekuasaan politik monoreligi (satu agama) yang dipaksakan penguasa sebelumnya. Islam hadir untuk menawarkan konsep politik multi agama. Pemerintahan Islam di negeri ini menciptakan masyarakat Spanyol yang pluralistik. Para pemeluk agama yang berbeda-beda dapat hidup berdampingan secara damai, aman dan saling bekerjasama membangun negara dan peradaban Spanyol yang besar. Melalui proses akulturasi kebudayaan ini Islam kemudian maju pesat. Andalusia Islam menjadi pusat peradaban dunia yang cemerlang. Di sini ada Al-Hamra, istana indah bercat merah yang terletak di sebuah bukit kecil di kota Granada. Ada Kordoba yang pernah menjadi pusat pengembangan dan pergulatan intelektual dunia. Ada kota kuno, Seville, yang ekosotik. Di sana ada istana Alcazar yang megah, anggun mempesona. Di dinding istana ini ada kaligrafi indah bertuliskan la ghalib ill-Allah atau “Tiada pemenang kecuali Allah”.
Dulu, abad pertengahan, di desa-desa di Andalusia hampir semua disiplin ilmu pengetahuan manusia: kedokteran, matematika, filsafat, sastra, musik, arsitektur dan lain-lain, di samping ilmu-ilmu keagamaan, dikaji dengan intensif dan produktif. Kaum muslimin saat itu di sana tak mendikotomisasi pengetahuan agama dan sekuler. Semua pengetahuan yang berguna bagi manusia adalah ilmu Islam.
Dari kota ini lahir sejumlah pemikir Islam berkaliber dunia dan menjadi tokoh-tokoh legendaris. Nama mereka terus disebut-sebut sepanjang masa. Pikiran-pikiran mereka terus dibaca dan dijadikan referensi di pusat-pusat pendidikan Islam sampai hari ini. Beberapa di antaranya adalah Al-Zahrawi, Ibnu Hazm, Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd, Ibnu Arabi, Ibnu Bajah, Ibnu Malik, dan Al-Syathibi.
Ini hanya untuk menyebut beberapa nama saja dari sekian banyak cendikiawan lain, dan hanya untuk disiplin ilmu-ilmu humaniora belaka dari sekian banyak disiplin ilmu pengetahuan, seperti fisika, biologi, matematika dan metafisika. Kepiawaian ilmiyah mereka diperoleh melalui pergumulan dan dialektika intelektual yang ketat, kritikal, dinamis dan bergetar dengan beragam tradisi dan kebudayaan, terutama kebudayaan Helenistik-Yunani berikut para tokoh-tokoh besarnya, semacam Pytagoras, Socrates, Plato, Aristo, Galenus, dan lain-lain. Pikiran dan dada mereka terbuka lebar bagi segala kebudayaan dan tradisi, tanpa melihat latarbelakang agama, sekte, dan lain-lain.
Nama-nama cendikiawan, filosof, dan sufi muslim di atas dan karya-karya intelektual mereka terus dibicarakan dan dibaca bangsa-bangsa di dunia, terutama Eropa, selama berabad-abad. Melalui para ilmuan, filosof dan bijakbestari muslim di atas, dunia Barat mengenal ilmu pengetahuan, filsafat dan sebagainya.
Cerita di atas dikemukakan sama sekali bukan dalam kerangka apologia, membanggakan masa lampau, melainkan sekedar untuk mengingatkan, menyadarkan dan membangunkan kita dari tidur nyenyak yang panjang, sekaligus membangkitkan gairah masyarakat muslim hari ini guna menemukan kembali prestasi yang hilang sebagai tanggungjawab masa depan peradaban manusia.
Al-Hafizh (Ahli hadis), Al-Sakhawi dalam bukunya Al-Maqashid al-Hasanah menyatakan :
خُذِ الْحِكْمَةَ وَلَا يَضُرُّكَ مِنْ أَيِّ وِعَاءٍ خَرَجَتْ
“Ambillah hikmah, tak akan merugikanmu, darimana pun ia datang”.
Hadis yang lain menyebutkan :
الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ المُؤْمِنِ فَحَيْثُ وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا
“Hikmah adalah barang yang hilang dari tangan seorang muslim. Maka jika dia menemukannya dia lebih berhak mengambilnya kembali”.
Al-Kindi (w. 873 M), seorang filsuf muslim awal terkemuka, mengatakan :
ينبغِى لَنَا اَنْ لَا نَسْتَحْيِى مِنْ اِسْتِحْسَانِ الْحَقِّ وَاقْتِنَاءِ الْحَقِّ مِنْ اَيْنَ اَتَى وَإِنْ أَتى مِنَ الْاَجْنَاسِ الْقَاصِيَةِ عَنَّا وَالْاُمَمِ الْمُبَايِنَةِ لَنَا
“Seyogyanya kita tidak merasa malu menerima dan menjaga suatu kebenaran dari manapun ia berasal, meski dari bangsa-bangsa yang jauh dan berbeda dari kita”. (Filosof al-Kindi).
Kisah itu dalam waktu yang sama memperlihatkan kepada kita betapa masyarakat muslim awal bisa bekerjasama dengan orang lain (the others), menghargai kebudayaan dan peradaban manusia, siapapun dan dari manapun sekaligus mengapresiasi dengan sungguh-sungguh ilmu pengetahuan manusia termasuk “Ulum al-Awa-il” (ilmu-ilmu pengetahuan klasik pra Islam). Semua ilmu pengetahuan yang baik dan bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan adalah anugerah Tuhan. Dia memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Al-Qur’an menyatakan :
يؤنى الحكمة من يشاء. ومن يؤتى الحكمة فقد اوتي خيرا كثيرا
“Dia menganugerahi pengetahuan yang tinggi (dan kebijaksanaan) kepada siapapun Yang dikehendaki-Nya. Dan mereka yang dianugerahinya, mereka memperoleh kebaikan yang berlimpah”.