Mengapa Muslim Milenial Seolah Gampang Terpapar Radikalisme?

Mengapa Muslim Milenial Seolah Gampang Terpapar Radikalisme?

Muslim milenial seolah gampang sekali terpapar radikalisme, faktanya kan tidak begitu

Mengapa Muslim Milenial Seolah Gampang Terpapar Radikalisme?

Membaca pengakuan Dita Siska Millenia dan Siska Nur Azizah di Majalah Tempo membuat kita bergidik. Betapa tidak, Dita mengaku ingin ISIS ada di seluruh dunia, tak hanya Indonesia. Keduanya juga sama-sama mengatakan demokrasi itu haram karena bikinan manusia. Usia mereka baru 20-an. Ditangkap polisi di Mako Brimob karena dituduh ingin membantu napiter. Dita dan Siska mendapat asupan informasi tentang ISIS dari Telegram.

Salah satu pertanyaan Tempo yang dijawab Dita dengan jawaban mengejutkan adalah: Jadi, kalau bertemu orang kafir di jalan, Anda ingin menembak mereka? Dita hanya menjawab: he-he-he. Bagi saya itu jawaban yang sangat menyebalkan sekaligus mengerikan!

Wawancara Dita di Tempo, dari perbincangan ini kita bisa tahu bagaimana pandangan ekstrimisnya dipengaruhi apa yang terjadi di digital. Sayangnya, media islam masih banyak yang berhaluan konservatif alih-alih menjadi corong islam yang menyejukkan

Sebetulnya cukup sukar memahami pola pikir Dita dan Siska. Mereka masih muda, akrab dengan sosial media, juga terpelajar (diketahui Siska kuliah di UPI Bandung). Mestinya mereka bisa menjadi bagian dari generasi muda Islam yang terbuka, toleran dan moderat. Tapi fakta menunjukkan sebaliknya.

Banyak analisis disodorkan terkait kasus Dita dan Siska. Salah satu penjelasan yang cukup bisa diterima: itulah bahaya belajar agama tanpa guru dan hanya merasa cukup belajar agama di internet.

Usai membaca laporan Tempo, saya membaca buku Muslim Milenial; Catatan dan Kisah Wow Muslim Zaman Now terbitan Mizan. Serba-serbi generasi milenial muslim dikupas tuntas di buku itu. Buku tersebut karya para alumni MEP (Muslim Exchange Program) Australia-Indonesia. Membaca buku Muslim Milenial memunculkan optimisme, kontras sekali rasanya dengan ketika saya membaca laporan Tempo.

Buku Muslim Milenial setidaknya dibagi menjadi empat tema besar: sosial media, gaya hidup, dakwah dan perdamaian. 37 orang alumni MEP Asutralia-Indonesia bercerita pengalaman masing-masing. Mereka adalah para pemimpin muda yang banyak berinteraksi dengan para milenial di tempat mereka berkiprah. Salah satunya adalah Ahmad Romzi yang menggagas AIS Nusantara. Romzi menekankan pentingnya literasi digital di tengah era banjir informasi seperti saat ini.

Lalu, bacalah tulisan bertajuk Fashion Muslimah Indonesia yang Kian Kekinian (Lis Safitri) dan Muslimah Ngehits di Tengah Modest Fashion (Nurjanni Astiyanti). Keduanya begitu piawai menjelaskan tren fesyen muslimah dari masa ke masa (sesuatu yang sering saya abaikan). Membaca dua tulisan itu, seketika sirna bayangan menyeramkan pemikiran Dita dan Siska yang anti demokrasi dan pro ISIS.

Lis Safiti dengan baik memaparkan tren hijab kekinian serta perkembangan fesyen muslimah dari 1990 hingga 2017. Ia mencatat, misalnya, di tahun 90an pernah moncer kerudung berkopyah sebagaimana dikenakan grup kasidah Al-Manar, Tasikmalaya. Di tahun 2000-an, saat ia masih belajar di SMU umum, muslimah pengguna jilbab masih sedikit, sekitar 10-15%. Adapun di 2005 meningkat drastis hingga 90%.

Tahun 2010, menurut Lis, adalah tahun penting perkembangan fesyen muslimah. Salah satunya ditandai dengan munculnya desainer dan artis yang fokus pada ceruk tersebut, seperti Dian Pelangi, Jenahara, Zaskia Adya Mecca dan Risty Tagor. Kemunculan Hijabers Community juga perlu dicatat sebagai penanda.

Tren hijab terus berkembang hingga di tahun 2016 muncul istilah hijab syar’i, serupa yang biasa dikenakan Oki Setiana Dewi. Sayangnya, menurut Lis, hijab syar’i hanya sebatas tren. Dipakai hanya saat pengajian atau acara-acara tertentu, selebihnya mereka kembali dengan pakaian yang biasa mereka kenakan.

Pada pembahasan mengenai sosial media, kita perlu menengok tulisan Empati Digital bagi Generasi Milenial karya Farina Fianto. Menurut Farina, selain literasi digital, yang penting dikemukakan adalah empati digital. Yakni kemampuan kognitif dan emosional untuk menjadi reflektif dan bertanggung jawab secara sosial saat menggunakan media digital. Selain itu juga perlu ditekankan kepada pengguna media sosial, bahwa prestasi hakiki adalah menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama. Bukan diukur dari jumlah follower dan like di media sosial.