Seorang teman yang selama bertahun-tahun pernah hidup di negara dengan etika sosial yang sangat baik mengatakan, saat ini dia sudah membiasakan diri untuk tidak berharap mendapat ucapan terima kasih dari orang, sekalipun dia telah menolong orang tersebut dengan cara menahan pintu mini market atau kantor, agar orang yang ada di belakangnya tidak kejeprak mintu yang menutup secara otomatis. Dia juga sudah membiasakan diri untuk tidak berharap ada permintaan maaf dari orang yang menyenggolnya hingga terhuyung-huyung.
Ya, dibalik keramahan bangsa Indonesia, rasanya ada dua hal yang jarang sekali keluar dari mulut orang Indinesia: ‘terima kasih’ dan ‘minta maaf’.
Ucapan terima kasih dan minta maaf mungkin hanya memerlukan dua detik untuk mengucapkannya, namun memerlukan ketinggian moral dan kerendahan hati yang mendalam untuk melakukannya. Maaf dan terima kasih hanya akan keluar dari lisan orang yang hatinya tidak diliputi keangkuhan.
Bagi orang yang merasa dirinya harus dilayani, ucapan terima kasih terasa akan menjungkalkan posisinya. Mengucapkan terima kasih kepada sopir yang mengantarkannya dari rumah ke tempat kerja, misalnya, dianggap tak layak dilakukan karena itu sama dengan meletakkan posisinya sejajar dengan, atau bahkan lebih rendah dari, sopir. Dia merasa telah membayar impas jasa layanan sopir sehingga tak lagi perlu mengucapkan terima kasih. Jangan heran jika kita nyaris tak pernah mendengar ucapan terima kasih dari penumpang kepada sopir bus atau angkot, apalagi dari seorang bos ke sopir pribadinya.
Inilah yang disebut dengan pembendaan manusia. Kita memperlakukan manusia seperti robot. Karena robot hanyalah mesin yang bekerja sesuai program, maka ketika dia melayani kita, tak perlu berterima kasih kepadanya. Tak ada isu moral di sini.
Begitu juga dengan ucapan maaf, tidak akan keluar dari mulut orang yang merasa dirinya selalu benar. Bahkan kalau salah pun orang seperti ini tak akan mau meminta maaf karena permintaan maaf dianggap akan merendahkan dirinya.
Penyakit kesombongan dan merasa benar ini terutama menghinggapi orang yang selama ini merasa “terhormat”. Bagaimana mungkin orang terhormat akan minta maaf? Itu sama saja menghina kehormatannya.
Apa lagi kalau orang itu tokoh agama yang setiap katanya dianggap sebagai suara Tuhan. Bagaimana mungkin Tuhan minta maaf. Orang seperti ini akan bertahan sedemikian rupa untuk menjaga mulut “suci”-nya dari mengucapkan kata “maaf” yang dianggapnya “kotor”.
Orang seperti ini lebih memilih mati membusuk dengan keangkuhan dan kesombongannya daripada harus minta maaf.
Mari kita renungi kalimat bijak dari tradisi tasawuf, “Rendahkanlah dirimu sampai orang lain tak bisa lagi merendahkanmu”. Orang yang rendah hati bukanlah pribadi rendahan. Orang yang tinggi hati, tak peduli bergelar apa dan keturunan siapa, pada hakekatnya bukanlah orang yang memiliki keluhuran akhlak.