Mengapa Kita Mesti Bahagia Berkali Lipat dalam Puasa Ramadhan

Mengapa Kita Mesti Bahagia Berkali Lipat dalam Puasa Ramadhan

Mengapa Kita Mesti Bahagia Berkali Lipat dalam Puasa Ramadhan

Awal tahun 2019, Pandji Pragiwaksono mengadakan Pragiwaksono World Tour di Jakarta. Tiga minggu menjelang acara, teman saya belum mendapatkan tiket. Saat itu, yang ada dalam benaknya adalah dia bisa hadir dan melihat pertunjukan itu sudah cukup. Di mana pun dia duduk, tidak penting. Jauh dari panggung pun tak apa. Dia bahagia. Mari kita menyebut ini dengan kondisi A.

Tak dinyana, tepat dua minggu sebelum pertunjukan teman saya mendapatkan tiket dari sahabatnya. Sahabatnya punya dua tiket. Semula, dia ingin menonton bersama adiknya. Tapi ternyata adik sahabat teman saya tak bisa hadir karena ada kegiatan di sekolahnya. Yang menarik, ternyata tiket yang teman saya dapatkan itu punya kelebihan: bisa langsung berbincang, bertatap muka, bahkan berfoto dengan Pandji setelah pertunjukan. Dia tak harus mengantre seperti ribuan penonton Pandji lainnya. Mari kita sebut ini dengan kondisi B.

Dari kedua kondisi ini, tentu saja kondisi B lebih baik dibanding kondisi A. Pada kondisi A, teman saya hanya bisa melihat Pandji dari jauh dan belum tentu bisa bertemu dan berfoto dengannya. Sementara dalam kondisi B teman saya bisa bertemu, bersalaman, bertanya harapan dan cerita-cerita kecil di balik panggung, walau hanya sebentar. Pertemuan yang terjadi setelah pertunjukkan membuat hubungan perkawanan teman saya dengan Pandji makin erat.

Jika dalam kondisi A adalah masuk gedung dan melihat pertunjukan, dalam kondisi B melampaui itu: bertemu dan berfoto. Tingkat kebahagiaan kedua kondisi tersebut tentu berbeda. Kondisi B sangat bahagia.

Kebahagiaan model itu, atau mestinya lebih berkali lipat, seyogyanya kita rasakan begitu mendekati Ramadhan. Betapa tidak. Untuk berbagai ibadah dan kebaikan Allah menjaminkan surga bagi pelakunya, seperti dalam al-Nisa [4]: 13 dan Maryam [19]: 60. Redaksi dalam kedua ayat ini adalah dakhala yang bermakna masuk.

Masuk surga merupakan impian setiap muslim. Dan insya Allah setiap muslim yang memenuhi kriteria sebagaimana disebutkan dalam al-Quran dan Sunnah akan mendapatkan kenyataan bahwa janji Allah itu benar adanya.

Saya menyebut ini seperti kondisi A. Bisa masuk dan menonton pertunjukan. Tapi, begitu dia mendapatkan kondisi B maka kebahagiaannya bertambah. Selain masuk, juga bisa bertemu.

Dalam konteks ibadah, puasa Ramadhan adalah yang memungkinkan kita untuk meningkatkan dari kondisi A ke kondisi B. Ini sesuai dengan sabda-Nya dalam Hadis Qudsi: “Puasa itu untuk-Ku, dan Aku pula yang akan langsung memberikan ganjarannya. (Yang berpuasa) mengabaikan dorongan nafsu (seksualnya), makan dan minumnya demi untuk-Ku. Puasa adalah perisai. Orang yang berpuasa memperoleh dua kegembiraan. Kegembiraan pertama, ketika ia berbuka dan kegembiraan kedua ketika ia menemui Tuhannya.” (HR. Bukhari, Muslim, Malik, Tirmidzi, an-Nasai, dan Ibn Majah)

Kalau dicermati, teks Hadis Qudsi itu menggunakan kata laqiya yang artinya bertemu. Setiap pertemuan, mengandaikan kehadiran dan kedekatan. Maka sungguh tepat redaksi Hadis Qudsi tersebut, orang yang berpuasa akan mendapatkan kebahagiaan ketika bertemu Tuhannya. Siapa yang tak menginginkan bertemu, dekat dengan Allah?

Tapi, jenis puasa Ramadhan yang seperti apa yang akan membawa kita bertemu dengan Allah kelak? Jenis puasa yang tak sekadar menahan perut dan kemaluan. Tapi puasa yang mampu menahan segala hal negatif yang mampir ke hadapan kita dan kita bisa mengolahnya menjadi hal positif. Kalau dalam kategori puasa Imam Ghazali, ini disebut sebagai puasa khusus. Yaitu puasa yang menjaga pendengaran, penglihatan, tangan, kaki, dan semua anggota tubuh dari melakukan perbuatan dosa. Dosa itu adalah hal-hal negatif. (Ada dua tingkatan puasa lain yang Imam Ghazali sebutkan dalam Ihya Ulum ad-Din, tapi kita cukupkan sampai di sini dulu. Kali lain kita bahas secara detail.)

Apakah lantas selama berpuasa kita menghindarkan diri dari bersosial dan memilih terpekur di dalam kamar? Justru tantangannya di situ. Kalau kita tidak keluar dari kamar dan melakukan hal-hal sosial di sekitar kita, bagaimana kita bisa menguji kadar keimanan dan kualitas puasa kita.

Misalnya, kalau dalam perjalanan kita ke kantor mengendarai motor dan tiba-tiba spion kita kena senggol motor lainnya, apa yang akan kita lakukan? Kalau ingin mencapai kualitas puasa khusus maka jalannya adalah memaafkan sambil memberi senyuman kepada pengendara motor yang menyenggol spion kita. Kemarahan yang akan kita luapkan hanya gara-gara hal sepele tidak ada apa-apanya dibanding dengan kebahagiaan kelak yang akan kita rasakan ketika bertemu dengan Allah. Seperti butiran debu di antara alam raya ini.

Tentu, ilustrasi lainnya bisa ditambah. Tapi, semoga kita bisa membayangkan kebahagiaan yang akan kita rengkuh dengan melakoni puasa Ramadhan ini. Maka mari kita nikmati setiap proses dalam puasa Ramadhan ini. Isi puasa Ramadhan ini dengan semua hal positif, dengan ibadah dan kebaikan. Semoga kita mendapatkan janji Allah ini kelak. Sungguh sayang bila kita menyia-nyiakannya.