Siang itu saat khotbah jumati kecamatan Ceper kabupaten Klaten, tatkala khatib sedang berkhotbah, tiba-tiba ada seorang lelaki tua yang berpakaian lusuh berjalan membelah jamaah shalat Jumat maju ke depan. Waktu itu, saya yang duduk jauh dari jalur berjalannya lelaki tua itu dan agak di belakang, menangkap beberapa kejanggalan. Lelaki tua itu memakai topi, bukan peci, di sebuah aktivitas keagamaan. Selain itu, di shaf bagian depan sudah terisi penuh. Lalu, hendak kemana lelaki tua itu? Sampai di shaf paling depan, lelaki tua itu tidak berhenti. lelaki tua itu melanjutkan langkahnya sampai di samping mimbar dan tempat imam. Apa yang terjadi?
Lelaki tua itu berteriak sambil mengajak khatib berjabat tangan, “Pak Muballigh. Saya minta doakan, kepala saya sakit sekali.”
Perilaku lelaki tua itu membuat seisi masjid menjadi terheran-heran. Kemudian, salah satu jamaah di shaf terdepan mengajaknya untuk mundur ke belakang dan mendudukkannya di shaf belakang.
Kejadian ini menarik menurut saya. Lelaki tua itu meminta didoakan oleh khatib karena memiliki keluhan sakit kepala. Secara harfiah, sakit kepala cenderung berarti sakit fisik bagian kepala. Akan tetapi, jika dilihat konteksnya, kemungkinan sakit kepala yang dimaksudkan oleh lelaki tua itu bukan sekadar sakit kepala fisik biasa. Terlebih ketika kita memperhatikan bahwa dalam khotbah Jumat, yang seharusnya jama’ah duduk tenang dan tidak boleh berbicara satu kata pun, lelaki tua itu justru maju ke depan di samping mimbar dan menyela khotbahnya khatib untuk meminta tolong didoakan. Artinya, ada sikap yang sudah sampai pada taraf disorientasi waktu dan tempat. Dengan kata lain, sakit kepala yang terjadi pada lelaki tua itu kemungkinan besar adalah indikasi ketidakseimbangan kondisi psikologis. Terlebih ketika memperhatikan atribut yang dikenakan lelaki tua itu pada aktivitas keagamaan berupa shalat Jumat, bukan peci tetapi topi.
Sisi lain adalah bahwa ada semacam keputusasaan dalam diri lelaki tua tersebut. Keputusasaan ini disimpulkan berdasarkan sikap lelaki tua yang meminta doa kepada khatib di tengah khotbah yang sedang berlangsung. Pertanyaannya, apakah tidak bisa menunggu sampai khotbah selesai? Ada banyak kemungkinan memang, barangkali lelaki tua itu tidak paham bagaimana seharusnya bersikap di tengah khotbah yang sedang berlangsung. Akan tetapi, apa yang melatarbelakangi lelaki tua itu maju ke depan untuk minta doa kepada khatib di saat yang tidak tepat? Lalu, apakah kita juga bisa menganggap sakit kepala yang dialami lelaki tua itu adalah sakit kepala biasa padahal lelaki tua itu sampai minta tolong didoakan, ditambah permintaan tolongnya di saat yang tidak tepat, seolah-olah tidak bisa lagi untuk menunggu?
Barangkali, fenomena ini tidak terjadi di tempat lain. Akan tetapi, sikap-sikap yang dipandang aneh pada lelaki tua tersebut menjadi pemantik untuk merenungi kesehatan mental masyarakat. Berbicara mengenai kesehatan mental, tidak semata-mata berbicara mengenai lingkup sempit dari kejiwaan. Terdapat berbagai definisi mengenai kesehatan mental. Kesehatan mental dapat dimaknai sebagai keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan misalkan berjalannya fungsi kognitif, afektif, dan psikomotor dengan baik dan normal.
Selain itu, seseorang dikatakan memiliki kesehatan mental jika mampu merespon permasalahan hidup dengan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang adaptif. Dengan demikian, seseorang yang mengalami “sakit mental” atau “gangguan mental”, tidak hanya orang yang sakit jiwa seperti skizofrenia, skizoid, paranoid, tetapi juga setiap orang yang tidak mampu menjalankan fungsi kejiwaan dengan baik sehingga bersikap maladaptif terhadap setiap permasalahan hidupnya.
Berdasarkan data dari WHO tahun 2016 yang dikutip dari laman Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, bahwa terdapat 35 juta orang terkena depresi, 21 juta orang terkena skizofrenia, dan 60 juta orang terkena gangguan bipolar. Sedangkan menurut Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, mencatat prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia mencapai 1,7 per mil. Artinya, 1 – 2 orang dari 1.000 penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa berat.
Kesehatan mental seringkali dianggap kurang penting. Berbeda ketika kita mengalami hal yang aneh pada anggota badan kita, kita seringkali segera mengambil tindakan dengan periksa ke dokter dan minum obat. Atau ketika ada orang di sekitar kita yang terkena penyakit fisik, kita bergegas mengantarkannya ke rumah sakit atau puskesmas. Akan tetapi, ketika ada sikap orang yang berubah, kita cenderung tidak mengartikan perubahan sikap tersebut. Padahal, salah satu indikasi seseorang terkena gangguan mental adalah adanya perubahan sikap, misalkan menurunnya intensitas bicara, sikap berdiam diri (mematung atau katatonik), menurunnya kemampuan rawat diri, menarik diri, adanya sikap-sikap yang aneh, dan emosi yang labil.
Dengan demikian, kepekaan dan kepedulian yang tinggi dibutuhkan untuk menangani kemungkinan munculnya gangguan mental dan kejiwaan. Tidak cukup hanya itu, kepekaan dan kepedulian yang tinggi juga harus disertai dengan pengetahuan mengenai penanganan awal. Sebagian masyarakat masih melegitimasi pemasungan pada orang-orang yang mengalami sakit mental dan kejiwaan. Padahal, pemasungan ini sama sekali tidak mengobati.
Di sisi lain, masih banyak masyarakat yang menganut paham “serba jin”, artinya setiap kali ada seseorang yang menunjukkan perilaku aneh maka akan dikonsultasikan pada dukun atau sejenisnya karena dianggap kerasukan jin. Dengan demikian, pola pikir semacam ini harus digantikan dengan yang lebih rasional agar menjamin penanganan yang tepat. Memang, perilaku yang tidak biasa bisa dikaitkan dengan jin. Akan tetapi, kondisi ini tidak selalu pasti. Artinya, banyak perilaku tidak biasa mengindikasikan gangguan psikologis, bukan gangguan jin. Oleh karena itu, masyarakat juga perlu memahami perbedaa indikator antara dua kondisi tersebut. Cara ini bisa menjadi modalitas awal untuk penanganan dini yang tepat.
Salah satu faktor penyebab gangguan mental dan kejiwaan adalah adanya tekanan hidup. Baik besarnya tekanan hidup maupun rendahnya resiliensi dan strategi coping terhadap tekanan hidup tersebut. Maka dari itu, masyarakat sudah saatnya untuk memandang perlu mengenai keterampilan menghadapi masalah dan pemecahan masalah. Keterampilan menghadapi masalah dan pemecahan masalah ini dapat dilatih karena mencakup beberapa komponen dalam diri individu, misalkan komponen spiritualitas, religiositas, afeksi, dan intelektualitas.
Di sisi lain, institusi pendidikan bisa mengambil peran untuk tidak hanya menjalankan perannya sebagai pentransfer ilmu, akan tetapi juga mengambil peran untuk internalisasi nilai dan mengasah keterampilan pemecahan masalah. Dengan kata lain, institusi pendidikan bukan hanya membebani orang-orang yang berada di dalamnya dengan banyak penugasan. Akan tetapi, institusi pendidikan sudah seharusnya mengajarkan kepada setiap orang yang berada di dalamnya mengenai cara menyelesaikan penugasan dan permasalahan tersebut. Selain itu, industri-industri yang di dalamnya juga terdapat bermacam-macam beban kerja juga sudah saatnya meningkatkan perannya untuk memperhatikan kesehatan mental para pelaku industri.
Tidak ketinggalan para pemuka agama, dapat mengambil peran untuk semakin membumikan agama. Dalam setiap doa, ibadah, dan ajaran agama, terdapat unsur yang menyehatkan jiwa, misalkan ada unsur katarsis, unsur kepasrahan, unsur relaksasi, unsur pengendalian emosi dan pikiran, serta unsur mengubah keyakinan irasional menjadi rasional. Dengan demikian, para pemuka agama bukan hanya mengajarkan tentang kewajiban ritual peribadatan, tetapi juga mengajarkan mengenai cara untuk mencapai kualitas ritual peribadatan yang memiliki fungsi terapeutik dan berdampak secara psikologis. Karena pada dasarnya salah satu hasil dari peribadatan adalah untuk meningkatkan kesehatan mental manusia. Terlebih lagi, setiap peribadatan mensyaratkan sehat jiwa dan mental.
Ini artinya, agama menempatkan kesehatan jiwa dan mental pada posisi yang sangat penting. Ketika akan beribadah, seseorang hendaknya dalam kondisi sehat jiwa (meski kurang optimal), yang kemudian dengan beribadah seseorang dapat meningkatkan kesehatan jiwa.
Pada dasarnya, setiap anggota masyarakat dapat menjadi agen kesehatan mental. Kesehatan mental bukan hanya tanggung jawab psikolog dan psikiater saja. Psikolog dan psikiater memiliki peran pada pengobatan, penyembuhan, dan pemberdayaan seseorang dengan abnormalitas psikologis. Akan tetapi, peran untuk mendeteksi adanya gangguan psikologis terletak pada anggota masyarakat, bukan hanya psikolog dan psikiater. Oleh karena itu, anggota masyarakat hendaknya bersikap peka dan membentuk supporting system untuk peduli terhadap kondisi kejiwaan. Penanganan dini yang tepat akan berpengaruh besar pada prognosis (tingkat kesembuhan) seseorang dengan gangguan kejiwaan.
Di sisi lain, sudah saatnya masyarakat mengubah paradigma dan pola pikir bahwa orang dengan abnormalitas psikologis itu negatif. Justru, orang dengan gangguan psikologis membutuhkan bantuan untuk berjuang menuju kesehatan mental. Setiap dari kita juga perlu belajar untuk membentuk sikap yang humanis terhadap orang lain, penerimaan positif tanpa syarat, saling membantu, dan tidak memberikan tekanan berlebih. Dengan demikian, masyarakat memiliki peran untuk membangun kesehatan mental dalam bentuk dukungan psikososial.