Prof. Ariel Heryanto dalam sebuah kicauanya di twitter menyebut kalau “selama ini (terdapat) 2 presiden RI (yang) dicintai sekaligus dibenci luar biasa oleh rakyatnya: Sukarno dan Jokowi”.
“Kasus Sukarno bisa saya pahami”, lanjut dia. Pasalnya, Bapak kemerdekaan itu (pada masanya) dilanda pemberontakan berkali-kali; jadi sasaran tujuh kali usaha pembunuhan; konfrontatif pada Amerika dan Inggris. Tapi Jokowi?
“Pertanyaan kita bukan mengapa ada yang cinta atau benci 2 presiden itu. Tapi, mengapa tingkat ‘cinta sekaligus benci’ itu sangat tinggi? Mengapa bangsa ini seakan-akan terbelah, sampai-sampai dalam keluarga?”
Di kolom komentar, saya mencoba mengajukan opini bilamana faktor media sosial memungkinkan hal itu terjadi. “Pencitraan” dan “tuduhan” yang sebegitu isrof atau berlebih-lebihan kepada Presiden Jokowi saya kira merupakan salah dua faktor dominannya.
Dan lebih parah lagi, baik “pencitraan” maupun “tuduhan” itu di satu pihak sama-sama santernya dikait-kelindankan dengan persoalan keimanan.
Padahal bagi masyarakat awam, perkara iman ini bukan barang mainan. Mereka begitu tulus memeluknya. Mereka bahkan siap bertaruh apa saja demi “membela” keimanannya. Apalagi, jika itu mendapatkan siraman legitimasi moril dari, katakanlah, seorang tokoh agama.
Aksi Bela Islam yang mengkristal menjadi 212 adalah salah satu contoh betapa kesetiaan terhadap keimanan ini mampu menggerakan massa sedemikian terstruktur, masif, sistematis, dan cepat.
Dan, 212 mungkin akan lain ceritanya jika tidak ada media sosial; tidak ada seruan berjihad di Monas; tidak ada pesan siaran penista agama di grup-grup WhatsApp yang memompa adrenalin keimanan itu; bahkan Buni Yani juga sangat mungkin tidak akan dibui.
Demikian halnya dengan Presiden Jokowi. Menjelang dan pada Pilpres 2014, sampai tidak terhitung kiranya tuduhan-tuduhan berkenaan dengan soal keimanan yang bertebaran di media sosial. Masyarakat membacanya, masyarakat mengamininya.
Malahan, seorang tokoh nasional, sebut saja Amien Rais sempat menabuh genderang “perang Badar” untuk menyatakan sikap PAN dalam menghadapi Pilpres 2014.
Menjelang Pilpres 2019 narasi serupa juga kembali melawat, di mana seorang mantan penyanyi menyadur sebuah doa yang konon merupakan munajat Kanjeng Nabi Muhammad saat perang Bedar berkecamuk empat belas abad silam.
Akibat dari itu, para partisan atau pendukung sang rival Jokowi pun merasa bahwa mereka seolah-olah bagian dari mujahid Allah yang sedang memerangi kaum kafir. Kendatipun di saat yang sama tren untuk melawan Jokowi agak mulai bergeser menjadi politik ulama dan keumatan: mulai dari tuduhan anti-, mengkriminalisasi, hingga menindas umat Islam.
Di lain pihak, gelombang perlawanan untuk menepis tuduhan-tuduhan itu juga tak kalah meriah. Glorifikasi terhadap segala tindak-tanduk Jokowi, walau bagaimanapun juga harus disadari keberadaannya. Bahkan kabarnya sempat ada sebuah front yang dibentuk dan didedikasikan hanya untuk membela Jokowi.
Maka, tak heran jika kemudian perbedaan preferensi pilihan politik menjadi cikal-bakal pertengkaran sesama anak bahkan lintas keluarga, bani, bahkan bangsa. Mereka (kedua golongan itu) saling sinis, saling sindir, saling julid, dan puncaknya saling bertengkar di media sosial, tidak peduli walau yang demikian itu dapat merobek rukun warga dan rukun tetangga.
Sekilas, pandangan ini memang terasa mashook, setidaknya bagi saya sendiri. Namun sejurus kemudian, Prof. Ariel membalas komentar seorang warganet lain yang juga menekankan media sosial sebagai faktor penyumbang kebencian sekaligus mahabah kepada Presiden Jokowi.
Dikatakan olehnya, “apakah di zaman SBY belum ada media sosial?”. Lebih jauh, “kalau teori ini benar, maka nanti sesudah 2024 tingkat keterbelahan bangsa ini akan semakin parah….”, tandasnya.
Belakangan saya pikir benar juga. Haha.
Tapi betapapun itu, terus terang, saya tidak bermaksud merasa tahu atau sok tahu. Sebab lemparan pertanyaan di twitter itu saya tuduh sebatas pemantik atau penyegaran timeline saja, ketimbang menggambarkan ketidaktahuan seorang Ariel Heryanto.
Lagi pula, saya juga masih percaya kalau nanti di 2024 adalah panggungnya para generasi yang mengutip buku Identitas dan Kenikmatan disebut sebagai gugusan baru Muslim modern di Indonesia.
Ya, merekalah kaum muslim muda yang berusaha mendefinisikan ulang arti menjadi Muslim, yang berpartisipasi secara penuh di dunia modern tanpa melepaskan keimanan mereka, yang bicara mengenai hak-hak sipil, persamaan, transparansi, dan tentu saja hal-hal rutin serta kesenangan hidup sehari-hari.