“Agama tak bisa ditegakkan di ruang hampa tanpa tanah dan air, karena itulah mencintai agama berarti mencintai tanah dan air, kehilangan tanah berarti kehilangan agama dan sejarah.” KH Said Aqil Siradj, Samarinda, Februari 2013.
Bumi sudah memasuki fase-fase kritis, hal ini dapat dilihat dari berbagai fenomena alam yang mulai keluar dari batas normal. Berdasarkan laporan terbaru IPCC (The Intergovernmental Panel on Climate Change) sebuah badan dari PBB yang berkonsetrasi pada asemen perubahan iklim, pada bulan Oktober 2018 menghimbau agar semua pihak, khususnya pemerintah agar mengambil sebuah pasti dan konkrit, terutama untuk menahan suhu bumi di bumi ini agar konstan di bawah angka 1,5 derajat celcius.
Menurut asemen dari IPCC, pemanasan global akibat ulah manusia (anthropogenic) telah mencapai 1 derajat celcius pada tahun 2017. Jika dibandingkan dengan masa pra industrial, kondisi menkhawatirkan tersebut terus meningkat kira-kira sekitar 0.2 derajat celcius dalam sepuluh tahun terakhir. Dengan kata lain, jika kondisi ini dibiarkan dan suhu terus meningkat dengan angka konstan seperti sekarang ini, pemanasan global karena tindakan manusia akan melewati batas kesepakatan global, yakni 1,5 derajat Celcius yang diprediksi akan terjadi pada tahun 2040.[1]
Selain itu, BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) melaporkan bahwa akan ada peningkatan angka bencana hidrometeorologi (bencana yang dipengaruhi oleh faktor cuaca), seperti bencana banjir, longsor dan puting beliung. Pada tahun 2017, dalam kurun waktu 4 bulan, terhitung sejak bulan Januari sampai Maret tercatat ada 1.087 bencana yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Akibatnya ada sekitar 166 jiwa meninggal dan hilang, 313 jiwa luka-luka, dan 1.036.362 jiwa mengalami gangguan fisik dan psikis serta harus mengungsi. Bencana hidrometereologi ini juga telah menyebabkan 14.117 unit rumah rusak, dengan rincian 2.578 rumah rusak berat, 2.315 rumah rusak sedang dan 9.224 rumah rusak ringan. Tidak hanya itu tercatat ada sekitar 453 fasilitas publik rusak, dengan rincian 266 sekolah dan madrasah, 161 fasilitas ibadah dan 26 fasilitas kesehatan.[2]
Jika itu terjadi di tahun 2017, maka tren bencana hidrometeorologi semakin meningkat di tahun 2018. BNPB kembali merilis di tahun 2018, tercatat ada sekitar 2564 bencana di Indonesia. Bencana yang paling dominan muncul yakni angin puting beliung sekitar 799 kasus, banjir 677 kasus, dan longsor 472 kasus. Tidak hanya itu saja BNPB mencatat jika bencana hidrometereologi, telah menyumbang sekitar 97 persen dari total keseluruhan bencana di Indonesia. Sementara sisanya sekitar 3 persen merupakan bencana geologis, seperti gempa bumi dan tsunami. BNPB memprediksi pada tahun 2019 bencana akan semakin meningkat, terutama bencana hidrometereologi. Berdasarkan kajian dari BNPB bencana hidrometeorogi akan mendominasi sekitar 95 persen dari total bencana keseluruhan.
Perubahan iklim yang dipengaruhi oleh rusaknya lingkungan hidup menjadi faktor utama penyebab bencana. Tercatat ada beberapa faktor yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup, seperti semakin meluasnya kerusakan di daerah aliran sungan (DAS), lahan kritis, kerusakan hutan dan konversi peruntukan lahan (baik produktif maupun kawasan resapan). Selain itu hingga kini tercatat ada sekitar 110.000 hektar lahan pertanian menjadi lahan non pertanian, sedangkan lahan kritis telah mencapai 14 juta hektar.[3]
Maraknya bencana alam di Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh perubahan struktur alam. Perubahan iklim nyatanya sangat erat kaitannya dengan perusakan vegetasi alamiah di bumi, seperti hutan, daerah aliran sungai dan lahan-lahan produktif. Namun, situasi demikian tak serta merta membuat berbagai pihak sadar, mengapa menjaga ekuilibrium lingkungan hidup itu merupakan hal yang substantif. Karena kerusakan lingkungan hidup sangat berkoherensi dengan bencana-bencana yang kian erat menyapa Indonesia belakangan ini, terutama bencana hidrometereologi.
Al-Quran Mengajarkan untuk Melindungi Lingkungan Hidup
Di dalam ajaran agama Islam sendiri terutama dalam kajian tauhid, kita diajarkan untuk memelihara dan mengamalkan tiga hal, yakni Hablum Minallah, Hablum Minannas dan Hablum Minalalam. Jikalau Hablum Minallah merupakan hubungan vertikal antara sang pencipta dengan yang diciptakan, maka Hablum Minannas dan Hablum Minalalam merupakan hubungan horizontal, di mana kita diwajibkan untuk memelihara ukhuwah sesama umat manusia dan menjaga segala sesuatu yang berada di sekitar kita, seperti tidak berbuat dlarar (kerusakan) dan berperilaku ghuluw (melampaui batas) dalam memanfaatkan apa yang ada di sekitar kita. Perilaku-perilaku tersebut kerap dilakukan oleh mereka yang berwatak mufsidun (suka merusak), orang-orang yang sangat dibenci oleh Allah karena perilakunya merugikan banyak orang.
Perihal bencana alam, dalam Islam sendiri sudah menjelaskan kondisi tersebut dalam sebuah peringatan yang tercatat dalam Al-Quran. Salah satunya yang tertulis di surat Ar-Rum ayat 41-42, yang mana Allah telah berfirman:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (41). Katakanlah (Muhammad), bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah) (42).”
Pada surat Ar-Rum ayat 41 dan 42, sesungguhnya merupakan peringatan kepada manusia agar senantiasa menjaga perbuatan mereka, karena Allah menciptakan bumi ini saling melengkapi. Jika ada salah satu fungsi yang hilang, maka pengaruhnya akan mencakup semua hal. Semisal hutan di bukit ditebang secara membabi buta, tentu akibatnya ialah longsor akan menyambut dengan riang dan gembira. Bukankah, di dalam Al-quran sudah tegas mengingatkan agar tidak menganggu keseimbangan lingkungan, dengan mengkeploitasi mereka berlebihan. Karena satu fungsi yang terganggu, secara tidak langsung akan mempengaruhi fungsi lainnya sebagai sebuah koherensi.
Selain surat Ar-Rum, peringatan lainnya datang dari surat Al-A’raf surat 56-58. Surat ini lebih menunjukan sisi Allah sebagai sang pencipta yang memberikan karunianya kepada manusia, berupa alam yang dapat dimanfaatkan demi kemaslahatan hidup manusia, berikut fiman Allah dalam surat Al-A’raf:
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan (56). Dialah yang meniupkan angina sebagai pembawa kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angina itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu. Kemudian kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran (57). Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan izin Tuhan, dan tanah yang buruk, tanaman-tanamannya tumbuh merana. Demikianlah Kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kebesaran Kami) bagi orang-orang yang bersyukur (58).”
Allah secara tegas memerintahkan manusia untuk merawat lingkungan hidup yang telah diciptakan, serta melarang manusia berbuat kerusakan (dlarar), karena perbuatan itu akan berakibat pada bencana yang akan merugikan manusia itu sendiri. Alam telah menyediakan semuanya, jika dikontekstualisasikan dengan kondisi terkini, maka dalam surat ini mencakup hutan dan seluruh isinya.
Jikalau hutan dialihfungsikan, dieksploitasi secara masif, tidak hanya manusia yang merugi, namun mahkluk lainnya seperti flora dan fauna pun juga akan terusik. Sehingga jika ditautkan dengan ajaran tauhid dasar mengenai relasi vertikal dan horizontal, Hablum Minallah, Hablum Minannas dan Hablum Minalalam. Maka merusak alam merupakan salah satu bentuk maksiat, atau dalam kata lain tidak menjalankan perintah-perintah Allah, seperti yang telah difirmankan di dalam Al-Quran.
Referensi
[1] IPPC. 2018. SPECIAL REPORT: GLOBAL WARMING OF 1.5 ºc. Diakses dari https://www.ipcc.ch/sr15/chapter/summary-for-policy-makers/
[2] BNPB. 5 Mei 2017. Sudah 1.087 Bencana Selama 2017, Diprediksi Akan Terus Bertambah. Diakses dari https://www.bnpb.go.id/sudah-1-087-bencana-selama-2017-diprediksi-akan-terus-bertambah
[3] DWINDONESIA. 2019. Bencana Alam di Indonesia tahun 2019 Diprediksi Terus Terjadi. Diakses dari https://www.dw.com/id/bencana-alam-di-indonesia-tahun-2019-diprediksi-terus-terjadi/a-46909297