Dalam permasalahan penentuan awal bulan di Indonesia ternyata memiliki kekhasan tersendiri. Pemerintah melalui Kementerian Agama berusaha untuk mempersatukan penentuan awal bulan Qomariyah terutama untuk bulan Ramaḍan, Syawal, dan Zulhijah, dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama. Namun ada beberapa pandangan yang membuat upaya mempersatukan ini gagal. Diantaranya adalah rukyah global yang dianut oleh Hizbut Tahrir.
Hampir seluruh organisasi-organisasi Islam di Indonesia sependapat mengenai pendekatan wilayatul ḥukmi ini (kecuali Hizbut Tahrir Indonesia yang menganut rukyah global). Organisasi Nahdlatul Ulama dalam Muktamar XXX di Kediri (1999) menyatakan bahwa menetapkan awal bulan Qomariyah berdasarkan rukyat hilal internasional untuk pedoman beribadah di Indoneia adalah tidak dibenarkan karena perbedaan matlak (Wilayah keberlakuan penentuan awal bulan Qomariyah) dan tidak berada dalam kesatuan hukum. Demikian pula Muhammadiyah yang dalam Munas Tarjih ke-25 tahun 2000 di Jakarta salah satu poin dari keputusannya menyatakan bahwa dalam hal penentuan awal bulan Qomariyah: matlak yang digunakan adalah matlak wilayatul ḥukmi.
Meskipun Hizbut Tahrir memakai Rukyah dalam menentukan awal bulan Qomariyah, namun rukyatul hilal yang dimaksud dalam pandangan Hizbut Tahrir bukanlah rukyat lokal yang berlaku untuk satu matlak sebagaimana madzhab Syafi’i, melainkan rukyah yang berlaku secara global, dalam arti rukyatul hilal di salah satu negeri muslim berlaku untuk kaum Muslimin di negeri-negeri lain di seluruh dunia. Sehingga dalam hal ini bila ada satu negara yang sudah melihat hilal, maka negara lain harus ikut negara tersebut. Misalnya tahun ini, Arab sudah menyatakan bahwa Idul Adha dilaksanakan pada tanggal 21 Agustus, maka Indonesia pun harus ikut Arab. Meskipun hilal di Indonesia belum terlihat karena posisinya masih di bawah ufuk. Sementara posisi hilal di Arab Saudi sudah dua derajat lebih.
Hizbut Tahrir sejalan dengan pentarjihan Imam Syaukani dalam persoalan perbedaan matlak, sehingga Hizbut Tahrir tidak dapat menerima faham dari pendapat madzhab Syafi’i yaitu ucapan Ibnu Abbas ra yang mengikuti rukyah Madinah dan tidak mengikuti rukyah Syam, yaitu dengan perkataannya,“Tidak, demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kita menjadi dalil bahwa setiap negeri mempunyai rukyah sendiri-sendiri, dan rukyah suatu negeri tidak berlaku untuk negeri yang lain, li ikHizbut Tahrirlaf mathali (karena ada perbedaan matlak).”
Mengenai matlak Ulama berselisih pendapat mengenai sejauh mana hasil rukyat dapat diberlakukan, yaitu pertama pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat bahwa rukyat di suatu negeri berlaku untuk seluruh kaum muslimin di neger-negeri yang lain (seluruh dunia). Dasarnya adalah hadis nabi “shumu li ru’yatihi wa aftiru li rukyatihi” (Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal), ditujukan kepada seluruh umat.
Kedua, yaitu pendapat Imam Syafi’i dan sejumlah ulama salaf yang berpendapat bahwa penentuan awal bulan Qomariyah memperhitungkan perbedaan matlak, sehingga masing-masing negeri berdasarkan rukyat yang dilakukan di negerinya masing-masing. Dengan alasan konteks hadis “shumu li rukyatihi….” ditujukan bagi yang melihat hilal, sehingga hasil rukyat hanya berlaku di sekitarnya dan daerah yang masih satu matlak. Kriteria satu matlak adalah jarak 24 farsakh atau sejauh 133 km, sedangkan daerah yang jauh (lebih dari 133 km), tidak terikat dengan rukyat yang terbukti pada suatu tempat.
Salah satu dalil yang dijadikan landasan dalam permasalahan ini adalah Hadits riwayat Kuraib yang artinya.
“Bahwasannya Ummu Fadhl bintu Harits mengutusnya untuk menemui Mu’awiyah di Syam (Syria: Damaskus), ia berkata: “Maka aku sampai di Syam lalu aku selesaikan urusannya (Ummu Fadhl) maka orang-orang mencari-cari hilal Ramaḍan sementara aku masih di Syam, maka kami melihat hilal tersebut malam jum’at, kemudian aku sampai di Madinah pada akhir bulan (Ramaḍan) lalu Ibnu Abbas menanyaiku kemudian ia ingat tentang hilal (Ramaḍan), lalu ia bertanya: “Kapan kalian melihat hilal?” Aku katakan: “Aku melihatnya malam jum’at.” Ia berkata: “Engkau (sendiri) melihatnya?” Aku jawab: “Ya dan orang-orang (juga) melihatnya dan mereka berpuasa (keesokan harinya) dan Mu’awiyah (juga) berpuasa.” Ia berkata: “Akan tetapi kami (di Madinah) melihatnya malam sabtu, maka kami terus berpuasa Ramaḍan hingga kami sempurnakan 30 hari atau kami melihatnya (hilal Syawwal).” Maka aku katakan: “Apakah engkau tidak cukup dengan rukyatnya Mu’awiyah dan puasanya?” Ia berkata: “Tidak, demikianlah kami diperintah oleh Rasulullah saw.” (H.R. Abu Dawud).
Hadits tersebut menunjukkan bahwa kewajiban berpuasa itu bergantung kepada rukyat yang dilakukan oleh sebagian orang. Kewajiban memulai puasa dan mengakhirinya adalah bergantung kepada datangnya bulan. Sedangkan permulaan munculnya bulan itu berbeda-beda sebab perbedaan letak negara dan jaraknya. Perbedaan ini akan berimplikasi kepada perbedaan permulaan puasa karena perbedaan letak negara tersebut.
Dalam pengamatan dan perhitungan posisi hilal, digunakan titik acuan lokasi yang menjadi lokasi pengamatan (rukyat) serta dijadikan dasar bagi perhitungan yang disebut markaz. Koordinat titik markaz inilah yang dijadikan acuan untuk pengamatan (rukyat) dan perhitungan posisi hilal dalam penentuan awal bulan Qomariyah. Markaz biasa mengambil titik-titik di beberapa kota di dalam suatu negara untuk diterapkan hasilnya untuk keseluruhan wilayah tersebut. Hasil pengamatan (rukyat) atau perhitungan (hisab) dari tiik markaz inilah yang kemudian diterapkan untuk penetapan awal bulan Qomariyah, sejauh mana wilayah yang dapat diterapkan tergantung pemilihan matlak yang digunakan, apakah menggunakan matlak lokal atau global.
Adakalanya pada hari yang sama tetapi dengan tempat yang berbeda maka di satu tempat hilal telah dinyatakan ada sementara di tempat lain belum. Hal ini menjadikan masalah apabila terjadi pada suatu negara, dimana pada sebagian daerah telah dapat melihat hilal sementara pada sebagian daerah lain belum melihatnya.
Untuk mengatasi masalah itu, Imam Syafi’i kemudian memunculkan gagasan konsep wilayatul ḥukmi, dan ini sangat beralasan karena berangkat dari konsep ulil amri sebagai pemersatu umat. Melalui konsep ini diharapkan untuk mengantisipasi dampak negatif perbedaan penentuan awal bulan Qomariyah yang disebabkan oleh perbedaan matlak, dimana diketahui bahwa jarak Indonesia yang membentang antara ujung Barat sampai ujung Timur adalah 5.200 km. Jika dalam jarak 133 km adalah satu matlak, maka Indonesia akan ada sekitar 39 matlak. Karena kesulitan ini maka menurut Sahal Mahfuzh, wilayatul ḥukmi yaitu rukyat berlaku untuk seluruh wilayah negara (Indonesia).
Konsep wilayatul ḥukmi yang merupakan salah satu dari konsep matlak rukyat, selanjutnya dipakai pula oleh Muhammadiyah yang menggunakan metode hisab wujudul hilal. Penggunaan konsep ini menurut Oman Faturohman (Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah), adalah identik dengan prinsip rukyat, yaitu yang tidak melihat mengikuti yang melihat.
Wallahu A’lam.