Apakah belum cukup ulama hanya laki-laki saja. Apakah ulama laki-laki kurang mampu mengkaji hukum-hukum Islam dan hal keagamaan lainnya sehingga perlu adanya ulama perempuan?
Jawabanya, tentu. Karena banyak hal tentang perempuan yang tidak bisa dijelaskan oleh laki-laki, yang tentu saja hanya perempuan sendiri yang representatif untuk menjelaskannya. Seperti halnya permasalahan macam-macam darah yang dikeluarkan oleh perempuan. Tentu penjelasan ini akan lebih jelas jika perempuan yang menjelaskannya.
Sebelum jauh tentang kajian, perlu diketahui tentang siapa itu ulama, dan kenapa harus ada ulama perempuan di zaman now ini. Kenapa ulama perempuan harus muncul di saat seperti ini.
Dalam buku tentang ulama perempuan Indonesia dipaparkan bahwa istilah “Ulama Perempuan” jika dilihat dari prespektif gender merupakan sebuah ironi yang mengandung “contradictio in terminis”. Istilah ulama sejak awal menggunakan kata ini pada dasarnya merupakan istilah “gender neutral”. Dalam bahasa arab tidak ada padanan mu’annas (perempuan)-nya. Artinya istilah “Ulama” bisa mengacu pada laki-laki atau perempuan.
Maka pada hakikatnya ulama tidak relefan jika hanya diidentikkan dengan kaum laki-laki saja, perempuan pun bisa disebut ulama.
Ulama, dalam Ensiklopedi Indonesia yang ditulis oleh Dewan Rahardjo, memiliki ciri-ciri sebagai pengemban tradisi agama, paham hukum Islam secara mendalam, serta sebagai pelaksana hukum fikih. Dengan ini perempuan pun punya ruang menjadi seorang ulama di Indonesia untuk membantu melaksanakan hukum fikih yang berkonsentrasi pada persoalan perempuan.
Ulama perempuan menjadi sangat penting di zaman now karena banyak ruang perempuan yang belum terisi langsung oleh perempuan itu sendiri. Seperti kajian perempuan atau kegiatan keperempuanan. Perempuan punya cara pandang tersendiri terkait isu-isu Islam kontemporer. Banyak perempuan yang memiliki ilmu cukup luas, terutama ilmu agama. Para ulama perempuan ini perlu muncul di ruang publik untuk memberikan warna baru bagi keilmuan Islam serta sudut pandang baru pada setiap pemikiran. Terlebih untuk pengembangan intelektual kaum perempuan.
Seperti dawuh K.H. Chusain Ilyas. “An-nisa’u ‘imadul bilad idza shaluhat shaluhat bilad, wa idza fasadat fasadad bilad.” (Perempuan adalah tiang negara, apabila baik perempuannya maka baik pula negaranya, apabila buruk perempuannya, maka akan buruk pula negaranya). Karena itu, perlu adanya ulama perempuan di Indonesia ini sebagai kontrol akhlak dan pendidikan bagi para perempuan itu sendiri.